Oleh: Yusrizal KW
Janganlah begitu ongeh, kawan!
Sebagai orang Minang, kalau ada yang mengatakan kita “ongeh”, terlepas apakah itu benar atau tidak kita demikian, rasanya jengkel atau ingin marah.
Ongeh, bagi orang Minang berarti tak tahu diri atau sombong atau lagi: angkuh. Kata yang artinya sepadan dengan ongeh di Minangkabau, cukup banyak juga, sebagaimana tertera dalam Kamus Umum Bahasa Minangkabau Indonesia yang dihimpun H. Abdul Kadir Usman Dt. Yang Dipatuan, terbitan Angrek Media, yaitu: angkah, angkuh, bangang, bangak, bonseng, burakah, kapoak, gudangga, pongah, sombong, dan lain sebagainya.
Walau banyak padanan kata ongeh, tetapi, untuk menyebut seseorang tak tahu diri, sok, pongah dan angkuh, hanya kata “ongeh” yang terasa menikam. “Ongeh bana pajatu (angkuh betul dia itu)” atau, “bia se lah urang ongeh tu, indak ado urang nan namuah bakawan jo nyo (biar sajalah orang tak tak tahu diri itu, tidak ada orang yang mau berteman dengan dia).
Karena itu, kita banyak bertemu dengan orang yang menjengkelkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata “ongeh” membuat sesuatu seakan memiliki pemastian pelampiasan rasa jengkel, marah atau penamaan yang menikam karena perilaku buruk. Orang “ongeh”, sering melihat orang rendah, mengabaikan masukan positif yang dibisikan dengan tulus ke telinga untuk hatinya. Karena itu, tak jarang, orang ongeh merasa benar dan asyik sendiri dengan dirinya. Dia tak perlu paham apakah sudah cukup beretika atau tidak kala berhubungan dengan orang lain. Dia tak perlu mengerti, apakah etika itu penting atau tidak, karena dalam dirinya ada segumpal keangkuhan: ongeh. Tak tahu diri.
Orang ongeh memang memualkan. Begitulah orang jengkel menyimpul. Orang bijak mengatakan, orang ongeh itu karena dia tak pernah membaca diri. Karena itu ia tak tahu diri. Kalau dia mengalami kegagalan, dia tak terima, dia akan menjadi buruk muka cermin dibelah. Orang Minang, paling senewen kalau dibilang ongeh, karena merasa itu (bisa menjadi) stigma buruk, sekalipun memang kita ongeh.
Bawaan ongeh setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang menganggap anaknya paling terbaik, terdidik, tercitra sebagai keluarga maju padahal kita tahu, lagaknya saja yang begitu. Ada yang mengesankan kutu buku, kemana-mana bawa buku tapi buku yang ada dan dibawa tak pernah dibaca. Ada yang tidak suka menyapa sahabat atau teman, dan malas tersenyum, karena merasa status sosialnya lebih baik dari orang lain. Ada pula yang kalau dalam berdiskusi sering memojokkan dan mengesankan “ngetes’ pengetahuan orang lain, karena kita ingin tampak lebih hebat dari orang yang secara objektif lebih baik dari kita. Dan, ongeh, begitulah adanya. Bagi orang yang lupa pada dirinya, sehingga ia melihat diri orang, ongeh menjadi pakaiannya.
Ongeh itu adalah, ingin terkesan ideal, padahal orang tahu, kita dalam penghancuran nilai-nilai ideal dalam diri dan kecerdasan sosial. Rasa ongeh muncul, boelh jadi, nafsu kuat tenaga kurang, ingin hebat potensi tak ada. Tapi, bukankah ada pula, orang pintar, kaya, berpangkat tapi ongeh. Betul! Dia menjadi ongeh, karena kekayaan dan kekuasaan yang dipunya. Namun, di mata orang, dia miskin. Miskin dari pandangan positif. Karena itu, di Minangkabau ini, kalau bertemu dengan orang kaya dan pintar tapi ongeh, kilah untuk mereka yang “ongas” itu sederhana saja. Kaya dia kita tak minta. (pintar dia kita tak ingin menjadikan dia tempat bertanya. Nah, ini adalah pembungkaman eksistensi kita. Kaya dan kepintaran kita dimaknai secara sosial tak ada artinya. Bukanlah harta dan ilmu yang bermanfaat. Tidak maslahat.
Ongeh, kita punya kata itu. Ia ada, karena perilaku tak tahu diri, hilang empati, pemaksaan untuk diakui eksistensi tanpa berbuat, perlu nama. Kata itu, ongeh, ia bisa akan terdengar di lidah orang Minang yang jengkel atau marah atau kecewa melihat perilaku seseorang yang angkuh, pongah, sok. Ya, kata itu: Ongeh!