Mudik

Mudik

Oleh Ria Febrina

 

MudikSelamat mudik!

Hati-hati di jalan!

Kalimat ini sudah ramai terdengar dalam beberapa hari ini. Apalagi, mulai Rabu, 19 April 2023, aktivitas di kantor atau di perusahaan sudah tidak ada lagi. Pemerintah sudah resmi mengumumkan bahwa mulai tanggal tersebut, kita sudah cuti Lebaran. Inilah saatnya untuk mudik.

Jika melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (2023), kata mudik bermakna ‘pulang ke kampung halaman’. Selamat mudik! Hati-hati di jalan tentu bermakna ‘Selamat pulang ke kampung halaman! Hati-hati di jalan!’. Sebuah slogan sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung makna yang dalam.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub), pada tahun 2023 ini, diprediksikan jumlah pemudik meningkat menjadi 123,8 juta orang dari sebelumnya 85,5 juta pemudik. Ratusan juta pemudik tersebut akan berada di jalan raya menjelang Hari Raya Idulfitri. Mereka mengendarai kendaran pribadi, seperti sepeda motor dan mobil; serta angkutan umum, seperti bus, kapal laut, kereta api, dan pesawat terbang. Di jalan bebas hambatan (jalan tol) sekalipun, akan terjadi kepadatan kendaraan atau bahkan kemacetan. Jarak kendaraan akan semakin berdekatan. Oleh karena itulah, kalimat hati-hati di jalan sangat diprioritaskan karena melihat aktivitas mudik tahun-tahun berlalu, banyak terjadi kecelakan di jalan raya akibat kondisi yang tidak terkendali.

Mudik yang bermakna ‘pulang ke kampung halaman’ ini sesungguhnya bukan makna pertama yang melekat pada kata mudik. Makna ini baru ada sekitar tahun 1970-an ketika Kota Jakarta menjadi satu-satunya kota besar di Indonesia. Masyarakat dari seluruh Indonesia beramai-ramai datang ke Kota Jakarta untuk mengadu untung dan mengubah nasib agar penghidupan menjadi lebih baik. Mereka bekerja di kantor pemerintah, kantor swasta, pabrik, berbagai perusahaan industri, hingga berdagang di ibu kota negara. Setelah setahun hingga bertahun-tahun hidup di rantau, pada libur Lebaran, mereka pun menyempatkan diri pulang ke kampung halaman. Makna inilah yang kemudian melekat dan bertahan pada kata mudik hingga hari ini.

Makna ‘pulang ke kampung halaman’ ini sesungguhnya perkembangan makna dari makna awal yang melekat pada kata mudik berupa ‘(berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman)’. Dalam KBBI daring (2023), udik merupakan ‘1 sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber); (daerah) di hulu sungai: 2. desa; dusun; kampung (lawan kota)’. Dengan demikian, udik bermakna ‘hulu atau ujung’. Makna ini berkenaan dengan kondisi sosial yang terjadi pada masa lampau.

Pada masa dahulu, pagi-pagi sekali, orang-orang yang tinggal di hulu sungai bepergian ke hilir dengan menggunakan perahu atau biduk. Mereka bepergian untuk menjual hasil panen dan menukarnya dengan kebutuhan sehari-hari. Setelah selesai, mereka pulang ke hulu pada sore hari. Lama kelamaan, aktivitas yang rutin dijalani ini menyebabkan mereka ingin mengenal daerah baru. Aktivitas pergi ke hilir pun semakin lama dan semakin jauh sehingga masyarakat tidak bisa pulang pada sore hari. Mereka kemudian menginap satu atau dua hari, hingga menyebabkan mereka menetap di lokasi yang baru.

Ketika sudah meraih nasib yang baik, mendapat penghidupan yang lebih baik, mereka pun kembali ke hulu, ke kampung asal. Kembalinya mereka ke kampung halaman inilah yang menjadi makna awal yang melekat pada kata mudik. Dalam KBBI Edisi I (1988), KBBI Edisi II (1991), KBBI Edisi III (2005), KBBI Edisi IV (2008), dan KBBI Edisi V (2018), mudik didefinisikan dengan ‘(berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman)’.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjelaskan makna tersebut dalam sebuah kalimat, “Dari Palembang mudik sampai ke Sakayu’. Secara historis, kalimat ini dapat menjelaskan konteks pemakaian kata mudik berdasarkan kisah orang-orang yang suka berlayar dari hulu ke hilir yang merupakan kisah-kisah orang Melayu. Salah satu kisah terkenal itu berasal dari orang-orang Melayu yang berlayar ke Kota Palembang dari tempat terjauh, yakni Sakayu. Jarak Palembang ke Sakayu diprediksikan sekitar 60 km. Dengan jalur laut sebagai satu-satunya akses tercepat pada masa itu, pun dengan transportasi perahu yang konvensional, tentu membuat jarak tersebut sangat jauh. Ketika mereka sudah berlayar ke hilir dan hendak kembali ke hulu sungai itulah, aktivitas mereka dinamakan dengan mudik.

Berbeda dengan daerah di Jawa, orang-orang yang sudah merantau ke ibu kota justru kembali ke hulu untuk menjalani kondisi spiritual-kultural. Para petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur (Umar Kayam, 2002). Ziarah ke makam dan mendoakan para leluhur menjadi kewajiban karena mereka mempercayai bahwa kehidupan duniawi tidak bisa dilepaskan nanti di alam keabadian. Hal tersebut pun pernah tercatat oleh Poerwadarminta (1954) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa mudik bagi masyarakat Jawa bermakna ‘pulang kedesa’. Dalam kamus ini, tercatat bahwa kata mudik dijelaskan berasal dari bahasa Jawa.

Barangkali itulah sebabnya kemudian ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa kata mudik berasal dari bahasa Jawa berupa mulih dilik yang bermakna ‘pulang sebentar’. Namun, referensi ilmiah terkait makna ini belum ada. Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra, Antropolog Universitas Gadjah Mada justru menyatakan bahwa mudik berasal dari bahasa Melayu, yaitu udik–sebagaimana dijelaskan pada bagian awal tadi.

Meskipun tanpa informasi berasal dari bahasa apa, makna mudik sebagaimana pernyataan Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra (2023, detik.com), sudah ada dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Dalam Logat Ketjil Bahasa Indonesia (W. J. S. Poerwadarminta, 1951), mudik adalah ‘pergi kehulu sungai (keudik); lawan hilir’. Dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (Sutan Mohammad Zain, 1951), mudik adalah ‘keausan dari pada umudik, menudju keudik’. Dalam Kamus Indonesia Ketjik (E. St. Harahap, 1954), mudik adalah ‘mengarah kehulu, berdjalan keudik’. Dalam Kamoes Indonesia (E. Soetan Harahap, 1942), moedik adalah ‘berdjalan kehoeloe’. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1954), mudik adalah ‘(berlajar, pergi) keudik (kehulu sungai)’. Dengan demikian, tampak bahwa makna kata mudik pada awalnya merupakan sebuah perjalanan yang dilakukan orang-orang pada masa lampau untuk kembali ke hulu setelah bepergian dari kampung asal.

Jika ditelusuri lebih lanjut, benang merah yang melekat pada makna pertama ‘(berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman)’  dan makna kedua ‘pulang ke kampung halaman’, sama-sama menjelaskan telah terjadi perpindahan atau perjalanan seseorang dari tanah asal ke tanah rantau (untuk mengadu nasib atau memperbaiki kehidupan), lalu kembali sejenak ke kampung halaman untuk melepas kerinduan.

Dalam kondisi ekonomi yang hari ini semakin sulit bagi sebagian orang, mudik kemudian tidak lagi menjadi persoalan bernasib baik di rantau. Ada sebagian orang yang berhasil mengadu untung di rantau, lalu pulang dengan berbagi rezeki kepada keluarga. Namun, ada pula sebagian orang yang tidak berhasil mengadu untung di rantau, tetap pulang untuk melepas kerinduan.

Selain melepas kerinduan, mereka juga melepaskan penat dan beban yang mengimpit selama bekerja di kota besar. Orang-orang kampung pun–yang kondisinya kadang tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang merantau–sudah memaklumi kondisi tersebut sehingga dengan lapang dada menyambut saudara mereka di rumah. Bersilaturahmi, memaafkan, dan melepaskan kerinduan justru menjadi hal paling penting dalam setiap mudik yang dilakukan. Dalam silaturahmi tersebut, mereka masih bisa menyisihkan sebagian uang untuk berzakat di kampung halaman.

Zakat dan sedikit THR untuk keponakan memang menjadi obat atas ketidakberpihakan nasib baik terhadap mereka. Bagi kebanyakan para pemudik, berzakat di kampung halaman terasa lebih berharga karena melalui zakat tersebut mereka berbagi kebahagiaan. Mereka bisa menyaksikan bahwa sebagian saudara di kampung dapat merasakan rezeki yang didapatkan di kota.

Bambang B. Soebyakto (2011) dalam “Jurnal Ekonomi Pembangunan” menyatakan bahwa mudik menyebabkan sejumlah dana dari kota-kota besar mengalir ke seluruh wilayah Indonesia. Para pemudik memang sengaja menghabiskan dana yang dibawa dalam tempo yang sangat singkat–yang tidak lebih dari 7 hari tersebut. Inilah yang kemudian dilakukan para pemudik yang berhasil di rantau. Mudik bagi mereka terkadang bukan hanya untuk silaturahmi, tetapi untuk berwisata ke berbagai tempat di kampung halaman. Mereka ingin merasakan wisata alam atau wisata pedesaan yang tentunya berbeda dengan wisata di perkotaan. Fokus pada wisata kemudian menyebabkan situasi kehangatan di rumah menjadi berbeda. Kondisi ini kemudian dikritisi oleh salah satu perusahaan cat di Indonesia melalui iklan mereka soal mudik. “Mudik kok berwisata? Warnai rumahmu agar mudik semakin bermakna”. Sebuah promosi yang sekaligus sindiran agar kita kembali ke hakikat mudik. Berkumpul bersama keluarga di rumah.

Terlepas dari kritikan, serta perkembangan makna mengenai kata mudik, satu hal yang patut disyukuri kali ini adalah kesempatan untuk mudik. Setelah sempat dua tahun mudik dilarang, kini kita bahagia bisa kembali menikmati suasana mudik. Merasakan perjalanan yang lelah, tetapi memberi kebahagiaan dan kenikmatan yang tak akan tergantikan dengan sejumlah uang. Selamat mudik, teman-teman. Dari kami yang tidak bisa mudik, titip rindu untuk orang tua dan saudara di kampung halaman.(*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top