Udi

Udi

Oleh YusrizaL KW

UdiUdi benar kamu ya

Kesialan menemani keberuntungan di sisi lain. Kita maudi pada ketidaksiapan menyambut realita.

Kata “udi”, “maudi” atau “paudi” tentu masih terdengar atau akrab oleh kita; sebagian orang Minang di zaman kini. Paling tidak, masih banyak yang tahu arti kata itu.

“Udi” sama dengan “sial”. Maudi tentulah membuat atau menyebkan sial; paudi berarti suka sial. Udi juga sama dengan “apes” atau “sarau” atau “nahas”.

Ada suami melarang istrinya memeriksa saku celana atau dompetnya. Katanya sih, paudi nanti. Kita tidak tahu persis sial seperti apa yang disebabkan oleh “saku” yang dirogoh tangan istri. Mungkin saja, ada jimat, atau “hal lain” yang penggunaannya dalam artian “main belakang”. Dugaannya bisa gitu, ‘kali…. Tapi, tak selalu!

Ketika kita bermaksud berutang ke kedai, ada yang menyarankan, tepatnya memperingatkan: janganlah pagi-pagi. Biarlah orang berjual beli dulu. Menjeleng tengah hari, bolehlah berutang. Sebab, mitosnya, berutang pagi-pagi ke kedai, bikin “udi” kotak uang pemilik kedai. Dingin rezeki orang nantinya. Kalau kita dipercaya menunggu kedai, perlu uang, janganlah mematah atau menyunat uang dalam laci, bisa udi kedai. Sulit berkembang.

Dalam kehidupan keluarga pun, kita juga kenal hardikan beberapa orangtua kepada anak atau pasangannya yang suka ribut atau bertengkar di pagi hari. “Bikin udi saja kalian. Pagi sudah bertengkar!”  Bahkan, saking kesalnya karena yakin akan udi oleh pertengkaran atau kecabuhan pagi di rumah, seseorang tak jarang meninju pintu atau bercarut marut, bahkan ada yang membanting piring.

“Heboh saja! Pagi bikin udi!” Dia, yang dalam naungan amarah barusan, lalu pergi menempuh “hari itu” dengan perasaan tak enak. Tampaknya begitu yakin bakal mendapatkan kesialan atau kehadirannya di mana pun akan “maudi” pada hari itu.

Kenahasan, keapesan, kesialan atau keudian, pernah menimpa setiap orang. Dan setiap orang, tentu tak ingin atau takut didera udi. Udi ada yang serius, pun untuk olok-olok. Kalau membangun rumah, juga memulai usaha, ada yang percaya bisa udi jika tak pandai memilih hari atau tanggal baik (seakan curiga hari dan tanggal yang dianugerahi Tuhan ada yang buruk), maka ada yang mencari orang “pandai”. Tujuannya, untuk penenang hati yang tak sadar terpukau hal berbau tahayul, karena takut maudi di setiap langkah. Takut apa yang dibuat tak menjadi.

Udi itu mengecewakan, plus menyebalkan. Tetapi, kata “udi” selalu menyela di depan kata “untung” atau “beruntung”. Ada yang udi, di saat yang sama orang lain barangkali sedang menjalani keberuntungan.

Maudi itu sama artinya, sejak kita bergabung di sebuah kelompok, kelompok itu banyak mengalami kegagalan. Selorohnya barangkali, kita ini dianggap maudi. Membawa sial. Padahal, barangkali itu kebetulan saja semuanya yang tak diinginkan terjadi di saat kita bergabung. Tahayulnya sama dengan, “kotak uang” kedai yang terlangkahi, tahu-tahu kedai sepi, lalu kita yakin “terloangkahkan” merupakan penyebab udi.

Udi itu unik, karena ia bisa menawarkan banyak dugaan dan kecurigaan. Hal itu bisa berupa praduga atau pascaduga, yang semuanya kadang bisa diterima akal sehat dan kadang membuat akal sakit. Misalnya, petunjuk untuk mengecingi gawang lawan sebelum bertanding bola, bakal membuat udi lawan, sehingga hujan goooool di situ. Tapi, ketika hasilnya sebaliknya, justru gawang kita yang kebobolan? Nah!(*)

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top