Micin

Micin

Oleh: Ria Febrina

 

MicinKetika mendengar kata micin, pasti yang terbayang adalah penyedap rasa.

Micin dapat memperkuat rasa makanan. Bagi yang suka memasak, pasti bisa membedakan rasa makanan yang menggunakan micin dengan makanan tanpa micin. Akan ada rasa gurih yang kuat di samping rasa manis, asam, pedas, dan asin dalam makanan tersebut.

Dalam bahasa Indonesia, kata micin merupakan kata baru. Kata ini baru dicantumkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (2018). Dalam KBBI edisi cetak lainnya dan juga kamus-kamus bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta, E. St. Harahap, dan St. Mohammad Zain, kata micin belum ada. Jika melihat makna micin dalam KBBI, akan tercantum ‘vetsin’.

Masuknya kata micin ke dalam KBBI Edisi V memang berkaitan dengan upaya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam merekam dan mendokumentasikan kosakata yang terpakai di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam KBBI Edisi V, kata micin dilabeli cak atau masuk ke dalam ragam percakapan. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan kata micin sangat produktif dalam video dan percakapan tertulis di media sosial, seperti Instagram, TikTok, dan Twitter.

Pada masa-masa sebelumnya, masyarakat tidak menggunakan kata micin, tetapi memakai kata vetsin. Vetsin adalah ‘bumbu tambahan untuk menyedapkan masakan berupa serbuk berwarna putih bersih, monosodium glutamat sebagai bahannya’. Oleh karena itu, kata micin yang bermakna ‘vetsin’ dilabeli dengan Tbg yang merupakan singkatan dari tata boga. Kata micin memang secara spesifik dipakai dalam ranah tata boga.

Kepopuleran kata micin di media sosial sesungguhnya tidak berkenaan dengan tata boga.

Pada suatu waktu, pengguna bahasa Indonesia menggunakan kata micin ini untuk membandingkan beberapa kelompok generasi yang sudah dikelompokkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (2020). Masyarakat membandingkan generasi y atau generasi milenial (kelahiran 1981—1996) dengan generasi yang lahir setelah masa tersebut, yaitu generasi z (1997—2012) dan generasi post gen z (di atas 2013). Generasi yang lahir setelah generasi milenial disebut dengan generasi micin.

Frasa generasi micin digunakan untuk menggambarkan generasi yang suka  mengonsumsi Monosodium Glutamat (MSG). Nama lain dari MSG ini adalah vetsin atau micin sehingga lahirlah istilah generasi micin. MSG berbentuk kristal berwarna putih yang diekstrak dari asam glutamat alami, seperti dari rumput laut, batang tebu, dan sayuran tertentu. MSG ini ditemukan pertama kali tahun 1908 oleh Profesor Kikunae Ikeda setelah mencicipi kaldu dashi buatan istrinya yang menggunakan kombu atau rumput laut Jepang. Karena rasa gurihnya berbeda, Profesor Ikeda pun meneliti kaldu tersebut hingga berhasil mengesktrak komponen kristal yang ternyata adalah asam glutamat. Kristal itulah yang menghasilkan rasa gurih.

Kini MSG tidak lagi diekstrak dari kaldu rumput laut. MSG bisa diekstrak melalui proses fermentasi bahan-bahan nabati, seperti tebu, bit gula, singkong, atau jagung. MSG pun sudah dinyatakan aman dikonsumsi oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dan juga World Health Organization (WHO) dengan kandungan berupa 78 persen asam glutamat dan 22 persen gabungan dari sodium dan air.

MSG ini aman dikonsumsi oleh tubuh manusia dengan jumlah asupan harian sebanyak 6 gram per hari (WHO) atau 5 gram per hari (Menteri Kesehatan Republik Indonesia). Prof. Dr. der. Nurpudji A. Taslim, M.P.H., Sp.G.K.(K), guru besar Universitas Hasanuddin (2020) menjelaskan bahwa 0,5 gram setara dengan satu sendok teh. Dengan demikian, dosis maksimal yang boleh dikonsumsi oleh orang-orang Indonesia adalah 10 sendok teh. Namun, orang-orang Indonesia tidak mengonsumsi MSG sebanyak itu. Dikutip dari Kompas.com, rata-rata orang Indonesia hanya mengonsumsi 0,65 gram setiap harinya. Artinya, masih di bawah batas maksimal harian.

Namun, penggunaan MSG yang berlebihan memang dapat mengakibatkan sejumlah penyakit. Sebagaimana dikemukakan oleh dr. Fadhli Rizal Makarim di laman Halodoc, penggunaan micin yang berlebihan dapat memicu gangguan kesehatan otak hingga kematian sel; meningkatkan risiko MSD symptoms complex (MSC) berupa pusing, lemas, sakit kepala, dan kesulitan bernafas; memicu peningkatan kadar gula darah; meningkatkan risiko diabetes; meningkatkan tekanan darah; gangguan psikiatri, seperti cemas berlebihan, sres, dan depresi; gangguan kesuburan; serta kanker.

Meskipun bukan micin penyebab utama, masyarakat Indonesia sudah terlanjur memberi pelabelan bahwa micin itu berbahaya. Adanya micin dalam setiap makanan siap saji di Indonesia menyebabkan masyarakat menyimpulkan micin dapat merusak otak dan membahayakan kesehatan. Padahal, micin berbahaya ketika digunakan berlebihan.

Dari pandangan itulah, generasi muda penyuka makanan cepat saji disebut dengan generasi micin. Generasi ini memang sangat suka mengonsumsi makanan cepat saji, seperti ayam goreng, piza, burger, kentang goreng, nuget, dan kebab. Semua makanan tersebut sudah pasti memakai MSG, vetsin, atau micin. Sayangnya, generasi muda mengonsumsi makanan tersebut tanpa diikuti dengan makan buah-buahan, sayur-sayuran, dan olahraga. Hal tersebut menimbulkan efek cepat mengantuk dan juga malas belajar. Apalagi, generasi z dan juga post gen z tampak lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget. Mereka duduk bermain hape sepanjang hari. Oleh sebab itu, kata micin dipilih untuk menunjukkan konotasi negatif.

Ketika guru di sekolah memberikan tugas, seperti membaca, melakukan uji eksperimen sederhana, dan menulis, mereka sering mengeluh betapa sulitnya mengerjakan tugas-tugas tersebut. Teknologi internet yang kemudian memberikan kemudahan kepada mereka menyebabkan banyak generasi  muda menyalin tugas yang disajikan di berbagai web, lalu mengumpulkan sebagai tugas pribadi. Tidak ada sama sekali upaya untuk membaca dari banyak sumber, lalu menulis sendiri gagasan yang dimiliki. Sebuah kondisi yang menunjukkan bahwa produktivitas generasi muda menurun. Gambaran untuk generasi ini dikonkretkan dalam sebuah istilah yang bernama generasi micin.

Meskipun demikian, dalam korpus-korpus bahasa Indonesia, seperti korpus web Indonesia (IndonesianWaC) yang terdapat di Sketch Engine (https://www.sketchengine.eu/) dan korpus Leipzig (https://corpora.uni-leipzig.de/), kata micin masih dipakai secara denotatif atau sesuai dengan makna dalam KBBI. Sementara itu, dalam korpus Indonesia (https://korpusindonesia.kemdikbud.go.id/, kata micin dipakai untuk menjelaskan makna asosiasi. Kita bisa lihat dalam artikel yang ditulis Martin Suryajaya, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Drijarkara, Jakarta.

Melalui naratornya, Goenawan bercerita tentang sang Manusia: “Ia lahir dari buku, hidup dari pustaka, dan menghilang di halaman terakhir sebuah risalah.” Dengan kata lain, Tan Malaka hanyalah kutipan. Ia hadir di mana-mana tanpa menjadi apa-apa. Sebagai Manusia Universal, ia seperti micin.

Teks tersebut merupakan ulasan tentang pertunjukan opera mengenai Tan Malaka. Dalam teks tersebut, disebutkan bahwa Tan Malaka  diasosiakan dengan micin. Selama pertunjukan opera, penonton bisa mendengar 16 kali nama Tan Malaka disebutkan, tapi tak sekali pun sosok Tan Malaka dihadirkan. Tan Malaka hadir di mana-mana, tapi hanya sebagai rasa. Ketidakhadiran Tan Malaka dalam opera tersebut mengandung makna asosiasi, yaitu makna kata berupa perumpamaan. Tan Malaka diumpakan sebagai micin dalam opera tersebut.

Dari penggunaan kata micin di berbagai  korpus dan ragam bahasa, tampak bahwa micin menjadi bentuk sinonim dari kata vetsin dalam bahasa Indonesia. Sebagaimana vetsin, micin juga merupakan penyedap rasa. Namun, generasi yang sudah dilabeli dengan generasi micin, jangan sampai hanya menjadi penyedap dalam menentukan Indonesia masa yang akan datang. Butuh gagasan, tindakan, dan perjuangan konkret untuk terus berkontribusi terhadap bangsa.(*)

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top