Pemahaman Awal tentang Belajar

 

Oleh Dyan Arsya

 

 

Seorang teman yang akan memasuki dunia ajar-mengajar bertanya, “Apa bacaan untuk pendidikan yang seru? Tapi jangan yang terlalu teoritis. Yang naratif tetapi memuaskan dahaga pikiran?”

Teman saya itu memang sukanya sastra (novel), tetapi seorang penulis pernah berkata, “Membaca cerita sastra memang menyenangkan, namun kadang kita butuh kepuasan pikiran dari informasi ataupun kajian ilmiah untuk memberi otak kebutuhan pengetahuan. Dan nyatanya sastra memang tidak fokus ke situ.” Sebaliknya, buku teoritis membuat kelopak mata kita memberat, kenikmatannya tidak seperti sastra. Hampir tak ada konflik dan ending yang seru. Jadi pertanyaan itu memang rada sulit dijawab. Namun, setidaknya ada salah satu.

Time-Life pernah membuat buku seri perilaku manusia. Dua nama media raksasa Amerika yang kemudian digabungkan itu, memuat hasil riset panjang tentang perilaku manusia. Kemudian dibagi dalam beberapa tema besar, salah satunya tentang bagaimana manusia belajar, dalam judul Cara Kita Belajar. Buku itu ditulis oleh Lee Edson, seorang penulis dan wartawan terkenal. Yang memberi mutu lebih dari buku ini tidak hanya dari penulisnya, tetapi juga para editor pilihannya yang menjadi penasihat untuk buku ini sekaligus sumber. Penasihatnya adalah oleh ahli-ahli terkenal, para guru besar dari berbagai universitas di Amerika. Hasil riset dan kajian itu yang kemudian diterbitkan pada tahun 1975, lalu diIndonesiakan tahun 1987 oleh Tira Pustaka.

Pertanyaan terbesar dalam buku ini bagaimana manusia bisa belajar? Jika pertanyaannya apa, maka jawabannya sudah ditemukan di halaman awal bacaan ini, “Keunggulan terbesar manusia ialah kemampuannya yang hampir tak terbatas untuk belajar, untuk menyerap dan menggunakan pengetahuan yang telah dihimpun selama berabad-abad oleh manusia lain, dan dengan demikian menguasai dunia sekitarnya yang tidak mungkin dilaksanakan oleh makhluk lain apapun di dunia ini.” Namun, pertanyaan dalam buku ini bukan hanya ‘apa’, tetapi ‘bagaimana’. Maka penjelasannya tentu akan panjang.

Pemahaman Awal tentang Belajar
Anak berumur tujuh tahun yang sedang ini sudah mencapai tahap agak maju dalam perkembangan pikirannya karena dalam bermain piano butuh pemusatan pikiran antara tut dan tablatur. (Foto: Buku)

Keunggulan yang dapat ditemui dari buku ini, dibanding buku teoritis lain adalah cara memulai yang hampir selalu dari ‘kasus’. Kita disodorkan layaknya pemecahan ala Sherlock Holmes. Ketika mayat ditemukan,  maka misi penyelidikan beserta teka-tekinya akan siap dihadirkan. Di bagian awal saja, kita dihadapkan pada penemuan seorang anak kisaran 12 tahun di Prancis pada pergantian abad ke-19. Anak itu dibesarkan oleh entah apa, yang jelas ia sedari bayi telah menghabiskan bertahun-tahun di hutan. Ia hidup seperti hewan liar, tanpa pakaian apa-apa, dan berperilaku liar tentunya. Ketika dibawa ke Paris untuk dipertontonkan, orang-orang bertanggapan ia setengah manusia, setengah binatang liar. Literasinya tentu saja tumbuh dari lingkungan hutannya bertahun-tahun.

Ia kemudian diteliti oleh Jean Marc Gaspard Itard, seorang dokter muda Prancis, selama lima tahun. Berharap ‘si anak liar’ bisa dikembalikan ke peradaban manusia (masyarakat). Nyatanya, meskipun sudah menggunakan pakaian dan menangkap beberapa komunikasi, tetapi ia gagal dikembalikan ke masyarakat. Bahasanya yang ditangkapnya sangat terbatas. Ia tidak bisa belajar layaknya anak manusia lainnya. Ia tetaplah ‘liar’ sebagai manusia.  Dan justru penyambung kasus tersebut, kita disodorkan pada cerita simpanse penelitian yang dapat menggunakan bahasa isyarat sampai ke tahap membentuk kalimat. Sampai mana batasnya? Simpanse penelitian ini kemudian diberikan waktu bergabung dengan teman-temannya, dan ia tetap menggunakan bahasa isyarat sebagaimana ia menggunakannya dengan pemandunya bertahun-tahun. Nyatanya, simpanse lain tak menghiraukan komunikasinya itu. Mereka tidak memahaminya. Seberapapun cerdasnya hewan diajar, mereka tetap tidak bisa menciptakan ajaran sendiri, mereka hanya menerima pelajaran dari manusia, dan mereka juga tidak punya kemampuan meneruskan ajaran itu kepada teman-temannya. Hanya manusia yang diberi kemampuan sempurna untuk belajar. Namun, kasus ‘si anak liar’ bagaimana?

Hal yang menarik dari sebuah buku yang serius, jalan untuk menjawab sesuatu bisa dari sisi mana saja atau bahkan terkadang ada pertanyaan yang tidak butuh dijawab, tetapi malah memunculkan jawaban terhadap pertanyaan yang sebelumnya tidak disadari. Sebagai pembaca, kita akan dibawa berulang-ulang pada keadaan semacam itu.

Meski buku ini sudah 50-60 tahun lalu, tetapi pola perilaku masihlah sama dan beririsan. Dan perlu dicatat—untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan—bahwa buku ini merekatkan fondasi awal bagi pendidikan dalam mengkaji manusia tentang bagaimana manusia belajar; teori yang berkembang tentang itu; teori yang berseberangan dan yang melengkapi satu sama lain—kita bisa melihat dalam buku ini pertanyaan dasar tentang apakah kepintaran diturunkan lewat genetik atau pembentukan lewat pembiasaan? Akan ditemui riset mendalam untuk menjawab itu. Bedanya dari buku teoritis, kita dihadapkan pada proses si penelitinya sehingga kita bisa merasakan betapa peneliti ingin mencapai jawaban ilmiah.

Pemahaman Awal tentang Belajar
Anak laki-laki suku Aboure di Afrika Barat sedang belajar melalui tradisi lisan. Jika dipikir-pikir, berapa banyak film animasi besar sekarang yang ceritanya diadopsi dari cerita tradisi lisan. (Foto: buku)

Selain itu, dalam buku ini kita diberi ruang memasuki hidup banyak tokoh kontributif, bahkan saya menemukan tokoh yang saya baca tulisannya dan saya dengar dari para perkuliahan, tetapi tidak tahu orangnya seperti apa (betapa banyaknya kita dalam belajar ataupun mengajar menemukan nama-nama tokoh, tetapi betapa jarangnya kita mencari tahu atau memberi tahu tentang siapa dan bagaimana si tokoh. Sebagai contoh, hampir semua yang belajar di sekolah diajarkan tentang Garis Wallace di Indonesia, tetapi berapa yang tahu dan memberi tahu si Wallace itu siapa, dari mana asalnya, bagaimana miskinnya ia sebagai seorang naturalis, bagaimana keinginan besarnya untuk melihat Burung Surga, cendrawasih, bahkan harus menderita kurap kerampang yang kronis ketika menjelajahi Indonesia selama 8 tahun tanpa kemewahan layaknya Darwin yang kaya?).

Tokoh yang saya maksud, di antaranya Jean Piaget,  Auerbach, Ivan Pavlov,  mereka digambarkan di sini, meskipun sekali lewat, paling tidak kita memahami bahwa Jean Piaget yang biasanya kita temukan namanya dalam teori konstruktif dan pembentuk tonggak dasar teori kognitif, ketika ditemui di buku ini adalah “lelaki keriput berpakaian seadaanya yang mengenakan kacamata bertangkai tanduk—gambaran kakek yang bijaksana…” Ia si tua tekun yang sederhana dan rendah hati. Meski teorinya berat dalam kajian pendidikan karena dari itu juga diletakkan tahap-tahap pembelajaran, tetapi ternyata ia orang yang sederhana dan rendah hati.

Dan kita akan diajak berkeliling melihat bagaimana pembelajaran di berbagai belahan dan periode.  Untuk berbagai tujuan dan capaian. Bagaimana politik dan proganda dimasukkan ke kurikulum pendidikan. Bagaimana ajaran tradisi dan budaya masih melekat dalam pembelajaran. Dan bagiamana nilai-nilai tertentu ditujukan untuk pendidikan. Sampai perubahan yang tidak bisa dihindari dari pendidikan. Di tahun 1974, banyak orang tua Jepang yang khawatir dengan dimasukkannya nilai-nilai Jepang Kuno ke dalam kurikulum pendidikan—sebagai bentuk menyerap kembali budaya lama. Mereka khawatir kekonservatifan itu membentuk Jepang yang lebih berjiwa dan nasionalis lagi sampai dulu terlibat Perang Dunia II. Dalam pandangan mereka, itu ketinggalan zaman. Kita lihat Jepang sekarang.  Apakah jawaban untuk perubahan pendidikan di tahun itu benar? Belum tentu juga. Dan banyak lagi perubahan lain di berbagai dunia di masa itu.

Pemahaman Awal tentang Belajar
Pendidikan sastra klasik di awal abad ke-19 menjadi sesuatu yang bergengsi di London. Akibat tuntutan pengetahuan alam dan teknologi, maka pamornya menurun. Jika dilihat sekarang, banyak mata pelajaran di sekolah yang dulu ada sekarang hilang atau berganti. (Foto: buku)

Apakah berbagai kasus perubahan arus pendidikan itu juga bisa dilihat di masa sekarang? Sudah pasti! Selagi manusia masih belajar, tentu akan tercipta berbagai pembaharuan, yang juga akan mengubah kebutuhan-kebutuhan pendidikan sekarang dan masa depan.

Saya rasa bacaan semacam ini harus ada kembali di masa ini. Untuk memperbarui pikiran guru-guru dari hanya sekadar perangkat pembelajaran dan buku-buku pelajaran. Namun, apakah bisa sebesar ini? Dengan melibatkan banyak ahli besar? Apakah Indonesia juga bisa menyusun yang semacam ini. Jika teman tadi bertanya kembali setelah membaca buku ini, adakah buku yang seperti ini di masa sekarang ataupun di Indonesia? Saya belum punya jawaban. (*)

 

*Dyan Arsya, Praktisi Pendidikan

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top