Lawan Kotak Kosong: Sebuah Langkah Menuju Reformasi Politik di Pilkada 2024 Demi Menyelamatkan Demokrasi

Oleh: Muhammad Naufal

Pada tanggal 27 November 2024 mendatang akan dilaksanakan kembali pesta demokrasi yaitu pilkada serentak di seluruh Indonesia. Pilkada 2024 menjadi momentum penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengevaluasi dan memperbaiki kondisi politik di tanah air. Salah satu gerakan yang menarik perhatian adalah gerakan relawan kotak kosong yang terdapat di beberapa daerah, sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap para calon pemimpin yang ada. Ini bukan hanya sebuah pilihan alternatif, tetapi juga sebuah pernyataan bahwa masyarakat mendambakan perubahan yang lebih berarti dalam kepemimpinan daerah.

Kotak kosong yang sering kali dipandang sebelah mata, sejatinya menyimpan makna yang dalam. Pilihan ini mencerminkan keinginan rakyat untuk tidak memilih asal-asalan hanya karena terpaksa. Dengan mengarungi lautan politik yang sering kali dipenuhi dengan janji-janji kosong, masyarakat merasa perlu untuk memiliki opsi yang tegas, yakni menolak semua kandidat yang dinilai tidak memenuhi kriteria. Kotak kosong menjadi simbol menciptakan pemimpin yang benar-benar mampu memperjuangkan kepentingan rakyat.

Salah satu kasus yang menarik atensi publik adalah Pilkada 2018 di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di sini, dua kandidat yang mencalonkan diri terlibat dalam kontroversi yang berkaitan dengan isu korupsi dan rekam jejak pemerintahan mereka. Kasus lain terjadi di Sulawesi Selatan pada pilkada 2020, ketika dua calon kepala daerah memiliki sejarah politik yang cukup kelam.

Pada Pilkada 2024 mendatang adanya kotak kosong di beberapa daerah kembali terulang, contohnya di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Perlawanan masyarakat terhadap calon tunggal memang betul adanya, tetapi sering kalah oleh intervensi kekuasaan pusat. Di Kabupaten Dharmasraya, koalasi penantang harus mundur meski sudah mendaftar di Komisi Pemilihan Umum sehingga tersisa calon tunggal Annisa Suci Ramdhani, yang notabenenya punya hubungan kekerabatan dengan presiden Joko Widodo.

Yang semakin mengkhawatirkan adalah meningkatnya fenomena calon tunggal dari waktu ke waktu. Pada pilkada 2015, hanya tiga daerah dengan calon tunggal. Jumlah ini naik menjadi sembilan calon tunggal pada pilkada 2017, 16 pada pilkada 2018, dan 25 pada pilkada 2020. Sedangkan pada pilkada 2024 mendatang per tanggal 4 September 2024 dilansir bbc.com terdapat 41 kotak kosong yang bertarung dalam pilkada. Angka-angka ini menunjukkan bahwa ruang demokrasi makin menyempit dan rakyat semakin kekurangan pilihan calon pemimpin

Di tengah situasi ini, maka munculah gerakan memilih kotak kosong di berbagai daerah. Gerakan ini merupakan simbol perlawanan terhadap kemunduran demokrasi. Keberadaan gerakan ini juga dapat berfungsi sebagai dorongan bagi para kandidat untuk lebih serius dalam mempersiapkan diri, bukan hanya mengandalkan kenalan yang berada di pemerintahan dan popularitas semata, tetapi harus memiliki visi misi yang nyata.

Lebih jauh, gerakan kotak kosong dapat memicu reformasi yang lebih luas dalam sistem politik Indonesia. Dengan menyebarkan kesadaran akan pentingnya pemilihan yang cerdas, masyarakat diharapkan semakin aktif terlibat dalam politik, bukan hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai agen perubahan. Ketika masyarakat merasa memiliki kekuatan dalam menentukan arah politik, ini dapat menimbulkan tekanan pada partai politik dan calon pemimpin untuk meningkatkan kualitas dan integritas.

Namun, untuk mewujudkan potensi gerakan kotak kosong ini, edukasi politik menjadi kunci. Masyarakat perlu paham bahwa memilih kotak kosong bukanlah bentuk apatisme, melainkan pilihan yang penuh makna. Memilih kotak kosong adalah sikap politik yang sah dan dijamin undang-undang. Ini merupakan bentuk penolakan terhadap calon tunggal tanpa persaingan yang adil. Melalui pemahaman yang baik, pemilih akan semakin percaya diri untuk menyuarakan harapan dan ketidakpuasan mereka terhadap sistem politik yang ada. Meski kemenangan kotak kosong berarti pilkada harus diulang dengan biaya tambahan, ini harga yang layak dibayar demi menjaga martabat demokrasi.

Oleh karena itu, gerakan kotak kosong di berbagai daerah perlu didukung. Demi menciptakan kompetisi yang sehat dan menghasilkan pemimpin yang berkualiatas serta berintegritas tinggi, bukan hanya pemimpin yang mengandalkan popularitas dan meninggalkan amanat rakyat demi kelangsungan hidup pribadi mereka semata. [**]

**Muhammad Naufal, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top