Candu

Candu

Oleh: Ria Febrina

Candu

Musik itu candu.

Mendengar kata candu pada kalimat tersebut, kita seperti membayangkan bahwa kata candu bersinonim dengan kata sifat lainnya, seperti indah dan bagus. Musik itu indah. Musik itu bagus. Barangkali karena melekatnya kata sifat pada kata candu, akhirnya banyak orang menggunakan kata candu sebagai kata sifat. Ketika seseorang menyukai sesuatu secara berlebihan, dia akan berkata dengan senangnya, “Saya candu.” Makna lainnya, “Saya sangat suka”.

Siapa sangka, kata candu yang dimaknai sebagai kata sifat ini, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ternyata bermakna lain. Kata candu bukanlah kata sifat, melainkan kata benda. Dalam KBBI Edisi V, candu adalah ‘1) pohon besar, tingginya 4,5 m, kayunya rapuh; 2) getah kering pahit berwarna cokelat kekuning-kuningan yang diambil dari buah Papaver somniferum, dapat mengurangi rasa nyeri dan merangsang rasa kantuk serta menimbulkan rasa ketagihan bagi yang sering menggunakannya; 3) cairan kental berwarna hitam yang keluar dari rokok yang diisap yang melekat pada pipa; dan 4) sesuatu yang menjadi kegemaran.

Kata candu pada definisi tersebut dilabeli dengan n atau nomina. Kata candu tidak dimaknai dengan kata sifat. Meskipun Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tidak memberikan contoh kalimat, kita dapat melihat contoh pemakaian kata candu pada kalimat berikut.

(1a) Dia candu obat-obatan.

(1b) Dia ketagihan obat-obatan.

Obat-obatan menjadi sesuatu yang digemari oleh orang tersebut. Obat-obatan yang dimaksud adalah obat terlarang, seperti narkotika dan psikotropika. Lalu, mengapa kata candu muncul sebagai kata benda, bukan sebagai kata sifat dalam KBBI? Barangkali ini berkaitan dengan sejarah kemunculan kata candu dalam bahasa Indonesia. Kata candu baru masuk dalam KBBI Edisi I (1988). Dalam kamus-kamus Indonesia lainnya, seperti Kamus Indonesia Ketjik (E. St. Harahap, 1954), Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1952), Kamoes Indonesia (E. Soetan Harahap, 1942), Kamus Moderen Bahasa Indonesia (Sutan Mohammad Zain, 1951), dan Logat Ketjil Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1951), kata candu belum ada.

Badan Narkotika Nasional Indonesia menyatakan bahwa candu merupakan tanaman yang bernama Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum. Selain candu, nama lainnya adalah opium atau apiun. Tanaman ini memiliki tinggi sekitar satu meter. Daunnya bulat panjang dengan tepi bergigi. Tanaman yang dibudidayakan di pegunungan subtropis ini memiliki tangkai panjang dengan satu tangkai terdiri atas satu bunga dengan kuntum bermahkota putih dan ungu, serta pangkal berwarna putih dan merah cerah. Bunga candu sangat indah sehingga beberapa spesies dijadikan tanaman hias. Namun, siapa sangka, getah dari buah candu yang belum matang dapat menjadi bahan baku narkotika.

Sebelum kita mengenal narkotika, dulu di Pulau Jawa orang-orang mengenal yang dinamakan candu. Setidaknya pada abad ke-17, Pemerintah Kolonial Belada menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan. Komoditas ini bahkan dimonopoli. Pakar candu, Henri Louis Charles Te Mechelen (1882) dalam buku yang berjudul Opium to Java karya James R.Rush menyatakan bahwa satu dari 20 orang Jawa mengisap candu saat itu.

Meskipun banyak yang menyukai candu, candu tidak tumbuh di Pulau Jawa. Badan Narkotika Nasional Indonesia menyatakan bahwa candu didatangkan dari daerah lain, yaitu dari Turki dan Persia. Mengapa candu bisa masuk ke Indonesia? Ternyata berkenaan dengan perjanjian Raja Jawa, Amangkurat II dengan Vereenigde Ost Indische Companie (VOC) pada 1677. Candu dimasukkan ke Mataram, lalu setahun kemudian dimasukkan ke Cirebon. Akibat perjanjian tersebut, pada 1619—1799, setiap tahun VOC bisa memasukkan 56.000 kg candu mentah ke tanah Jawa. Sebanyak 372 pemegang lisensi pun terdata menjual candu pada 1802.

Itulah sebabnya pada masa tersebut, candu dikonsumsi sebagai gaya hidup. Para bangsawan Jawa dan Cina yang kaya raya menjadikan candu sebagai simbol kehormatan. Tak hanya mereka, masyarakat lainnya, seperti pengembara, musisi, seniman teater rakyat, pedagang keliling, dan tukang upahan di perkebunan juga menikmati candu sebagai sebuah sensasi. Mereka mengurangi pegal-pegal di badan dan menikmati dunia khayal dengan mengonsumsi candu.

Makna candu sebagai obat-obatan itulah yang melekat pada makna kedua KBBI, yaitu ‘getah kering pahit berwarna cokelat kekuning-kuningan yang diambil dari buah Papaver somniferum, dapat mengurangi rasa nyeri dan merangsang rasa kantuk serta menimbulkan rasa ketagihan bagi yang sering menggunakannya’. Karena dampak ketagihan ini, candu pun menjadi sesuatu yang ditentang oleh banyak orang. Sejak zaman Belanda sudah ada gerakan memerangi candu yang dikelola oleh kelompok anticandu.

Pada masa Raja Paku Buwono IV (1788—1820), dituliskan sebuah syair untuk memerangi perilaku para kelompok penyuka candu tersebut. Sebuah syair untuk mengajak masyarakat melakukan ajaran moral yang benar. Syair tersebut bernama Wulang Reh yang bermakna ‘ajaran berperilaku benar’. Kala itu masyarakat gemar menghisap madat. Kata madat dalam KBBI daring adalah ‘candu (yang telah dimasak dan siap untuk diisap)’. Oleh karena itu, isi syairnya sebagai berikut.

“Jauihi madat: madat tidak baik untukmu semua, mengisap madat itu tidak baik.”

Gerakan ini terus berkembang hari ini. Kita diminta memerangi narkoba yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan obat terlarang. Salah seorang tokoh yang menyuarakan hindari narkoba adalah Alberthien Endah, seorang wartawan yang menulis buku berjudul “Jangan Beri Aku Narkoba” (Gramedia Pustaka Utama, 2004). Melalui slogan, “Narkoba No Way”, dia mengingatkan masyarakat untuk menghindari narkoba. Imbauan ini memang banyak, seperti di sisi selatan lapangan Monumen Serangan 11 Maret Yogyakarta, ada sebuah imbauan yang bertuliskan “Keren Tanpa Narkoba”.

Dengan demikian, tampak bahwa kata candu bermula dari kata benda, yang berasal dari tanaman yang bernama candu. Meskipun demikian, dalam penggunaan kata candu di tengah-tengah masyarakat, kata candu mengalami perkembangan. Muncul kata candu yang bermakna sebagai kata kerja dan yang bermakna sebagai kata sifat, seperti kalimat berikut.

Kata Kerja

(2) Dia sedang candu.

     ‘Dia sedang menghisap.’

Kata Sifat

(3) Saya candu.

     ‘Saya sangat suka.’

Perkembangan makna kata candu pada hari ini banyak didorong oleh lagu-lagu populer dan juga komunikasi di media sosial. Ada sejumlah lagu Indonesia yang menggunakan kata candu, di antaranya “Candu Tapi Canda” yang dinyanyikan oleh Jennifer Coppen, “Candu” yang dinyanyikan oleh Awkarin, dan “Candu” yang dinyanyikan Gangstarasta. Lirik-lirik tersebut menjelaskan candu bersinonim dengan kata suka. Di media sosial, seperti TikTok, muncul juga kalimat “Bandung memang bikin candu” yang menceritakan kenangan seseorang di Bandung. Orang tersebut rindu dan ingin datang lagi ke Bandung. Jadi, dia menulis kalimat yang bermakna “Bandung memang bikin rindu”. Makna yang menjelaskan candu sebagai kata sifat.

Ketika seseorang menyukai sesuatu secara berlebihan sampai menghasilkan perasaan rindu, itulah yang disebut dengan candu. Makna ini bermula dari sifat yang terdapat pada tanaman candu yang membuat orang-orang ketagihan. Silakan candu terhadap hal baik, seperti candu membaca, candu berkarya, candu belajar, dan candu berkreativitas. Siapa pun akan senang dan mendukung kita. Namun, jangan sampai membiarkan diri candu terhadap hal-hal yang tidak baik. Jangan sampai candu membunuh masa depan.

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top