Kiprah“Kapitein Djanggoet” TB Veltman (1791-1833) dalam Perang Paderi

Kiprah“Kapitein Djanggoet" TB Veltman (1791-1833) dalam Perang Paderi

Oleh: Novelia Musda

 

Veltman adalah salah satu prajurit Belanda yang merasakan kerasnya Perang Paderi mulai dari awal hingga pertengahan pertempuran.

Kali ini yang kita bahas bukan seorang negarawan dan bahkan bukan salah satu perwira tinggi, tapi seorang perwira biasa pasukan Belanda yang bertempur dalam Perang Paderi di lapangan. Dari kisahnya kita bisa lihat bagaimana seorang Belanda merasakan kerasnya medan tempur di Minangkabau selama bertahun-tahun menghadapi kaum Paderi, perang yang makan banyak korban dari kedua belah pihak. Perang Paderi ini awalnya berlangsung semenjak abad 18 antara kaum adat dan kaum Paderi dalam bentuk perang sipil, lalu mulai mengikutkan Belanda pada 1821 hingga 1838. Bahkan setelah 1838 pun terjadi perang-perang kecil antara Belanda dan orang-orang Minangkabau, sehingga bisa dikatakan Perang Paderi adalah salah satu perang yang cukup lama dan makan banyak biaya serta korban yang dihadapi Belanda di Indonesia.

Selain ratusan pasukan biasa asli Eropa, sejumlah perwira terbaik Belanda jadi korban langsung maupun tidak langsung dari perang berlatar campuran agama dan politis kolonial ini. Karena banyaknya pengorbanan yang dilakukan, tidak heran Belanda menaruh harapan dan perhatian khusus dari Sumatera Barat yang dijajahnya. Salah satu kisah tentara Belanda yang diekspos cukup baik adalah TB Veltman, dikenal dengan Kapten Jangguik oleh orang-orang Minangkabau pribumi yang mengenalnya masa itu. Kegiatan-kegiatan militernya direkam baik oleh beberapa sumber Belanda tentang Perang Paderi. Dalam karya HM Lange yang khusus membahas kiprah pasukan Belanda di Sumatera Barat dari 1819-1845 setebal hampir 1000 halaman, nama Veltman 90 kali disebut. Artikel biografis dari Veltman dapat dibaca lebih lanjut dalam De Militaire Spectator tanggal 16 Januari 1839 berjudul Uit de Militaire Loopbaan van de Kapitein TB Veltman (Kiprah Militer Kapten TB Veltman).

Tette Baukes Veltman lahir 18 Maret 1791 di Oudehoorn, provinsi Friesland. Dari keluarga petani, Veltman lebih cenderung ke pendidikan militer dan mulai dinas pada 1814. Dia bertempur di Waterloo melawan Napoleon Bonaparte di pihak pasukan koalisi serta ikut menyerbu Perancis. Dengan pangkat Sersan Infanteri Veltman dikirim ke Hindia Belanda dan bertempur dalam ekspedisi Palembang pada 1821. Di sana dia ditunjuk menjadi komandan salah satu kompi Resimen ke-18. Di sana dalam penyerbuan Blaju, dia memperlihatkan keberanian luar biasa serta mendapat sejumlah sabetan pedang dan klewang lawan di bagian bahu dan badan. Luka-luka ini didapatnya karena menahan perlawanan keras ketika pasukannya mencoba memasuki benteng pertahanan lawan. Karena prestasinya, dia diangkat jadi Letnan Dua pada 1 Oktober 1821 setelah sebelumnya diberikan penghargaan Militaire Willemsorde oleh Kerajaan Belanda[i].

Kiprah“Kapitein Djanggoet" TB Veltman (1791-1833) dalam Perang Paderi
Ilustasi: Perang Paderai (wikipedia)

Setelah dari Palembang, Veltman ke Padang awal 1823 untuk ikut dalam Perang Paderi yang nanti akan mengharumkan namanya. Sebagai tugas awal, dia ditunjuk Letkol Raaff menyerbu benteng Paderi di bukit Marapalam pada 14 April 1823. Penyerbuan ini diharapkan melancarkan jalan ke Lintau, markas Tuanku Pasaman. Lereng yang curam serta kondisi benteng yang kokoh ditambah kuatnya perlawanan kaum Paderi membuat Marapalam susah direbut. Akhirnya, Raaff mengerahkan seluruh pasukan yang ada untuk menguasainya. Di hari yang ditentukan, tanggal 17 April 1823, pertempuran hebat pun terjadi antara kedua belah pihak. Namun, kaum Paderi terbukti sangat kuat sehingga Belanda terpaksa mundur. Di pihak Belanda sendiri dalam empat hari baku hantam tersebut telah tewas 21 orang, 55 luka berat dan 82 luka ringan. Veltman sendiri termasuk yang luka berat, bahu kanannya terkena tembakan.[ii]

Kemudian, Veltman bertempur melawan Paderi di Agam pada September 1823. Di sini salah satu misinya mempertahankan sebuah jembatan dekat Koto Tuo dengan 16 pasukan. Meski diserbu oleh lawan yang jauh lebih banyak, Veltman dan tentaranya berhasil memukul mundur mereka. Keberanian Veltman diakui oleh komandannya, Kapten Bauer. Setelah itu, Veltman ikut dalam penyerbuan nagari Kapau, salah satu benteng Paderi yang paling kuat. Meskipun berperang sangat berani, Belanda harus dibuat mundur oleh kaum Paderi. Di sini lagi-lagi Veltman mendapat luka berat: tangan kirinya kena tembakan. Meski masih belum pulih dari cedera, Veltman pada Desember tahun yang sama juga turut serta bertempur di VI Kota, sekitar nagari Pandai Sikek dan Kota Baru. Awalnya serangan ini berhasil, tapi akhirnya Belanda terpaksa mengalah karena Kapten Bauer terluka parah.

Tidak ada waktu untuk istirahat bagi Veltman meski tangan kanan dan kiri sudah berkurang fungsi. Tahun 1824 Veltman ditugasi memimpin benteng di Saruaso dengan 40-an anggota. Pada 24 Juni tahun tersebut, kaum Paderi dari Lintau dalam jumlah besar mendatangi benteng tersebut di pagi buta. Saat telah agak terang, Veltman menyadari mereka telah dikepung dan sebagian musuh tampaknya bersembunyi. Tempat persembunyian mereka diuntungkan dengan jurang-jurang sekitar medan, sementara benteng Veltman terletak di ketinggian, sehingga bisa merangsek tanpa ketahuan. Serangan diawali dengan menjarah dan membakari beberapa pondok bambu sekitar benteng agar pasukan Veltman terpancing. Namun, maksud ini tidak kesampaian sehingga kaum Paderi memutuskan melakukan serangan besar-besaran tanpa jeda.

Salah satu titik lemah benteng Saruaso dalam keadaan bahaya, sementara korban-korban dari pihak Paderi yang berjatuhan segera diisi kembali. Veltman langsung tampil dengan berani memberi contoh kepada pasukannya sendiri, sehingga mereka dengan semangat melakukan pertahanan mati-matian. Di saat kepayahan, salah satu as kereta meriam patah dan tak lama atap ruang komandan pun mulai terbakar. Ke sana kemari memimpin pertahanan, memperbaiki as meriam dan memadamkan api di bawah hujanan peluru. Kaum Paderi mulai berangsur mendekat dengan mencabut ranjau-ranjau parit dipandu pimpinan mereka. Salah satu anggota Veltman yang melihat itu dari atap langsung menembaki mereka sehingga pemimpin Paderi terbunuh. Melihat meninggalnya sang pemimpin serta susahnya menembus benteng Veltman, pelan-pelan kaum Paderi bergerak mundur dengan mendaki bukit yang memisahkan Lintau dan  Saruaso setelah bertarung 5 hingga 8 jam. Dalam serangan ini lebih dari 150 Paderi tewas. Korban di pihak Veltman jauh lebih sedikit.

Tahun 1825 adalah tahun defensif bagi Belanda di Minangkabau. Pecahnya perang Jawa membuat sebagian besar pasukan yang ada dari berbagai penjuru Nusantara dikirim ke sana. Namun, Veltman diperintah tetap tinggal di Sumatera Barat. Di masa ini dia ditugaskan memegang otoritas sipil sekaligus militer di distrik Agam yang terkenal sering bergejolak. Misi Veltman adalah menjaga ketertiban umum semaksimal mungkin. Keberanian dan ketabahan Veltman diterapkan dalam situasi yang berbeda, di mana dia bergaul dengan kaum pribumi dengan cara yang santun dan simpatik sehingga kedamaian di Agam bisa terjaga selama beberapa tahun pemerintahannya. Di masa 1825-1830 tersebut gangguan keamanan lebih banyak terjadi di daerah pesisir daripada pedalaman Minangkabau.

Mulai 1831 Belanda kembali mengambil sikap ofensif karena pasukan yang semula dikirim ke Jawa sudah kembali ke Minangkabau. Veltman juga kembali berperan di pertempuran. Dia ditugasi mengamankan sejumlah nagari yang bergejolak di wilayah Pesisir, seperti Manggung, Naras dan Pasar Baru, lalu lanjut ke VII Kota di Padang Darat. Di Pasar Baru Veltman mendapat tembakan meski tidak fatal. Karena berhasil dalam tugas-tugasnya, Veltman diangkat dari Letnan Satu jadi Kapten pada 22 Juni 1831.

Kiprah“Kapitein Djanggoet" TB Veltman (1791-1833) dalam Perang Paderi
Ilustrasi: Perang Paderi (Wikipedia)

Pada Agustus 1831, benteng Paderi di Bukit Marapalam kembali diserang. Kali ini Veltman dan Kapten de Quay yang bertugas melakukan penyerangan. Veltman sendiri yang pernah cedera dalam penyerangan benteng yang sama delapan tahun sebelumnya melakukan persiapan matang dan menyerang dari belakang di pagi buta. Karena kurang persiapan, kaum Paderi pun terpaksa meninggalkan benteng meski tak lama kembali menempati satu posisi yang cukup strategis tidak jauh dari sana. Posisi terakhir ini juga diserbu habis-habisan dini hari oleh Belanda dengan banyak korban di pihak Paderi.  Bulan September tahun yang sama negeri Atar dan Telawas[iii] juga diserang karena kaum Paderi semakin kuat di sana.

Pada April 1832 Veltman melakukan serbuan ke benteng Paderi di Kapau. Dia memimpin sayap kanan dan berhasil menguasai salah satu benteng yang terletak di satu bukit dekat daerah itu. Setelah Agam, kemudian Lintau yang merupakan pusat kekuatan kaum Paderi selama ini juga mulai diserang pada 22 Juli. Veltman memimpin sayap kiri serangan dengan kekuatan sejumlah orang Eropa dan tujuh puluhan orang Bugis dan Letkol Vermeulen Krieger di sayap kanan. Krieger lebih dulu bertempur dengan Paderi dan disusul oleh Veltman. Tanggal 24 Juli mereka telah mendekati Tapi Selo, pusat kekuatan Paderi di Lintau. Belanda mulanya disambut dengan tembakan meriam kaum Paderi, tapi kemudian kaum Paderi memutuskan mundur dengan lebih dulu membakar kampung sehingga Veltman dan pasukannya bisa menguasai wilayah yang sejak sepuluh tahun lalu diimpikan.

Pada bulan Oktober 1832, Belanda melakukan ekspedisi ke 50 Kota. Untuk tujuan tersebut, salah satu lini Paderi yang kuat dekat Tanjung Alam, yakni Tungkar, musti dikuasai terlebih dahulu. Pada malam tanggal 9 pasukan Veltman menyerang sayap kanan lini Paderi dan salah satu benteng kecil baru bisa direbut dini hari esoknya. Tak lama setelahnya, pasukan musuh diserang Veltman dari arah belakang, dan satu kolom lagi di front depan. Kaum Paderi pun meninggalkan benteng utama dikejar orang-orang Minangkabau di pihak kaum adat yang turut membantu Belanda. Meskipun benteng Tungkar berhasil direbut, Veltman mendapat luka cukup parah karena menginjak ranjau kaki. Setelah Tungkar satu demi satu basis Paderi di Limapuluh Kota takluk dengan senjata.

Namun, ada satu daerah di 50 Kota yang penduduknya terkenal berani belum ditundukkan hingga saat itu, yakni Halaban, di bawah pimpinan Tuanku Halaban yang pengaruhnya sangat luas. Belanda berencana menyerang Halaban pada 24 Oktober 1832 setelah sebelumnya mengamankan lini Gaduik dan Luak yang melindungi daerah tersebut. Pagi-pagi buta Letnan Donleben ditugaskan merebut benteng kecil di sisi kiri musuh. Awalnya memang berhasil, tapi kemudian kaum Paderi melakukan konsolidasi sehingga perwira tersebut dipukul mundur dengan beberapa orang tewas dan luka-luka. Kapten Quay juga tidak sukses menembus lini musuh. Veltman yang masih belum pulih dari kaki yang luka membawahi satu detasemen Eropa dan satu pasukan Bugis melakukan serangan di sayap kanan, disokong meriam dan houwitser serta sekompi barisan Jawa. Pelan-pelan pasukannya berhasil merebut benteng pertama, lalu benteng kedua dan akhirnya juga benteng ketiga yang terkuat. Kaum Paderi terpaksa mengalah dengan menimbulkan 80-an korban tewas dan luka di pihak Belanda.

Setelah takluknya Halaban, Veltman dengan sejumlah pasukan tinggal untuk mengatur sejumlah urusan di distrik 50 Kota. Dia mendirikan benteng (fort) van den Bosch di 50 Kota[iv], satu benteng di Payakumbuh dan kemudian fort Raaff di Halaban. Perdamaian di Minangkabau hanya sebentar karena kemudian kaum adat dan kaum Paderi akhirnya bersatu melawan Belanda pada Januari 1833. Bonjol dan Lubuk Sikaping berhasil direbut dan satu detasemen pasukan yang sedang berpatroli diserang. Perlawanan juga diikuti di mana-mana sehingga posisi Belanda jadi sangat terjepit. Saat itu sebenarnya Veltman sudah di Padang menunggu kapal yang akan membawanya ke Belanda. Sudah 17 tahun dia di Hindia Belanda dan kangen menjumpai sanak famili di kampung halaman. Mendengar kejadian terakhir, dia serta merta menawarkan diri untuk diterjunkan kembali ke medan tempur. Dia kemudian ditugaskan merebut kembali Tiku dan Manggopoh; pada Maret hal itu pun kelar dan dia kembali ke Padang.

Bulan Mei 1823 situasi sudah semakin sulit bagi Belanda. Buo dan Koto Tujuh menyatakan perang lagi dan diikuti sejumlah daerah lainnya. Veltman kemudian ditugaskan ke pos di Tambangan untuk membantu pemadaman pemberontakan terbuka di Agam, tapi justru pasukannya diserang habis-habisan sehingga dia musti mempertahankan diri sebisa mungkin. Setelah mendapat tambahan pasukan dia memberikan instruksi mengamankan Ladang Laweh agar sayap kanannya tidak ditembus. Kali ini dia beruntung dibantu oleh pasukan pribumi dari Batipuh yang masih loyal pada Belanda. Posisi Tambangan sangat strategis saat itu, karena bila jatuh maka hubungan antara Padang Darat dan Padang Pesisir akan terputus. Setelah memberi perintah kepada dua opsir bawahannya untuk tetap di benteng, Veltman dengan dua puluh pasukan menghadang musuh yang muncul dari belakang. Kaum Paderi tidak menyangka akan diserang mendadak segera mundur, tapi karena terkepung di wilayah Batipuh kabur tanpa terkoordinasi. Regent Batipuh bersama pasukannya mengejar kaum Paderi yang lari memencar tersebut hingga ke Gunung yang kemudian jatuh ke tangan Belanda.

Pasukan bantuan semakin bertambah dari Fort van der Capellen sehingga Veltman melanjutkan ekspedisi, pertama ke Tabu Baraia, lalu Bukit Sigandang dalam rangka membebaskan benteng-benteng yang terkepung di Agam. Pandai Sikek juga dikuasai sehingga Veltman dan pasukan lanjut ke Sungai Pua. Keberhasilan di Sungai Pua membuat pasukan Veltman bersemangat sehingga serangan diarahkan ke Banu Hampu, salah satu benteng Paderi cukup kuat. Meriam kaliber 3 berhasil ditempatkan dekat pertahanan kaum Paderi dan posisi Veltman sendiri cukup dekat dengan lawan. Satu detasemen barisan Jawa melakukan serangan palsu untuk menjebak kaum Paderi keluar dari benteng dan Veltman sendiri luput dari perhatian mereka. Hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Veltman,  yang dengan dibantu tembakan-tembakan meriam menyerang titik paling pas dari benteng Paderi. Setelah Banu Hampu, Veltman kemudian terus ke Fort de Kock tanpa perlawanan berarti dan berhasil sampai di sana tanggal 29 Mei disambut suka cita oleh pasukan Belanda yang berhasil bebas dari kepungan. Esoknya Veltman dan pasukan kembali ke Gunung untuk tetap di sana melakukan observasi.

Sewaktu istirahat di Gunung, kesehatan Veltman akibat kelelahan luar biasa menjadi semakin memburuk, sehingga dia terpaksa diangkut ke Fort de Kock, lalu kemudian ke Fort van der Capellen dan menempati satu rumah kecil di sana. Selama di Batusangkar ini Veltman makin lemah hingga akhirnya meninggal pada 20 Juli 1833 dalam usia 42 tahun. Dalam wasiatnya, Veltman berpesan supaya dimakamkan di kebun kecil di belakang rumahnya di fort van der Capellen.

Veltman adalah salah satu prajurit Belanda yang merasakan kerasnya Perang Paderi mulai dari awal hingga pertengahan pertempuran. Selepas kematian Veltman, Belanda masih akan berperang besar-besaran di Minangkabau belasan tahun lagi. Veltman menjadi saksi Perang Paderi bukan hanya menguras biaya dan tenaga, tapi juga memakan banyak korban dari kalangan perwira dan prajurit biasa baik orang Eropa maupun pribumi Hindia Belanda. Sekali dimulai dan awalnya terlihat mudah, tampaknya terpaksa berlanjut karena ternyata tidak segampang yang diperkirakan. Lintau, Agam dan Limapuluh Kota yang menjadi basis kuat Paderi terbukti sangat tangguh bagi Veltman dan perwira-perwira Belanda lainnya. Meskipun dibantu oleh kaum adat yang secara kuantitas melebihi kaum Paderi, di lapangan seringkali Belanda ditinggalkan sendiri apabila situasi sudah tak terkendali.

Dari sumber-sumber tertulis tidak bisa jelas kita simpulkan apakah sebenarnya yang menjadikan perang tersebut berlarut-larut, apakah kaum Paderi memiliki tuntutan-tuntutan tertentu terhadap Belanda atau kaum adat, ataukah dendam karena korban dari perang-perang sebelumnya, ataukah Belanda memang sudah bertekad apa pun akan dilakukan untuk menaklukkan Minangkabau. Yang jelas, pertempuran tersebut menular dari satu nagari ke nagari lain dengan pemimpinnya masing-masing, dan Belanda harus dibuat repot untuk berhadapan satu demi satu.***

Novelia Musda, Alumnus MA Islamic Studies Leiden Universiteit

 

[i] JC van Rijneveld, Herinneringen Veltman, 135-6.

[ii] Kielstra, Sumatra’s Westkust 1819-1825, 78-79

[iii] Mungkin maksudnya Talawi

[iv] Tidak jelas di mana lokasi benteng tersebut sekarang.

Scroll to Top