Dasun

Dasun

Oleh: Ria Febrina

Dasun

Suatu pagi di Alun-alun Kidul Yogyakarta, saya berbicara dengan seorang teman yang asli orang Yogyakarta. Awalnya topik pembicaraan kami mengenai tradisi pernikahan adat Jawa, lalu beralih ke topik tradisi membesarkan  bayi. 

“Apakah di Yogyakarta para bayi memakai dasun, Ummi?” tanya saya kepada teman yang saya panggil Ummi.

Saya menjelaskan bahwa dasun adalah bawang putih tunggal yang dikaitkan ke pakaian ibu yang baru melahirkan dan pakaian bayi dengan menggunakan peniti. “Tidak ada, Mbak. Anak bayi biasanya dipakaikan gelang besi atau kalung kain yang berisi peniti atau paku.”

Bukan hanya di Jawa, di Minangkabau pun masyarakat masih ada yang mempercayai kalung kain ini. Dalam kalung kain, biasanya ada dasun ‘bawang putih’, lada hitam, dan merica. Peniti dan paku pun juga ada, biasanya berukuran kecil. Kadang-kadang pecahan besi dimasukkan ke dalam kalung kain ini.

Selain berupa kalung leher, kain ini juga ada yang berupa gelang atau kalung perut. Tali kalungnya biasanya benang tujuh ragam, di antaranya berwarna merah, hitam, oranye, dan putih. Konon yang dipakai adalah benang jagung atau benang cap kuda. Meskipun berbeda isinya, benda-benda ini sama-sama dipercaya oleh sebagian masyarakat sebagai penangkal roh jahat dan ilmu hitam yang dianggap sangat rentan mengganggu para bayi.

Tradisi ini hanyalah kepercayaan masyarakat pada masa lampau. Bahkan, meskipun sudah menganut ajaran Islam, sebagian masyarakat masih meyakini dan melaksanakan kebiasaan tersebut. Tak hanya kalung kain, dulu sesudah saya melahirkan, para orang tua sangat nyinyir meminta suami untuk menyusuri jalan raya dan melihat besi tapak kaki kuda atau paku bekas. Katanya, benda tersebut harus diletakkan di lubang angin rumah agar dapat menjaga anak kami yang baru lahir.

Karena suami saya tidak percaya dengan hal-hal berbau mitos tersebut, dia selalu berkilah, tidak menemukan besi tapak kaki kuda atau paku bekas di jalan raya. Meskipun demikian, benda tersebut tetap juga sampai di hadapan kami—tentunya dengan kegigihan orang-orang tua menyusuri jalan-jalan kampung.

Di Yogyakarta ternyata ibu-ibu melahirkan dan para bayi tidak dipakaikan dasun ‘bawang putih’. Beda daerah, memang beda caranya. Namun, tradisi menjaga bayi dan ibu melahirkan dari gangguan roh jahat dan ilmu hitam ini tetap dipercaya. Salah satunya adalah dengan mengaitkan dasun di dalam baju bagian dalam menggunakan peniti. Bahkan, kalau bepergian jauh, dasun dicongkel, lalu dioleskan ke kening bayi.

Kepercayaan masyarakat terhadap benda-benda ini pada hari ini tidak seperti masa-masa lampau. Kepercayaan ini sudah semakin berkurang dan mulai hilang perlahan-lahan. Teknologi dan logika ilmu pengetahuan sudah membuat banyak orang percaya bahwa kondisi kesehatan anak tidak ditentukan oleh benda-benda mistis tersebut.

Terlepas dari kepercayaan masyarakat di beberapa daerah ini, ada yang menarik ketika kita mendengar kata dasun. Kata dasun berasal dari bahasa Sanskerta लशुन laśuna yang bermakna ‘bawang putih’. Meskipun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna dasun sama dengan bahasa sumber, sekelompok masyarakat di Indonesia mampu memberi makna lain pada kata ini. Konteks sosial dan konteks budaya telah menyebabkan kata ini tidak sekadar bermakna bawang putih. Dasun menjadi produk budaya yang dipakai untuk mendukung kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal gaib.

Sementara itu, jika dilihat dalam kamus-kamus bahasa Indonesia, ada makna lain pada kata dasun. Dahulu kala, kata ini tidak hanya bermakna bawang putih. Kata dasun juga dipakai sebagai kiasan untuk menjelaskan hidung seseorang yang bagus, bulat di muka dan lancip ke belakang. Ungkapannya berupa hidung seperti dasun tunggal. Sutan Mohammad Zain (1951) dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia mencatat ini dengan mendefinisikan dasun sebagai ‘bawang putih; hidung seperti dasun tungal, hidung jang bagus, bulat dimuka, lantjip kebelakang’.

W. J. S Poerwadarminta (1952) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia juga memberikan keterangan bahwa dasun merupakan bawang putih yang memiliki nama ilmiah Allium sativum. Nama ilmiah ini pernah tercatat dalam KBBI, seperti dalam KBBI Edisi V (2018). Namun, nama ilmiah ini menghilang dalam KBBI Edisi VI (2024).

Dalam klasifikasi dan morfologi tanaman, Allium sativum yang termasuk ke dalam famili Alliaceae ini merupakan tanaman yang mempunyai banyak manfaat. Tanaman ini digunakan sebagai obat-obatan dan bumbu dapur. Dasun sebagai obat-obat sudah diolah sejak dulu oleh orang-orang Mesir, Yunani, Romawi, Cina, dan Jepang. Khasiat dari dasun ini dipercaya dapat menurunkan kadar kolesterol tinggi, mengatasi penyakit diabetes, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mencegah penyakit kanker, serta mencegah masuk angin dan penyakit batuk. Dasun dikonsumsi dengan cara menyeduhkan pada air hangat, diblender dengan bahan lain, seperti jeruk nipis dan bawang bombay, atau bisa juga dikonsumsi langsung. Namun, penggunaan secara langsung harus dengan kadar tertentu dan tidak boleh berlebihan karena memilki efek samping.

Sementara itu, dasun sebagai bumbu dapur digunakan sama dengan bawang putih lainnya. Namun, dalam perkembangan kuliner hari ini, dasun atau bawang putih akan memiliki nilai ekonomis ketika digantikan dengan bahasa lnggris berupa garlic. Nilai makanan akan terasa berbeda menggunakan kata garlic daripada bawang putih. Misalnya, ayam goreng garlic ‘ayam goreng yang dimarinasi dengan bawang putih dan bumbu lain’, garlic cheese potato ‘kentang goreng yang dipanggang dengan keju dan bawang putih’, atau galic bread ‘roti yang dipanggang dengan daging dan bawang putih’. Penggunaan kata garlic atau bawang putih pada makanan tersebut memberi kesan bahwa siapa pun yang mencicipi akan mendapatkan makanan yang lezat dan wangi.

Menu makanan yang menggunakan kata garlic ini juga dapat menyebabkan harga makanan menjadi lebih mahal jika dibandingkan dengan menggunakan nama Indonesia meskipun di beberapa restoran Indonesia, nama-nama makanan yang berbahasa Inggris sudah didampingi dengan pendeskripsian dalam bahasa Indonesia. Garlic cheese potato misalnya, dideskripsikan dengan ‘kentang yang dipanggang dengan keju dan bawang putih cincang’. Pendeskripsian dalam bahasa Indonesia ini dianggap mampu menggunggah selera dibandingkan mengindonesiakan frasa garlic cheese potato.

Penggunaan bahasa asing dalam menu makanan memang menjadi sebuah fenomena di Indonesia. Hal ini tak lepas dari pengaruh budaya global yang menyebabkan masyarakat meyakini bahwa makanan asing mampu memberi privilege tersendiri atau nilai lebih. Masyarakat akan merasa status sosialnya lebih baik dengan menu berbahasa Inggris daripada menikmati menu makanan berbahasa Indonesia.

Meskipun demikian, fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa di balik sebuah kata, tercermin kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Bawang putih tidak hanya sekadar nama, tetapi memiliki ragam jenis dan juga mampu melahirkan konteks sosial dan konteks budaya. Apalagi, Indonesia kaya dengan bahasa daerah, masyarakat pun memiliki nama khusus untuk benda ini. Selain dasun, juga ada bawang lanang, bawang handak, bawang basikong, bawang puteh, dasun puteh, dan lasun. Apakah salah satunya berasal dari bahasa daerahmu?

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top