Menelisik Intelektual Kampus

Oleh: Endry Martius

Intelektual Kampus: Organik atau Mekanistik
Secara garis besar, istilah intelektual organik bisa dilihat sebagai lawan dari intelektual mekanistik. Yang terakhir ini berkonotasi sebagai ilmuwan atau akademisi yang bertindak sebagai komponen atau onderdil dalam sistem kepakaran yang bersifat bebas nilai (value free). Bebas nilai menyebabkan kefungsian dan keperanan mereka tanpa rasa dan tanpa periksa yang dalam, kecuali terhadap kebakuan yang ditetapkan untuk mereka. Konkritnya, mereka bergerak karena sistem dan program yang tidak sungguh-sungguh mereka kenali dan pahami. Gerak mereka mengikuti prosedur teknis dan administratif, tanpa tahu prinsipnya. Jadilah mereka bak manusia robot.

Sebagai onderdil, fungsi intelektual mekanistik bersifat tergantikan. Onderdil yang aus terbuang percuma dan diganti dengan yang baru. Kedudukan dosen manusia akan terambilalih oleh robot-robot pintar (AI), bahkan pada gilirannya dosen-dosen itu bekerja di bawah kekuasaan robot-robot. Terjadilah dosen manusia yang mengabdi kepada teknologi (dehumanisasi).

Sebaliknya, intelektual organik adalah organ dari masyarakat dalam arti seluas-luasnya, termasuk sebagai organ masyarakat kampus. Status organ membuat fungsi mereka terikat nilai dan terintegrasi serta saling pengaruh-mempengaruhi dengan pihak-pihak lain. Mereka organ dan pihak lain pun diterima dan diperlakukan sebagai organ. Setiap organ saling punya rasa dan periksa. Sakit salah satu, menderita semua. Oleh sebab itu, muncul saling simpati dan empati.

Semestinya, keseluruhan dosen adalah intelektual organik, yang membuat mereka peka bukan saja terhadap masalah publik, melainkan sekaligus selalu bersimpati dan berempati terhadap ketidakadilan di sekitarnya, tetmasuk yang mendera warga kampus. Mereka berupaya meng-adjust keputusan dan tindakannya untuk dapat memperjuangkan nasib warga kampus keseluruhan, termasuk nasib mahasiswa. Jika tidak begitu, sesungguhnya para dosen tidaklah intelektual. Mereka sudah jadi dosen robot, atau setidaknya dosen lemah yang dalam opini kompas beberapa waktu yang lalu disebut sebagai dosen buruh.

Intelektual organik itu serta merta sosok orang-orang yang rasional dan kritis. Dosen penjilat termasuk kategori intelektual mekanistik, atau bahkan bisa disebut tidak intelektual. Jika mau dianggap, bolehlah disebut intelektual hanya nama dan atas nama—karena ada bayaran dan berelasi dengan kekuasaan secara praktikal.

Gramsci berupaya memperlihatkan sifat relasinya dengan kekuasaan yang organik. Sementara saya berupaya menelisik implikasinya terhadap kedudukan dan fungsi intelektual yang mesti bersifat organik. Menurut Gramsci, karena di era Nazi, hegemoni adalah keniscayaan dari relasi kekuasaan, intelektual melekat pada kekuasaan secara organis untuk menopang kelaliman regim penguasa. Namun, secara terbalik, intelektual organik sebenarnya juga bisa menjadi promotor untuk keperluan melawan kelaliman itu sendiri.

Sebagai catatan, akademisi sesungguhnya diharapkan berperan sebagai intelektual organik. Intelektual organik kan bisa saja advancing akademisi. Tentu kalau dikondisikan. Sayang, kemauannya tidak ada, segelintir akademisi saja yang jadi intelektual. Tidak aneh, anggota ikatan cendekiawan saja belum tentu intelektual.

Intelektual Pesolek dan Pengkhianat
Lebih jauh, cerita selaras dengan kelaliman intelektual tentu bisa kita lihat dalam buku Edward Said (peran intelektual) dan buku Julian Benda (pengkhianatan intelektual). Said mencela cendekia yang suka bersolek dan memilih diam untuk berkata yang sebenarnya karena takut jabatannya dicopot. Bagi cendekia begini, kebenaran kalau perlu dipelesetkan untuk jabatan. Jangan harap mereka rasional kritis.

Julian Benda melihat bahwa mengagungkan “intelektual” adalah tidak mesti patut. Banyak intelektual yang tidak otentik atau palsu yang justru sering berkhianat kepada publik. Mereka tidak mau terlibat dalam dialektika publik. Jikapun hadir, sering bertindak bak kucing manis. Bagi Benda, mereka tidak bisa diharap menjadi penjaga moral bangsa.

Melawan Hegemoni Oligarki Kampus
Oligarki kampus tampil karena adanya para dewa yang dimitoskan dan disakralkan. Padahal mereka itu semata pelahap jabatan dan kekuasaan. Tidak lebih. Dewa mesti membangun dinasti dan memelihara trah dan kepentingan.

Cara satu-satunya melawan oligarki kampus ini yang tidak boleh berhenti adalah melakukan ikhtiar demitologi dan desakralisasi yang dimotori oleh para intelektual organik. Hegemoni para dewa mesti dilawan. Kekuatan mistis yang melekat pada mereka mesti ditanggalkan. Topeng kesucian mereka mesti pula dibuka agar terlihat bopeng-bopengnya. Tindakan politik merebut kekuasaan tidak akan berarti apabila hegemoni (kultural) para dewa masih terawat. Setidaknya pengalaman empirik membuktikan hal itu.(*)

Endry Martius , Dosen Faperta Unand

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top