Gincu

Gincu
Gincu

Oleh: Ria Febrina

Sore kemarin sebuah kata tiba-tiba hadir dalam ingatan saya. Gincu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu makna gincu adalah ‘pewarna bibir; lipstik’. Ketika membuka mesin pencari Google dan mengetik kata gincu, tercantum laman web yang menyajikan definisi gincu sebagai pewarna bibir, serta tulisan tentang gincu. Namun, hampir di semua tulisan, penulis menggunakan kata gincu dan lipstik secara bergantian. Kadangkala mereka pakai kata gincu pada paragraf awal, lalu pada paragraf akhir menggunakan kata lipstik. Kondisi ini menunjukkan bahwa bagi pengguna bahasa Indonesia, kata gincu bersinonim dengan lipstik.

Namun, kata gincu dan lipstik tidak sesederhana itu dimaknai oleh sebagian orang dalam konteks sosial, setidaknya dalam memori masa kecil saya. Saya tumbuh di tengah orang-orang yang beraktivitas di pasar raya, serta tinggal di antara ruko-ruko di pusat kota. Rumah saya berada persis di belakang terminal. Kami melihat lalu lalang orang datang dan pergi setiap hari. Silih berganti.

Di antara pemandangan itu, saya yang masih kecil mengenal sebuah komunitas dan sekelompok orang yang suka berdandan. Mereka tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Mereka tinggal di rumah-rumah yang disekat oleh tripleks dan berbagi sumur untuk mandi. Hanya ada dipan, lemari, meja kecil, dan kursi plastik di dalamnya. Lantainya pun masih lantai semen yang kemudian dialasi plastik yang bermotif keramik. Plastik yang pada lebaran kedua atau berikutnya baru diganti karena sudah sobek dan bolong-bolong.

Saya juga tidak heran dengan kain dan celana dalam yang dijemur di depan pintu, juga di kayu dinding di dalam kamar. Waktu mereka memang tidak banyak untuk berbenah. Mencari makan dan biaya kontrakan jauh lebih penting daripada menata kamar kontrakan. Namun, satu hal yang tak pernah mereka lupakan, bersolek. Memakai gincu sepanjang hari.

Seingat saya, di kalangan keluarga kami yang berpendidikan, mereka tidak mau memakai kata gincu. Bagi mereka, kata gincu bermakna negatif. Menyiratkan kehidupan perempuan malam dan perempuan yang bekerja di salon. Stigma negatif ini begitu kuat. Namun, saya yang sejak kecil suka membaca cerita pendek dan novel, serta sudah menonton film seperti Warkop DKI dan film-film lain yang menunjukkan perbedaan itu adalah hal biasa, juga dengan biasa saja menerimanya. Apalagi, orang-orang yang memakai gincu—yang saya kenal ini—mereka sangat baik.

Kami, anak-anak yang bersekolah, memang disuguhkan kosakata yang tidak pernah saya dengar di rumah. Namun, pembawaan mereka santai, tidak pakai suara keras dan nada emosi. Lalu, saat berbicara dengan saya, mereka selalu menyelipkan kalimat, “Rajin-rajin sekolah biar tidak seperti kami”. Oleh karena itu, saya senang berteman dan mendengar cerita mereka. Bagi saya, berteman dengan siapa pun, dengan karakter bagaimana pun, adalah sebuah jendela. Jendela itu memberi kekuatan kepada saya, pilihlah ingin menjadi siapa.

Kata gincu ini pun saya kenal dari mereka. Saya melihat mereka bersolek dengan aneka bedak, maskara, perona pipi, bulu mata palsu, dan tentunya juga gincu yang bertebaran di lantai. Dengan melilitkan handuk ke badan, melipatkan ke kepala, serta bercelana pendek, tangan gemulainya memegang kaca dan juga silih berganti menggunakan kosmetik tadi. Dari arah samping, kipas angin kecil merek lokal sudah berputar memberi angin segar, melepaskan gerah yang datang. Mata saya silih berganti memandang gerakan tangannya sembari saya mendengar mereka bercerita tentang orang lain. Kadang menceritakan laki-laki, kadang menceritakan perempuan. Di antaranya ada kekasih, ada juga seseorang yang menjadi kawan ataupun lawan. Beraneka dan saya menyimaknya dengan baik.

Pasti ada yang bertanya, mengapa saya bisa bermain di kontrakan mereka? Teman masa kecil saya tinggal di sana, di salah satu kamar di kontrakan tersebut. Orang tuanya hanya mampu menyewa salah satu kamar di sana. Karena mereka baik dan punya banyak cerita, saya pun sering bermain ke sana, khususnya sepulang sekolah atau saat hari libur. Ke mana lagi anak-anak seusia saya pergi bermain kalau tidak ke rumah tetangga. Kala itu belum ada handphone. Menonton bersama di rumah tetangga terasa sangat menyenangkan dibandingkan menonton sendiri di rumah.

Di antara komunitas tadi, saya tidak pernah mendengar mereka mengucapkan kata lipstik. Bagi mereka, perona bibir itu bernama gincu. Warnanya harus merah. Hanya pagi hari, saat baru bangun dan antre ke sumur, saat itulah saya melihat mereka tidak pakai gincu. Asalkan mereka sudah mandi, hingga malam menjelang dan hingga mereka tidur, gincu itu tidak pernah hilang dari bibirnya. Sekarang saya baru menyadari bahwa mereka tidak pernah berhenti memakainya. Mengoles lagi, lagi, dan lagi.

Berdandan sedemikian rupa itu membuat mereka akrab dengan banyak laki-laki. Membentuk komunikasi dengan rayuan dan tutur manja. Karena masih kecil, saya tidak tahu seperti apa kemudiannya. Namun, yang saya tahu, mereka sudah mendapat cap dari orang-orang tua yang rajin ke masjid. Meskipun berbeda, mereka tidak pernah dijauhi, tidak pernah dimusuhi, dan tidak pernah dicaci-maki. Mereka dibiarkan menjalani kehidupan demikian karena mereka percaya, setiap orang berhak menjalani hidupnya asalkan tidak mengganggu orang lain. Orang-orang tua ini juga percaya, suatu saat mereka akan berubah menjadi lebih baik.

Kini ketika teringat kata gincu, saya pun menelusuri asal-mula dan sejarahnya. Memang ada stereotip tertentu untuk orang-orang yang suka pakai gincu sampai warnanya merah dan polesannya tebal. Stereotip ini mulai muncul di Yunani ketika terjadi pergeseran sosial. Pada masa itu, perempuan yang menggunakan pewarna bibir merah diasosiasikan dengan wanita pelacur. Padahal, pada mula penggunaannya, gincu merupakan perona bibir yang bernilai kecantikan. Tepatnya di Mesopotamia, sekitar tahun 2600—2600 SM, Ratu Shub-Ad mewarnai bibir dengan tumbukan halus timah putih dan batuan merah. Hingga pada masa 50 SM, Cleopatra menggunakan carmine sebagai pewarna merah pada gincu. Charmine merupakan ekstrak kumbang cochineal yang suka makan kaktus merah dan mengeluarkan cairan berwarna merah pekat. Pewarna bibir ini menambah kecantikan perempuan pada masa itu.

Terjadinya pergeseran sosial setelah itu, tak lepas dari perempuan-perempuan yang kemudian mononjolkan diri dengan dandanan menor untuk memikat para lelaki. Di kalangan pengguna bahasa Indonesia, perempuan dengan pewarna bibir yang sangat merah merona dengan perempuan yang memakainya sekadar saja juga menjadi pembeda status sosial. Ada stereotip bahwa perempuan dengan pewarna bibir yang natural lebih baik karena tidak ada kesan menggoda laki-laki.

Namun, waktu terus bergulir. Perona bibir tidak lagi sekadar pembeda status sosial. Perona bibir sudah menjadi tren dengan warna yang kian beragam. Tidak sekadar merah, tapi juga ada hitam, nude, pink, oranye, ungu, dan juga hijau. Pilihan kata pun tidak lagi gincu. Orang-orang lebih memilih memakai istilah lipstik. Apa pun warnanya diterima dengan baik. Bahkan, lipstik ditata dengan baik di bibir. Ada yang sewarna dengan warna bibirnya, ada yang diwarnai lebih terang. Bahkan, teknik memakai lipstik juga sudah beragam. Tidak cukup dengan satu jenis lipstik. Ada yang menambahkan lip tin, lip gloss, dan kadang ombre.

Dalam KBBI, ombre merupakan ‘gradasi warna, biasanya pada busana atau pewarnaan rambut’. Bagi perempuan yang suka menggunakan lipstik, ombre itu sejenis lipstik yang memang digunakan sebagai gradasi warna pada bibir. Biasanya dioleskan sedikit saja di tengah-tengah bibir bagian bawah. Ombre biasanya berwarna merah pekat sehingga mampu memberi kesan kuat pada lipstik yang dipakai. Namun, makna ini belum ada dalam kamus. Mungkin suatu saat nanti bisa ditambahkan oleh Tim Penyusun KBBI.

Kini mau seperti apa seseorang berdandan, tidak lagi menjadi persoalan. Semua bebas menentukan pilihan. Mau pakai warna yang natural atau merah, mau pakai ombre atau tidak, perempuan bebas memilih. Untuk pilihan kata pun, sudah bebas. Boleh pakai gincu, boleh pakai lipstik, meskipun kata lipstik tetap memberi kesan lebih kekinian dibandingkan gincu.

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top