Pangsit

Pangsit

Oleh: Ria Febrina

Pangsit

“Pangsit bakso dan es jeruk, Bu,” ujar saya suatu sore saat membayar makanan di warung bakso.

Si ibu diam terheran. “Pangsit bakso?” ujarnya.

Saya mengangguk dan kembali mengulangi pesanan yang akan dibayar. Karena melihat si ibu heran, saya langsung tersadar. Saya lupa bahwa saya sedang berada di Yogyakarta.

“Mie ayam bakso, pangsit, dan es jeruk, Bu,” ujar saya tertawa dan meminta maaf karena salah menyebutkan nama makanan.

Di Yogyakarta, pangsit itu serupa kulit lumpia yang lebih tebal, tetapi lebih kecil ukurannya. Ada yang menjual pangsit basah, pangsit goreng, dan pangsit kukus. Pangsit basah biasanya berisi daging dan dimasak dalam kuah berbumbu, seperti kuah bakso. Kalau pangsit kering, seperti kerupuk yang biasanya tersaji saat kita makan mi ayam. Sementara itu, pangsit kukus biasanya disajikan dengan minyak cabe atau chili oil, seperti kita menikmati dimsum.

Berbeda dengan Yogyakarta, masyarakat di Kota Padang ada yang menyebut pangsit itu sebagai sinonim dari nama mi ayam. Banyak yang menggunakan kata pangsit untuk memesan mi ayam. Mi ayam dan pangsit yang berasal dari Cina ini memang diterima oleh masyarakat Indonesia dengan beragam cara.

Teman sesama studi S-3 saya yang berasal dari Cina, justru berkata kalau di Cina (baca Tiongkok), pangsit hanya disajikan dalam kuah. Mereka tidak mengenal pangsit goreng dan jarang mengolah pangsit kukus. Namun, makanan yang berasal dari Cina ini justru menjadi olahan yang beragam di Indonesia.

Pangsit goreng misalnya, tak lepas dari tradisi olahan Nusantara yang mengolah aneka bahan, seperti tahu, tempe, dan ubi menjadi gorengan. Begitu juga dengan makanan yang dibalut dengan kulit lumpia, juga digoreng sebagai jajanan pasar. Barangkali itulah penyebabnya pangsit goreng disajikan dalam makanan Nusantara. Ada yang sebagai kerupuk dalam penyajian mi, ada juga yang diisi daging seperti lumpia. Perbedaan olahan makanan dari Cina ini hadir sebagai kreativitas masyarakat Indonesia.

Tidak hanya olahan, namanya pun berkembang di tengah-tengah penutur bahasa Indonesia. Berbeda kelompok yang mengolahnya, berbeda pula mereka memberi nama. Di Pulau Jawa misalnya, penamaan makanan ini masih sama dengan asalnya. Ada mi ayam, ada pangsit. Di Yogyakarta, makanan ini dijual terpisah. Jika kita memesan mi ayam saja, mereka hanya akan menyajikan mie kuah yang diberi sayur pakcoy ‘sayur hijau mirip sawi’ dan ayam cincang berbumbu. Kalau kita memesan mi ayam pangsit, si penjual baru menyajikan semangkok mi ayam dan juga semangkok pangsit goreng. Bagaimana dengan harganya? Tentunya berbeda. Harga mi ayam pangsit lebih mahal dibandingkan harga mi ayam saja.

Di Kota Padang, kita bisa memesan makanan ini dengan dua nama yang berbeda. Bisa mi ayam, bisa juga pangsit. Meskipun dengan nama yang berbeda, siapa pun akan disuguhkan semangkok mi ayam yang ditambahkan pangsit goreng sebagai kerupuk di atasnya. Bahkan, kalau jumlah kerupuk pangsitnya kurang, kita bisa minta tambahan –sekalipun semangkok—tanpa harus menambah bayaran.

Terkait penamaan pangsit ini, masyarakat di Kota Padang juga ada yang menyebut sayur pakcoy dengan sayur pangsit. Kalau ditanya kepada pedagang lain, tentu tidak ada yang mengenal sayur pangsit, kecuali dideskripsikan sayur hijau yang terdapat dalam mi ayam. Hal ini menunjukkan bahwa kearifanlokal membuat masyarakat Indonesia memberi banyak makna terhadap kata pangsit.

Namun sayang, perbedaan nama-nama tersebut terkadang tidak disikapi dengan bijaksana oleh para penuturnya. Sebagian masyarakat yang tahu dengan asal-usul kata pangsit dan tahu maknanya berbeda dengan mi ayam, tak jarang mereka menjadikan bahan tersebut sebagai perundungan atau lelucon. Padahal, orang-orang yang tidak mengetahui asal-usul kata tersebut, tidak salah menggunakan kata tersebut. Meskipun pada awalnya salah memaknai nama makanan, keberterimaan kata tersebut di tengah-tengah masyarakat menyebabkan munculnya makna baru pada kata pangsit.

Kata pangsit yang sama persis dengan daerah asal telah didefinisikan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia sebagai ‘makanan yang dibuat dari adonan tepung terigu dan daging cincang, digoreng atau direbus’.  Kita dapat melihatnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (2018). Makna yang tercantum dalam KBBI Edisi V ini justru meluas jika dibandingkan dengan makna yang didefinisikan dalam KBBI Edisi I (1988).

Dalam KBBI Edisi I, pangsit adalah ‘makanan yang terdiri atas daging cincang yang dibungkus dengan selaput yang terbuat dari adonan tepung terigu dan digoreng, dimakan dengan mi’. Pangsit merupakan bagian dari makanan yang dimakan dengan mi. Persis seperti mi ayam yang disajikan di Kota Padang. Namun, harga daging yang mahal menyebabkan penjual tidak lagi mengisi pangsit dengan daging cincang. Pangsit tersebut digoreng tanpa daging, lalu menjadi kerupuk sebagai tambahan dalam makan mi.

Kalau kita lihat dalam kamus-kamus bahasa Indonesia lainnya, kita hanya akan menemukan asalnya saja dalam definisi yang ditulis oleh W. J. S. Poerwadarminta (1952). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, pangsit adalah ‘makanan Tionghwa’. Seperti apa pangsit tersebut diolah sebagai makanan Indonesia, belum dijelaskan secara detail oleh penyusun kamus bahasa Indonesia ini.

Adanya perbedaan makna pada kata pangsit tak lepas dari proses yang terjadi dalam peminjaman kata. Kata pangsit merupakan kosakata budaya yang dipinjam dari bahasa Cina yang bagi Myers-Scotton (2002) disebut sebagai peminjaman budaya. Dalam kerangka Haspelmath (2008), hal ini terjadi sebagai dampak dalam penyerapan kata oleh penutur lain. Penutur bahasa Indonesia menyerap kosakata budaya Cina dalam bidang kuliner. Akibat dari penyerapan ini berdampak banyak hal. Ada pengguna yang menyerap sama persis kata dan maknanya, tetapi ada juga yang menyerap kata dengan makna yang berbeda. Dalam kajian mengenai perkembangan bahasa, adanya perbedaan kata dan makna yang diserap merupakan kekayaan kosakata. Sebuah kata dapat mengalami perubahan makna ketika diserap oleh penutur lainnya.

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top