Ironi Sumatera Barat, Lumbung Padi Tapi Angka Stunting Tinggi

Ironi Sumatera Barat, Lumbung Padi Tapi Angka Stunting Tinggi

Sumatera Barat atau Sumbar dikenal sebagai penghasil beras unggul dan lumbung padi nasional, tambah pula kulinernya yang terkenal lamak bana. Ironinya, justru di lumbung padi dan tempat makan enak ini angka stunting tertinggi. Ada benarnya juga, bak kata orang, mancik mati di lumbuang/rangkiang. Artinya, beras unggul dan lumbung padi nasional itu tidak menjamin di daerah ini cukup asupan gizi berkualitas, terutama untuk anak-anak.

Hasil Survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2022 menunjukkan dua provinsi di Sumatera memiliki angka prevalensi stunting (tinggi badan di bawah standar menurut umur) di atas rata-rata angka nasional (21,6%).

Dua provinsi tersebut adalah Aceh (31,2%) dan Sumatera Barat (25,2%). Dengan angka prevalensi tersebut, artinya 2-3 dari 10 bayi di bawah lima tahun (balita) di wilayah ini mempunyai status gizi rendah sehingga anak-anak tumbuh pendek.

Ironi Sumatera Barat, Lumbung Padi Tapi Angka Stunting Tinggi

Kekurangan gizi di Sumbar ini menjadi ironi karena sebagian besar wilayahnya terkenal dengan lumbung padi. Sumbar merupakan sentra produsen beras yang terkenal di Sumatera dengan varietas beras lokal kualitas unggulan. Ternyata, kota dan kabupaten yang termasuk lumbung padi malah memiliki prevalensi stunting yang cukup tinggi, seperti Kabupaten Pasaman Barat (35,5%) dan Solok Selatan (31,7%).

Ditambah lagi, pemerintah daerah merasa telah melakukan upaya optimal, terutama para ahli gizi garda terdepan di Puskesmas.

Namun, menurut Dosen FKM Universitas Airlangga, Mahmud Aditya Rifqi, sepertinya pemerintah perlu sedikit berbenah untuk perencanaan program ke depan, selain terus mengencangkan ikat pinggang mengawal cakupan ASI ekslusif dan menurunkan kasus berat badan lahir rendah (BBLR), yakni kurang dari 2,5 kg.

“Kita perlu memperkuat pendidikan orang tua. Hal ini bisa dimulai dari pengantin baru. Program ini perlu dikuatkan di tingkat Puskesmas dan Kantor Urusan Agama (KUA). Selain membekali ilmu agama terkait pernikahan dan rumah tangga kepada calon pengantin, petugas perlu menambahkan pesan-pesan kesehatan, termasuk penyediaan air bersih dan sanitasi,” ungkap PhD Student Hokkaido University ini dalam tulisannya di The Conversation.

Dijelaskan pengajar di Hokkaido University tersebut, calon pengantin harus mengetahui konsekuensi menikah bukan hanya punya keturunan, tapi bertanggung jawab memiliki keturunan yang sehat dan produktif. Pesan-pesan singkat ini bisa berisi gizi yang baik untuk kehamilan, menyusui, ASI ekslusif, menyiapkan MPASI yang bergizi dan kebersihan pada lingkungan sekitar

Calon suami pun perlu tahu bahwa setelah menikah ia akan bertanggung jawab dengan asupan makanan anak dan istri. Suami juga harus ikut terlibat mengasuh anak, mengajari anak, menyulang anak, dan mendampingi istrinya.

“Kita perlu memperkuat edukasi dan penyebaran informasi secara masif melalui media massa soal gizi berkualitas ke masyarakat. Iklan layanan kesehatan di televisi dan radio agaknya kurang kekinian mencapai daerah terpencil. Lebih dari 40% individu di wilayah Sumatera adalah pengguna internet aktif. Harus ada perluasan di media sosial, seperti Facebook, Instagram, Youtube, Twitter, dan Tiktok,” paparnya.

Selain itu, pemerintah perlu mendekati pemimpin opini di masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, dai dan perangkat desa untuk kampanye pentingnya gizi dan kesehatan untuk anak-anak. Mereka memiliki pengaruh di komunitasnya masing-masing.

Satu desa/nagari, satu ahli gizi

Satu orang ahli gizi tentu tidak akan cukup menangani masalah gizi satu kecamatan dengan ratusan kepala keluarga dan balita. Harus ada tenaga gizi bantuan. Mahasiswa gizi bisa diberdayakan atau penguatan kader kesehatan di desa.

“Pilih kader unggulan masing-masing nagari (desa) yang akan menjadi penggerak. Pemerintah daerah juga dapat memperkuat jejaring dengan universitas yang memiliki jurusan gizi. Mahasiswa dapat diberdayakan untuk mengawal setiap kecamatan atau bahkan desa. Mahasiswa bersama kader Posyandu bisa jadi pengawal ketika ada masalah gizi langsung lapor dan tindak lanjuti,” ungkapnya.

Kolaborasi dan komitmen keluarga, masyarakat, petugas kesehatan dan pemerintah bisa menjadi kunci untuk mencegah anak-anak kita berkembang kurang optimal karena kekurangan gizi.

“Saya yakin dan optimis bahwa tahun-tahun berikutnya Sumatera bisa bangkit dan kembali berlari menuju masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera,” pungkasnya.

Dimulai dari hulu

Senada dengan itu, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Maria Endang Sumiwi mengatakan pencegahan stunting yang lebih tepat harus dimulai dari hulu yaitu sejak masa kehamilan sampai anak umur 2 tahun atau 1000 hari pertama kehidupan. Pada periode setelah lahir yang harus diutamakan adalah pemantauan pertumbuhan yang dilakukan setiap bulan secara rutin. Dengan demikian dapat diketahui sejak dini apabila anak mengalami gangguan pertumbuhan.

Dikatakan Endang, gangguan pertumbuhan dimulai dengan terjadinya weight faltering atau berat badan tidak naik sesuai standar.

“Anak-anak yang weight faltering apabila dibiarkan maka bisa menjadi underweight dan berlanjut menjadi wasting. Ketiga kondisi tersebut bila terjadi berkepanjangan maka akan menjadi stunting,” ungkapnya.

Endang juga menekankan agar masyarakat memperhatikan masa-masa saat persiapan kehamilan, masa kehamilan, dan pada saat anak-anak membutuhkan ASI eksklusif serta makanan pendamping ASI.

“Karena di situlah masa krusial kita. Jangan sampai ada tambahan stunting baru di usia itu. Prevalensi memang turun tetapi kita harus waspada juga di titik-titik mana kita masih perlu meningkatkan usaha-usaha kita,” terang Maria.

Target 14 % di tahun 2024

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan RI Syarifah Liza Munira mengungkapkan angka stunting hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 mengalami penurunan sebesar 2,8% dibandingkan dengan 2021.

“Angka stunting tahun 2022 turun dari 24,4% (tahun 2021) menjadi 21,6% (tahun 2022). Dari yang kami perhitungkan untuk dapat mencapai 14% di tahun 2024 perlu penurunan secara rata-rata sebesar 3,8% per tahun,” kata Liza dalam konferensi pers Hasil SSGI 2022 di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Jumat (27/1) lalu.

Liza menerangkan survei status gizi ini pada dasarnya mengukur gambaran status gizi balita. Utamanya adalah mengukur empat status gizi, yaitu stunting, overweight, wasting dan underweight. Selain itu ditambah juga dengan beberapa determinan yang terkait.

“Dari keempat angka status gizi, angka stunting turun sebesar 2,8% dan overweight turun 0,3%. Sementara wasting dan underweight meningkat sedikit, yaitu sebesar 0,6% untuk wasting dan 0,1% untuk underweight,” ujarnya.

Liza juga menjelaskan dari angka SSGI ini yang menjadi sangat menarik dan bermanfaat terutama untuk percepatan penurunan angka stunting adalah terdapat dua titik yang signifikan untuk dilakukan intervensi. Titik pertama adalah sebelum lahir dan kedua adalah setelah lahir pada usia 6-11 bulan serta 12-23 bulan.

“Angka stunting saat lahir untuk tahun 2022 sebesar 18,5%. Ini untuk titik pertama. Kemudian di titik kedua, angka stunting pada kelompok umur 6-11 bulan sebesar 13,7% yang naik menjadi 22,4% pada kelompok umur 12-23 bulan. Mengalami peningkatan yang cukup tajam sebesar 1,6 kali. Jadi itu adalah titik yang penting dan strategis untuk diintervensi,” tegas Liza. (CGK)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top