Sekolah Baru Jangan Sampai Ketakutan Baru

Oleh Dyan Arsya

 

Lihatlah unggahan para murid baru di media sosial belakangan ini. Mereka menampilkan video perkenalan diri; nama, panggilan, tempat tinggal, hobi, moto hidup, asal sekolah sebelumnya, dan nama sekolah yang baru. Untuk apa? Mereka tengah memasuki masa awal di sekolah yang baru. Istilah kininya, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Sebelumnya dikenal dengan Masa Orientasi Sekolah.

Video perkenalan diri ini dimulai sejak masa wabah lalu. Ini bentuk inisiatif Kemendikbud bagaimana siswa baru tetap saling kenal meskipun lewat virtual. Toh, tatap muka langsung tidak diperkenankan akibat wabah. Meskipun masa wabah telah dilewati, tetapi gaya video perkenalan diri ini masih terus dipakai. Eksistensi dan gengsi nampaknya, apalagi kalau dapat di sekolah favorit. Kebanggaan tersendiri mengunggahnya di media sosial tentunya.

Istilah MPLS yang sudah ada sejak tahun 2016, mengusung anti-perundungan (anti-bullying) di dalamnya (Permendikbud tahun 2016 No. 18). Tujuannya untuk menciptakan pendidikan yang sehat, bahkan diharapkan sekolah menjadi ‘rumah kedua’ bagi para murid. Maka dari itu, keamanan dan kenyamanan menjadi titik utama ketika memasuki masa awal sekolah.

Kunaenih dan Nadia (2020) melakukan penelitian terhadap ini, di beberapa sekolah di Jakarta. Dari puluhan sekolah yang didata, terbukti penerapan MPLS berpengaruh kuat untuk menekan perundungan. Dan cara utamanya adalah dengan mengurangi keterlibatan murid senior dalam agenda tersebut. Artinya, MPLS harus dikelola langsung oleh sekolah (kepala sekolah dan guru) sehingga keterlibatan murid senior sangat minim di dalam agenda itu.

Hal ini sesuai dengan Permendikbud No. 18 tahun 2016 bahwa sekolahlah yang membuat rancangan kegiatan dan mengelola kegiatan MPLS bukan diserahkan kepada murid senior lewat Organisasi Siswa Intra-Sekolah (OSIS) dan sebagainya. Kegiatan ini pun juga dibatasi paling lama tiga hari dan hanya di jadwal sekolah, tidak melewati/mendahului itu. Sekolah dilarang melibatkan senior atau alumni, jikapun terpaksa itupun juga harus memenuhi syarat ‘aman’ tertentu, misalnya pengurus OSIS yang kredibel, tidak pernah berkasus, dll. Itupun juga tidak boleh lebih dari dua orang per kelas.

Termasuk batasan-batasan tertentu dalam acara (yang di masa-masa kelam sebelumnya sering diterapkan), seperti memberi tugas yang keras kepada murid baru, memaksa untuk makan sisa, melakukan hal-hal gila (disuruh menghitung jumlah besi pagar sekolah atau jumlah butir dalam nasi bungkus), memberikan hukuman tertentu, memperolok, dll.

Namun, apakah perundungan akan berakhir? Di awal tahun saja Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sudah mencatat 6 kasus perundungan dan kekerasan fisik dan 14 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Jangan kira perundungan biasa, efeknya kehilangan nyawa dan penuh drama—terlalu menyedihkan untuk dinarasikan. Itu baru data dari FSGI, belum lagi dari KPAI, KemenPPPA, data dari konseling sekolah apalagi, dan itu pun juga yang dilaporkan, berapa banyak yang belum dan disimpan diam-diam karena takut dan ancaman?

Itu pun juga baru di bulan Januari dan Februari. Bulan-bulan berikutnya, tinggal cek saja di berita. Dari yang bakar kawan hingga bakar sekolah. Dari yang trauma hingga jadi agresif. Dari yang putus asa lalu bunuh diri hingga balas dendam. Bermacam-macam. Dan tentu saja beberapa kasus perundungan murid senior dan murid baru di MPLS awal tahun ajaran ini.

Bagaimana bisa? Jika mengharapkan penjelasan dasar, dalam buku Akar Kekerasan (Erich Fromm), para pakar psikologi termasuk Freud menyatakan bahwa dalam diri manusia telah terfilogenetik (terevolusi dan melekat dalam diri manusia) sifat agresif yang bisa memunculkan perkelahian hingga peperangan, kekerasan termasuk perundungan, dan sifat-sifat desktruktif lainnya, dan ini telah menjadi bawaan (insting) manusia. Pertanyaan selanjutnya apakah keagresifan itu selalu berujung pada kejahatan? Buku Kejahatan Pustaka Time-Life, menguraikan bahwa penyebab kejahatan sangat beragam. Perkembangan kajian tentang ini begitu serius. Ada kelompok yang menyatakan bahwa kejahatan itu diturunkan atau bahkan memiliki genetik dan bentuk tertentu dari fisik manusia. Jadi kita bisa melihat sifat seseorang, jahat atau tidaknya dari wajahnya saja sudah ketahuan. Meskipun teori ini sudah dianggap tidak berlandasan, tetapi tetap saja di lingkungan kita ada kecenderungan-kecenderungan orang berpikiran semacam ini. Entah itu karena pusar kepalalah, rambut yang tegak, dagu berahang, tonjolan pipi, dan sebagainya. Padahal ini secara penelitian terbantahkan. Dan pandangan semacam ini bisa jadi memunculkan keburukan. Meskipun dalam taraf kecil, seperti dicap nakal dari kecil atas alasan itu, ujungnya memiliki mental nakal dan berujung merundung.

Kelompok lain mencari jawaban penyebab kejahatan melalui pendekatan psikologi dan psikiatri. Beragam faktor yang ditemukan. Ada pengaruh dari diri manusia itu sendiri dan ada juga dari lingkungan yang membentuknya. Beberapa orang melakukan kejahatan karena ingin menunjukkan ‘taring’ (eksistensi) dan menganggap kejahatan itu keren. Sebagian yang lain karena terbawa lingkungan hingga terbiasa dan menganggap itu hal biasa (biasanya kenalakan remaja, tetapi berefek buruk juga). Sebagian yang menyeramkan karena kejadian buruk yang menimpa di keluarga atau di lingkungan ia dibesarkan; bisa kekerasan dari orang tua, saudara ataupun teman, dsb. Banyak hal. Bahkan dalam buku tersebut contoh kasus seseorang menganiya orang lain hanya karena ia benci kepada ayahnya. Karena tidak mungkin melampiaskannya kepada ayahnya langsung, ia memilih orang lain. Dan itu tidak ke sedikit orang.

Perkembangan tentang kekerasan dan kejahatan tidak akan berhenti pada penjelasan buku itu saja. Selalu muncul faktor baru dengan gaya yang juga lebih ‘kekinian’. Mengikuti perkembangan zaman pastinya! Freud pun mungkin akan menambah catatan-catatan kaki melihat kasus psikologi yang terjadi sekarang. Dalam buku Pustaka Time-Life belum ada persoalan cyber bullying. Sekarang, seorang anak bisa dimasukkan ke grup WA hanya untuk dirundung bersama-sama. Jika ia keluar dari grup. Perundung akan memasukkannya kembali. Berkali-kali. Jika tidak ingin membaca cacian di grup, dipaksa! Bahkan diteror dengan ditelepon berkali-kali. Fotonya diedit dengan image buruk, lalu diunggah di medsos. Dikomentari bersama-sama. Diperolok. Bahkan akun yang dirundung di-add-kan (ditambahkan) pula. Setiap notifikasinya masuk. Setiap kata buruk tentangmu menyanak di kepala. Itu baru level bawah. Belum cyber bullying yang lebih rumit dan lebih mengerikan lagi. Pembahasan motif kekerasan dan kejahatan terlalu rumit memang. Serumit kasus perundungan yang terus saja bertambah.

Apa yang bisa dilakukan untuk menekan itu? Untuk lingkup masa awal sekolah, aturan Permendikbud tadi sudah sangat membantu dalam mengelola Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) bagi murid baru. Kekurangterlibatan senior sangat logis menekan perundungan. Jika aturan itu diterapkan, maka sangat kecil terjadi perundungan di masa awal sekolah. Dan orang tua pun dengan aman melepas anaknya di sekolah yang baru.

Di luar itu, untuk mencegah ataupun menangani perundungan, pendekatan utama yang dapat dilakukan adalah dengan memahami terlebih dahulu tentang perundungan; kita sebagai subjek apa dalam mencegah ataupun menangani perundungan, apakah sebagai orang tua, guru, orang lain, atau malah orang yang secara tidak sadar melakukan perundungan? Selain itu, perlu memahami informasi dan penanganan terhadap perundungan. Begitu banyak bacaan ataupun laman yang membahas tentang cara mencegah dan menangai perundungan. Bahkan UNICEF membahas khusus tentang pencegahan dan penanganan perundungan ini. Aspek sarannya pun juga beragam. Baik bagi orang tua, guru, murid, ataupun orang lain yang sedang melihat perundungan; sikap apa saja yang harus dilakukan; pencegahan dan penanganannya, dsb. Tidak hanya di halaman UNICEF, laman-laman nasional lain juga banyak yang menyediakan informasi dan edukasi tentang ini.

Informasi dan edukasi tentang perundungan sangat perlu bagi semua kalangan. Dengan itu, kita tahu harus melakukan apa dalam mencegah dan menangani perundungan. Bahkan jika kita melihat dari perspektif perundungnya pun, bukan berarti para pelaku perundungan telah memiliki kejahatan dari dasar, mereka pun juga memiliki penyebab hingga melakukan itu. Entah itu kesempatan atau pengawasan yang kurang, ataupun kekosongan dari bagian yang seharusnya ia dapatkan. (*)

 

*Dyan Arsya, Praktisi Pendidikan

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

1 komentar untuk “Sekolah Baru Jangan Sampai Ketakutan Baru”

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top