Belau

Belau
Belau

Beberapa hari lalu, kami menemani seorang teman yang datang dari Jakarta. Dia kangen makan bakmi godog di Kota Gede, Yogyakarta. Mie godog merupakan bakmi rebus khas Jawa. Selain bakmi godog, ada juga bakmi jawa goreng dan bakmi jawa nyemek. Bakmi godog di Kota Gede ini sangat terkenal. Namanya Bakmi Jawa Mbah Gito. Kala makan di sana, saya menjadi pendengar yang baik karena acara ini merupakan reuni suami dan kawan-kawannya. Mereka pun makan sambil bercerita tentang masa dahulu.

Menjadi pendengar yang baik sebenarnya salah satu resep saya dalam menulis. Saya sadar betul kenangan masa kecil dan masa remaja saya tidak begitu istimewa. Maklum, saya tumbuh di tengah keluarga yang memiliki jadwal sekolah, jadwal bermain, jadwal salat Magrib berjamaah di rumah, dan jadwal diam di rumah kala malam hari. Karena itulah, sejak kecil saya mencari dunia lain. Saya berkelana melalui dua dunia, yakni dunia membaca (buku) dan dunia menyimak (obrolan dan nonton film).

Sejak kecil, saya paling suka duduk bersama orang-orang tua, lalu mendengarkan cerita muda mereka. Bagi saya, kisah mereka di zaman dulu, yang sering-sering disebut sebagai zaman bahela amat menarik. Hingga kini pun begitu, saya tetap suka mendengar orang-orang bercerita. Salah satu wadahnya adalah reuni. Meskipun saya tidak mengalami sendiri kisah yang mereka tuturkan, saya seperti mendapatkan dunia baru karena menjadi tahu apa yang mereka alami pada masa dahulu.

Di tengah obrolan malam itu, saya pun disentakkan dengan sebuah kata. Belau. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), belau merupakan ‘tepung biru sebagai bahan pencampur air pembilas cucian agar warna pakaian menjadi kebiru-biruan, biasanya untuk pakaian putih’. Terkait kata belau ini, pembahasan mereka biasa-biasa saja. Mereka terkenang saat dulu pernah memakai baju putih berwarna kebiru-biruan. Baju itu kebiru-biruan karena terlalu banyak dicampurkan bubuk belau yang dulu terkenal sangat ampuh membuat baju putih yang kusam menjadi putih cerah kembali.

Kini kata belau sepertinya perlahan-lahan sudah tidak digunakan. Sebagai orang tua muda pun, saya tidak menggunakan belau sebagai pemutih. Saya sudah menggantinya dengan cairan pemutih. Cairan pemutih lebih praktis dari belau karena tinggal tuang ke dalam ember yang berisi air dan sabun, lalu pakaian putih yang kusam atau pakaian putih yang kekuning-kuningan dapat menjadi cerah kembali.

Cairan pemutih berbeda dengan belau. Kala memakai belau sebagai pemutih, kita harus memastikan bubuk belau larut dengan sempurna ke dalam air. Jika bubuk belau ada yang menggumpal, bagian-bagian tertentu pada baju yang terkena belau akan berbeda sendiri dengan yang lainnya. Warna baju menjadi tidak rata cerahnya. Selain itu, kalau bubuk belau terlalu banyak dipakai, warna baju tidak akan putih lagi, tetapi akan menjadi kebiru-biruan.

Dulu hampir semua ibu rumah tangga menggunakan belau untuk pemutih pakaian sehingga ketika menemukan teman yang baju seragamnya berwarna putih kebiru-biruan, sudah menjadi hal biasa. Namun, saya ingat, dulu pernah menangis minta dibelikan baju baru karena saking seringnya menggunakan belau untuk baju seragam. Lama-kelamaan baju tidak lagi berwarna putih, justru kian lama menjadi biru. Saya pun minder sehingga buru-buru minta dibelikan seragam baru.

Di balik kisah seragam berwarna putih kebiru-biruan ini, kata belau bagi saya tidak sekadar itu saja. Kata ini menjadi pintu untuk kembali ke masa lampau. Tiba-tiba kisah masa kecil datang lagi. Saya jadi ingat ketika ditertawakan oleh kakak dan teman-teman di sekitar rumah karena menderita beguk ‘bengkak (radang) pada kelenjar ludah leher; gondong’. Karena orang Minang, kami menyebut penyakit ini dengan baguak.

Di kampung kami, kala seseorang diserang penyakit baguak, leher yang membengkak ini akan diberi gumpalan nasi panas yang dibungkus dalam kain. Gumpalan nasi panas tersebut ditempelkan ke leher yang bengkak tadi. Kalau nasi sudah dingin, orang tua kemudian mengoleskan belau. Gumpalan nasi panas dan lumuran belau ini dipercaya dapat mengempeskan bagian leher yang bengkak. Namun, di balik khasiatnya itu, bagian leher yang dilumuri bubuk berwarna biru ini justru membuat kami mirip seperti Jadoo, sosok alien yang digambarkan dalam film India “Koi Mil Gaya”.

Karena leher ini bengkak, sangat sulit bagi penderitanya untuk berbicara, apalagi tertawa. Nah, teman-teman kami yang tahu kondisi ini, justru semakin usil dengan membuatkan cerita lucu dan menertawakan kami yang diserang penyakit ini. Itulah mengapa, orang-orang yang terkena beguk atau gondong, lebih memilih berdiam diri di dalam rumah. Di samping malu karena leher diberi bubuk belau, juga karena tidak bisa beraktivitas dengan nyaman seperti biasa.

Kini ketika mendengar lagi kata belau, saya menjadi penasaran dengan resep orang-orang tempo dulu ini. Benarkah belau ampuh sebagai obat beguk atau gondong? Ternyata itu hanya sebuah mitos. Dalam ilmu kedokteran, tidak ada kandungan apa pun dalam belau yang dapat menyembuhkan penyakit yang bernama parotitis. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus dari golongan paramyxovirus yang menyerang kelenjar liur (kelenjar parotis) di dalam mulut. Orang-orang yang terserang virus ini akan merasakan nyeri pada kelenjar yang kemudian disertai dengan pembengkakan. Parotitis ini dapat menyerang siapa saja, namun lebih sering menyerang anak-anak usia 5—9 tahun.

Menurut dokter, penyakit ini termasuk pada self limiting disease. Penyakit ini dapat sembuh tanpa perlu diobati. Jika pasiennya istirahat dengan cukup dan makan makanan yang bergizi, penderitanya akan sembuh. Makanan bergizi dan istirahat yang cukup sangat berarti dalam meningkatkan daya tahan tubuh penderitanya. Bengkak di leher pun secara perlahan akan mengempes dan pulih dengan baik.

Jika seseorang yang menderita beguk atau gondongan disertai demam, mereka perlu minum obat parasetamol untuk menurunkan panas badan. Bagian leher yang bengkak sesungguhnya tidak perlu dibaluri belau. Mungkin karena generasi sekarang sudah semakin cerdas dan sudah semakin peduli dengan kesehatan dan daya tahan tubuh, saya tidak lagi menemukan orang-orang terkena penyakit ini. Bahkan, kalau pun ada, saya yakin belau tidak lagi dipakai sebagai obat penyembuh. Pendidikan sudah membuat orang-orang Indonesia percaya kepada tim medis dan menyembuhkan diri melalui obat-obatan yang teruji secara klinis. Namun, kata belau tidak dapat dimungkiri pernah menjadi bagian dalam perjalanan hidup sebagian orang, termasuk saya.

Di balik kisah belau ini, hal lain yang membuat saya tertarik adalah asal-usul katanya. Kata belau yang juga bermakna ‘biru’, tampak jelas sebagai kata serapan. Kata ini berasal dari blue ‘biru’. Namun, karena kata ini merupakan kata serapan, orang-orang Indonesia sulit mengucapkannya sehingga terjadilah penyesuaian bunyi. Hasil penyesuaian tersebut menyebabkan kata blue menjadi belau dan kemudian menjadi kata baru dalam bahasa Indonesia pada masa itu.

Karena masih penasaran dengan asal-usul kata ini, saya pun mencari kata ini dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Baik dalam KBBI maupun dalam kamus-kamus bahasa Indonesia susunan W. J. S. Poerwadarminta dan Sutan Mohamad Zain, kata ini tidak dilabeli dari bahasa apa. Pelabelan hanya terdapat pada Kamoes Indonesia yang disusun oleh E. Soetan Harahap. Kata belau dicantumkan sebagai kata yang berasal dari bahasa Belanda. Namun uniknya, kata ini tidak bermakna ‘biru’, tetapi bermakna ‘hidjau, tepoeng hidjau toea dipakai menghidjaukan pakaian’.

Terkait makna yang dicantumkan oleh E. Soetan Harahap, saya jadi ingat dengan karakter masyarakat Minang yang dulu tidak memiliki warna biru. Masyarakat Minang hanya mengenal warna dasar merah, kuning, dan hijau. Untuk warna-warna sekunder, orang Minangkabau menyebut nama dasar terlebih dahulu, baru kemudian menambahkannya dengan benda-benda yang dimaksud. Misalnya, untuk warna biru muda, orang Minang akan menyebutnya dengan ijau langik (biru langit); untuk warna ungu, orang Minang akan menyebutnya dengan ijau taruang (ungu terung); dan untuk warna biru, orang Minang menyebutnya dengan ijau lauik (biru laut). Bahkan, kata belau juga dipakai sebagai pembeda tuanya warna biru. Orang Minang menyebutnya dengan ijau belau. Karakter ini barangkali yang menyebabkan E. St. Harahap mendefinisikan belau sebagai warna hijau dalam Kamoes Indonesia.

Setelah menelusuri kembali cerita di balik kata belau ini, saya semakin sadar bahwa sebuah kata dalam bahasa Indonesia begitu berperan dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Sebuah kata tidak bisa dijelaskan hanya berdasarkan definisi saja, tetapi juga harus diungkap berdasarkan makna lainnya, baik yang berkaitan dengan sejarah, sosial, atau budaya. Semuanya saling berkelindan di dalamnya.

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top