Dari Cerita Petani Labu hingga Perusahaan Pertanian Global dan Politik Petani

Dari Cerita Petani Labu hingga Perusahaan Pertanian Global dan Politik Petani

Ada sebuah jalan setapak di belakang pemukiman masyarakat kampung Bonjol Alam, nagari Ampang Gadang. Dari cerita-cerita orang tua, jalan itu sudah ada sejak lama, terdapat pandam pekuburan suku Koto, Pisang dan Simabua. Jalan ini dulu sering menjadi tempat anak-anak mencari buah arbei liar. Tapi sekarang kondisi jalan sudah banyak berubah dan dari sela-sela semak dan batang batuang yang tidak lagi rimbun, bermunculan atap-atap rumah warga.

Agaknya hampir 10 tahun saya tidak pernah lagi melewati jalan itu. Di sebelah jalan setapak yang ditumbuhi batang batuang dan bambu itu, serta pohon-pohon tua lain yang masih tersisa, terdapat sebuah lahan yang diolah oleh pasangan suami istri yang sudah berumur. Saya memanggil mereka Pakwo Pakiah dan Makwo Mi. Kali ini saya ke sana bukan sekedar mengingat kenangan masa kecil, namun juga diajak memanen buah labu bersama mereka pada Kamis (16/03/2023).

Kegiatan panen dilakukan mulai dari pukul 08.00 pagi di lahan yang kurang lebih setengah hektar. Saya dan kawan masa kecil saya Aan (anak kemenakan pasangan itu) bertugas untuk mengangkut labu. Pakwo dan Makwo memetik labu dari batangnya kemudian menyusunnya di tengah kebun. Setelah itu saya dan Aan memindahkan labu ke pinggir kebun, lalu diangkut menggunakan gerobak ke rumah mereka.

Hasil panen kali ini ditaksir kurang lebih 1 ton, cukup menguras tenaga dan membuat peluh bercucuran. Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 10.30 dan kami memilih untuk beristirahat. Makwo membuatkan kami kopi dan menyuguhkan kue.

Saya terpancing untuk bertanya, dari mana bibit labu ini berasal, apakah ada jenis labu lain yang ditanam? Mereka berdua mengatakan bahwa bibit labu (Kusuma F1) ini dibeli dari toko pertanian. Mereka tidak lagi menanam labu jenis lain karena labu besar lebih diminati oleh pasar. Namun sebagai petani mereka tidak tahu akan diolah menjadi apa labu ini. Pakwo mengingat bahwa ada labu yang bentuknya lonjong, ada juga yang genting (seperti tempat minum di film China) ada juga yang agak bulat.

“Labu jenis lain sudah kalah, mungkin masih ada yang menanam tapi tidak untuk dijual,” kata Pakwo.

Dari penuturan Pawko, untuk satu lahan tersebut dia menghabiskan 6 kantong bibit labu yang satuannya seharga Rp. 35.000,00 dan tidak semua bibit yang ditanam akan tumbuh. Selain itu labu yang dipanen tidak bisa dijadikan bibit karena tidak akan berbuah maksimal.

“Karena itu banyak petani labu lain yang tidak membibitkan sendiri hasil panennya dan lebih memilih membeli bibit ke toko,” tuturnya.

Lalu cerita kami berlanjut ke pembahasan mengenai pertanian organik, sembarai mengingat kembali masa kecil saat pertanian masih bersifat tradisional dan alami. Mereka mengisahkan, dulu pertanian tidak ribet seperti pupuk, racun dan bibit yang harus dibeli. Semua dilakukan secara alami, namun masa panen sangat lama.

“Dulu panen mungkin sekali setahun, orang yang tidak membeli beras di kampung adalah orang kaya. Sekarang dalam kondisi sulitpun kita masih bisa makan,” kata Makwo.

Mereka menyadari bahwa tanah telah rusak dan ketergantungan akan pupuk anorganik, namun untuk berpidah ke pertanian organik mereka tidak yakin. Pertama karena pupuk organik membutuhkan waktu lama, kedua disebabkan mereka tidak memiliki modal yang cukup. Memang pertanian organik lebih murah dari segi biaya, tapi memperbaiki tanah menurut mereka juga membutuhkan waktu dan biaya yang lebih.

Saya berpikir cukup lama mengenai masalah yang mereka kemukakan. Jika pertanian seperti ini diteruskan tentu kerusakan tanah dan ketergantungan akan pupuk anorganik semakin parah. Generasi petani selanjutnya tentu akan semakin kesulitan melanjutkan pertanian. Belum lagi harga pupuk yang terus naik, pembelian bibit, dan juga sewa lahan. Dan jika diarahkan ke pertanian organik, mereka tidak memiliki modal dan perlu pendampingan yang rutin dan terarah. Sulit untuk dilakukan secara mandiri. Jika demikian langkah seperti apa yang paling tepat untuk dilakukan?

Dari Benih Menjadi Perusahaan Global

Jika kita telusuri bibit labu hibrida Kusuma F1 berasal dari perusahaan East-West Seed Indonesia (EWINDO) dengan merek jual Cap Panah Merah. Sebuah perusahaan benih sayuran terpadu pertama di Indonesia. Laman web panahmerah.id mengklaim mereka menyediakan benih sehat dengan kemurnian genetik tinggi dengan kemampuan produksi besar. Serta dijalankan oleh para profesional dibidangnya. Serta bersedia mengunjungi dan melayanai petani.

EWINDO adalah anak perusahaan East-West Seed, perusahaan pertanian global yang menjual bibit ke Asia, Afrika dan Amerika Latin. Perusahaan ini menjadi salah satu benih sayuran terkemuka di dunia. Mereka menargetkan para petani kecil dengan ide agribisnis ala World Trade Organization (WTO) yaitu peningkatan produktivitas. Tujuan mereka terbukti dan perlu kita akui memiliki dampak besar dalam penignkatan produksi pertanian kita.

Perusahaan ini didirikan tahun 1982 di Filipina dengan misi meningkatkan pendapatan petani kecil dengan bibit syuran berkualitas tinggi. Pendirinya adalah Simon Groot, dia merupakan keturunan ke-6 dari keluarga yang meletakan dasar industri benih sayuran Belanda (Sluis and Groot Family). Simon bekerjasama dengan pedagang benih Filipina bernama Benito Dominggo. Aktivitas bisnis benihnya di Filipina berbuah manis, perusahaan terus berkembang dan meluas ke sluruh Asia Selatan dan Tenggara.

Dari Filipina meluas ke Thailand (1984), Indonesia (1990), Vietnam (1995), India (2003), Myanmar (2009), Tanzania, Guatemala, dan Kamboja menyusul kemudian. Simon Groot menjadi pendiri sekaligus anggota aktif Asian and Pacific Seed Asociation (APSA). Pada tahun 2019 Simon Groot mendapatkan Penghargaan World Food Prize 2019. Penghargaan ini diberikan atas kontribusi Simon dan perusahaannya mengalihkan petani subsisten ke wirausaha holtikultura.

Perusahaan East-West Seed ini sekarang berkantor pusat di Thailand dan menyalurkan bibit ke 74 negara. Pada 21 September 2020 berada di posisi ke-28 dari 53 perusahaan global yang “berhasil dengan berbuat baik”.  Data websiteWorld Benchmaking Alliance merilis perusahaan East-West Seed berada di posisi pertama dari 31 perusahaan penjual benih untuk Asia Selatan danTenggara. Pendapatan perusahaan ini sebesar $185.000.000 untuk tahun 2021.

Antara Produktivitas Pertanian dan Kemiskinan Petani

Sebuah artikel yang dipublikasikam oleh World Economic Forum (WEF) pada tahun 2015 menyatakan bahwa 795 juta masyarakat dunia yang tidak mendapatkan cukup makanan adalah petani. Setahun setelah itu, tepatnya pada 2016 World Bank memperkirakan ada sekitar 500 juta rumah tangga petani miskin di seluruh dunia dengan lahan kurang dari 2 hektar dan gaji kurang dari 2$ per hari.

Di dalam laporan Food and Agriculture Organization (FAO) berjudul The Future of Food and Agriculture: Trend and Challenges. Pertumbuhan produksi pangan dunia meningkat 2.5% dari tahun 1961-2010. Dalam rentang tahun tersebut populasi manusia berkembang dua kali lipat, produksi pangan global lebih dari tiga kali lipat, dan lahan pertanian dunia meningkat kurang dari 15%.

Berdasarkan kenyataan tersebut, ternyata peningkatan produktivitas tidak serta merta meningkatakan kesejahteraan petani. Ide-ide pembangunan seperti WTO dan East-West Seed kemukakan telah berdampak luas. Secara nyata mengeliminasi varietas lokal, ketergantungan akan pupuk anorganik dan pasar. Jika terus dibiarkan beban petani akan semakin bertambah dan mendorong menuju kemiskinan yang lebih parah.

Jika dulu kita hanya terpaku pada narasi kapitalisme di perkotaan, secara diam-diam kapitalisme global telah merengsek masuk ke pedesaan. Hal ini menyebabkan keuangan desa mengalami kebocoran dan tidak mensejahterakan petani. Pakwo dan Makwo serta petani lain di Bonjol Alam dan Indonesia bahkan dunia, pada kenyataannya tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam hidup mereka sebagai petani.

Untuk mencapai kesejahteraan tidak mungkin kita akan terus bergantung pada bibit yang tidak bisa dikembangkan secara mandiri oleh petani. Wacana pertanian organik, kedaulatan pangan dan kesejahteraan tidak akan bisa direalisasikan jika menjadi beban bagi petani. Dari situ ada sebuah kesimpulan, tujuan besar ini tidak bisa dilakukan secara mandiri, harus dilakukan bersama-sama.

Politik Petani dan Petani Berpolitik    

Saat kami bercerita di kebun hari itu, Aan sering berkata politik petani. Entah apa yang dia maksud, tapi saya teringat akan Serikat Petani Indonesia (SPI) yang sebagian besar kadernya masuk ke dalam Partai Buruh. Ini harus diapresiasi karena para petani sudah semakin dalam terjun ke politik. Pada akhirnya mereka memang harus memperjuangkan tujuan mereka lewat cara yang demokratis.

Kebijakan pertanian yang selama ini dijalankan walau tentunya untuk tujuan baik belum mampu menciptakan kesejahteraan secara adil. Mungkin memang sudah saatnya petani sebagai orang lapangan ikut berperan aktif dalam pembuatan kebijakan. Sebagai negara agraris sudah sepantasnya para petani diterima dengan hormat dalam perpolitikan. Sektor yang mereka jalankan telah memberikan peran besar dalam perekonomian kita saat ini, maupun dalam masa sulit.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, perjuangan ini tidak bisa dilakukan secara mandiri, sangat dibutuhkan kontribusi berbagai pihak. Tujuan baik ini harus kita dukung bersama guna mencari kesepahaman. Dalam karya Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita, beliau berkata “tanggung jawab dan tolerasi” sebagai dasar demokrasi dan politik kita. Demokrasi sosial yang berbeda dengan ide-ide demokrasi liberal yang kita terapkan saat ini. Untuk masalah ekonomi, Bung Hatta juga merekomendasikan demokrasi ekonomi: koperasi. Bukan ekonomi liberal yang tidak adil dan berdampak pada kemiskinan petani.

Semua perjuangan pertanian yang kita lakukan hari ini, dari berbagai latar belakang dan organisasi, pada akhirnya tentu ingin menyejahterakan para petani. Marilah sejenak kita merenung sebelum memasuki pemilu 2024. Perjuangan seperti apa yang kemudian akan kita lanjutkan untuk petani dan untuk Indonesia kita. Semoga 2024 menjadi titik awal pertanian kita yang baru dan kuat, berbasis pada kekayaan lokal kita.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top