Menginisiasi BUMN Menjadi Koperasi Milik Rakyat Indonesia Masa Depan

Menginisiasi BUMN Menjadi Koperasi Milik Rakyat Indonesia Masa Depan

Oleh: Virtuous Setyaka

Badan Usaha Milik Negara yang Kooperatif ala Bung Hatta

Mohammad Hatta atau Bung Hatta dalam sebuah wawancara dengan Redaksi Prisma, sebuah jurnal pemikiran sosial ekonomi di Indonesia yang dimuat pada terbitan bulan Juli 1978 menyatakan bahwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi fondasi pembentukan koperasi dan arah perekonomian Indonesia ke depan. Koperasi membangun dari bawah, pemerintah membangun dari atas: penyediaan tenaga listrik, air minum, irigasi, transportasi dan komunikasi di seluruh wilayah Indonesia. Swasta berperan di tengah untuk berusaha di berbagai sektor, membangun pabrik, dan aktivitas perekonomian lainnya (Widyanto, 2024:4).

Menyimpulkan pemikiran Bung Hatta tersebut maka dapat dipahami bahwa sistem ekonomi politik nasional Indonesia dan aktivitas perekonomiannya adalah melibatkan negara (melalui BUMN) di atas, korporasi (swasta) di tengah, dan koperasi (masyarakat) di bawah. Sehingga negara harus menjadi instrumen dan pemimpin yang menjamin kebutuhan ekonomi dan kepentingan politik seluruh pihak di dalam negeri (domestik), dan melindungi dari serangan ekonomi politik dari luar negeri (internasional). Sehingga tidak dibenarkan politik liberalisasi ekonomi menjadi kapitalistik dengan meminimalisir peran koperasi dan apalagi menswastakan atau memprivatisasi BUMN.

Bung Hatta masih sempat menyaksikan kehidupan koperasi di Indonesia mengalami kemunduran, dijadikan alat mendapatkan keuntungan pribadi dan politik, dan ditindas perusahaan swasta atau korporasi (Widyanto, 2024:4). Pemerintah Indonesia seharusnya tidak membiarkannya, namun harus aktif melindungi koperasi sekaligus memberantas korupsi di dalam pengelolaan BUMN. Apalagi memperalat BUMN untuk memperkaya diri dan akhirnya menswastakan atau memprivatisasi semuanya.

Privatisasi BUMN: Digerogoti Korupsi dan Dihegemoni Liberalisasi

Di Indonesia, persoalan pada performa BUMN yang diselesaikan dengan swastanisasi atau privatisasi dapat disimpulkan secara sederhana karena disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah karena digerogoti oleh korupsi yang dilakukan para pengelolanya sendiri dari dan di dalam negeri. Kedua adalah karena dihegemoni oleh kapitalisme global dari luar negeri untuk liberalisasi atas nama efisiensi dalam persaingan di tingkat dunia internasional. Seolah-olah keduanya tidak berhubungan secara langsung, namun bermuara pada solusi yang sama: swastanisasi atau privatisasi BUMN.

Lalu apa manfaat (benefit) dan keuntungan (profit) bagi orang banyak sebagai masyarakat dan Warga Negara Indonesia (WNI) secara umum dari swastanisasi atau privatisasi BUMN tersebut? Tidak ada, kecuali sebagiannya menjadi bagian dari kelas sosial borjuasi atau kapitalis yang kemudian mengambilalih, menguasai, bahkan memiliki perusahaan atau korporasi dari BUMN yang diswastanisasi atau diprivatisasi tersebut. Mengapa BUMN tersebut tidak dikonversi menjadi koperasi atau mengubahnya dari penguasaan dan pemilikan negara secara eksklusif menjadi dikuasai dan dimiliki bersama antara negara dan warga negara yang terdiri dari orang banyak atau rakyat Indonesia secara keseluruhan?

Menuju Badan Usaha Milik Rakyat Indonesia atau Kooperativisasi BUMN di Indonesia

Mungkin tidak perlu beranjak terlalu jauh atau justru dibawa dan diarahkan semakin dekat untuk kembali ke pemikiran Bung Hatta bahwa tata kelola perkonomian di Indonesia adalah BUMN di atas, korporasi di tengah, dan koperasi di bawah. Namun BUMN tersebut dimodifikasi untuk menjadi secara langsung dikuasai dan dimiliki oleh Rakyat Indonesia. Setiap orang yang ber-Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia berhak bahkan diwajibkan memiliki saham, berkontribusi secara langsung baik secara produktif menjadi pekerja dan konsumtif menjadi pelanggan dari BUMN yang kooperatif tersebut.

Mengkoperasikan BUMN di Indonesia memang membutuhkan peran negara atau pemerintah untuk melindungi dan menjaminnya. Bukan hanya sebagai badan usaha ekonomi, namun juga sebagai entitas sosial budaya melalui pendidikan atau edukasi perkoperasian yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, bahkan ideologisasi yang selaras dengan Pancasila. Terutama mewujudkan sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apakah akan berbenturan dengan trend global liberalisasi ekonomi, perdagangan bebas, dan pasar tunggal internasional? Tentu saja akan berlawanan bahkan dengan globalisasi yang selama ini sesungguhnya adalah hegemoni dari kelas borjuasi atau para kapitalis trananasional. Mereka yang sesungguhnya tidak peduli identitas nasional maupun identitas lainnya selain bahwa kepentingan mereka hanyalah mengakumulasi kapital.

Potensi Indonesia dalam kepemilikan sumber daya alam, tenaga kerja, sekaligus pasar konsumsi masih besar sampai saat ini. Untuk itu, tidak ada yang akan mau dan mampu memperjuangkan penguasan dan pemilikan atas semua itu atas nama rakyat Indonesia, selain diri mereka sendiri. Menuju ke sana, ketika berkoperasi secara massif, terstruktur dan sistematis belum memadai sebagai kebijakan nasional, maka berkoperasi memang masih harus menjadi gerakan massa.

Padang, 5 April 2024

Virtuous Setyaka, (Dosen HI FISIP Universitas Andalas dan Ketua Koperasi Mandiri Dan Merdeka)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top