Oleh Deddy Arsya
Thomas More mengimpikan manusia bekerja hanya 6 jam setiap hari. Itu hanya ada di sebuah negeri Utopia, dalam sebuah roman yang berjudul sama. Utopia, terbit pada abad ke-16 di Inggris.
Utopia, berasal dari dua kota Yunani, āouā yang berarti tidak ada, dan ātopposā yang berarti tempat. Negara atau dunia ideal yang tidak ada di manapun. More mungkin mengasosiasikan negara dalam ceritanya itu dengan negara ideal dalam The Republik-nya Plato.
Dalam imajinasi More, masyarakat negeri Utopia hanya bekerja 3 jam pagi, dan 3 jam setelah siang. Selebihnya, mereka bisa beristirahat, bermain atau mengembangkan bakat.
More menulis itu ketika para bangsawan memperkaya diri dengan terus-menerus menaikkan pajak bagi petani dan memeras jerih-payah dari masyarakat miskin. Ketika harga wol di Inggris meningkat, karena industri wol menyebar ke seluruh kota. Para bangsawan mengubah lahan pertanian menjadi peternakan domba yang hanya membutuhkan tenaga kerja terbatas, dan petani-petani yang banyak itu yang kehilangan lawah pertanian terpaksa pergi ke kota untuk bekerja berat di pabrik-pabrik. Inilah masa di mana mesinisasi tak semakin memangkas jam kerja, tetapi malah memperpanjangnya.
Dan More mengharapkan yang sebaliknya?
Apakah perkakas-perkakas telah sangat membantu manusia dalam mempersingkat masa kerja?
Saya melanjutkan membaca Works: A History of How We Spend Our Time karya James Suzman lagi.
Buku ini mengurai sejarah panjang relasi manusia dan pekerjaannya. Penulisnya sampai pada kesimpulan: tidak, tidak, semakin maju peradaban manusia, semakin banyak alat/perkakas yang berhasil dibuat untuk mempermudah pekerjaan, jam kerja justru semakin panjang.
Masyarakat pemburu dan peramu atau pengumpul-nomad menghabiskan sangat sedikit waktu untuk bekerja. Lalu dalam masyarakat agrikultur, jumlah jam kerja semakin meningkat. Hasilnya memang baik: surplus. Desa-desa padat penduduk tumbuh karena makanan dan nutrisi tercukupi. Usia hidup lebih panjang. Imunitas dan kesehatan lebih baik. Lalu darinya kota-kota lantas terbentuk. Lalu negara-negara kota, lalu peradaban-peradaban besar dunia.
Dalam masyarakat industrial, jumlah jam kerja semakin menggelembung. Padahal segala-gala telah dimesinisasi. Tangan manusia telah dikurangi perannya. Tapi anehnya, jam kerja manusia tidak kurang-kurang juga. Bahkan, di dunia industri, bahkan di era pasca-industri serupa sekarang, semakin banyak manusia mati karena kelelahan-kerja.
Hasrat kita akan kemajuanlah yang menentukan jumlah jam kerja, bukan penemuan perkakas, begitulah kira-kira kata buku Suzman itu.
Dalam kajian ilmu sosial, ada prasyarat yang harus dimiliki sebuah masyarakat untuk maju dan tumbuh (utamanya) ekonomi. Salah satunya, dan yang terpenting, adalah āmotivasi untuk berprestasiā. Weber menghubungkan motivasi ini lahir dari ide-ide keagamaanāajaran protestan bagi masyarakat barat, atau nilai-nilai konfusisme bagi masyarakat Tionghoa. Kesalehan seseorang, dalam kedua ajaran itu, dinilai dari ākeberhasilanā mereka di dunia. Keberhasilan yang pemaknaannya lebih dekat ke kesuksesan material memang. Namun, motivasi untuk berprestasi bisa juga lahir dari keadaan-keadaan yang sederhana belaka, serba biasany, dari kehidupan keseharian: karena dorongan untuk menghidupi keluarga, ingin mendapat tempat di tengah masyarakat yang materialistis ini, atau untuk mencukupi keperluan sendiri belaka di tengah labrakan ekonomi uang. Semuanya itu, mendorong orang untuk berusaha mendapatkan kekayaan. Masyarakat dengan motivasi untuk berprestasi tinggi akan menghasilkan manusia yang lebih giat dan selanjutnya akan menghasilkan perkembangan ekonomi yang lebih cepat.
Namun, tampaknya, bagi Suzman, hasrat untuk maju, motivasi untuk berprestasi, atau apa pun istilah yang bisa dipakai untuk itu, sejauh ini telah mendorong manusia pada kegilaan kerja.
Maka ia mengajukan suatu tawaran: sejauh ini, kita belum sampai pada kata ‘sudah cukup’. Masih banyak yang perlu dicukupi. Namun, manusia harus berhenti. Harus ada titik di mana manusia berpuas diri pada hasrat untuk terus bekerja demi menggapai kemajuan yang bisa tak ada ujungnya, hasrat developmentalisme yang selama ini jadi anutan kita (utamanya manusia modern) itu sudah harus diredakan.
Tapi tanpa itu, tidakkah manusia tak akan punya peradaban? Sejarah manusia akan jalan di tempat. Kita mungkin masih akan tetap berada di zaman batu. Apakah dengan begitu Anda akan memangkas hasrat untuk bisa maju? Memang, problematis juga.
*Deddy Arsya,Ā sejarahwan, penulis, dan periset.
Bagikan:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru)