Oleh Deddy Arsya*

 

Hari Raya Kurban sudah berlalu. Hewan-hewan kurban sudah disembelih. Kita rata-rata juga sudah kebagian daging, memasak, dan memakannya dengan nikmat.

Sebagai apa hewan dinilai dalam perjalanan sejarah manusia? Sebatas onggokan daging yang memungkinkan manusia menyerap energi darinya (energi hewani), atau sebagai sesama makhluk dengan jiwa yang sama agungnya?

James Suzman, dalam Works: A History of How We Spend Our Time telah menguraikannya.  Minimal, dalam buku karangan Antropolog Sosial kelahiran Johannesburg itu, ada tiga pandangan atas hewan yang berkembang sejak masa kuno sampai sekarang.

HEWAN
sergiocaredda.eu

Pertama, hewan seperti manusia, punya jiwa. Pythagoras, filsuf Yunani pra-Socratic, seorang vegetarian fanatik yang membeli hewan-hewan di pasar ternak hanya agar mereka tidak dibeli orang lain untuk dijagal. Orang-orang Hindu menganggap darah hewan bisa menghisap jiwa manusia sehingga posisi tukang jagal selalu diserahkan kepada kasta-kasta rendah. Para pemburu-nomad sangat sadar akan perasaan bahwa hewan yang mereka buru punya jiwa tertentu. Untuk yang terakhir, Suzman mencontohkan para pemburu dari suku Inuit dan Siberia, seperti juga orang-orang Yukhagir, yang bersikeras bahwa hewan yang mereka buru seringkali memberikan diri mereka kepada manusia untuk makanan dan produk hewani lainnya. Sementara, kata Suzman lagi, pemburu seperti Ju/’hoansi berpandangan, “Sebagian besar hewan yang mereka buru adalah makhluk berpikir yang kompleks dan juga memberi mereka martabat jiwa atau setidaknya seperti yang dikatakan Ju/’hoansi semacam kekuatan hidup.”

Penghormatan atas jiwa yang dikandung hewan itu telah lama menjadi paradigma dalam berbagai masyarakat dan peradaban kuno. Tampaknya pandangan serupa inilah yang bangkit lagi sekarang di kalangan para pecinta hewan, dengan semangat yang lebih radikal. Pengurbanan hewan, mereka menganggapnya sebagai tindakan kejam manusia kepada makhluk hidup sesamanya. Praktik kurban, misalnya, dilihat sebagai holocoust, tindakan mengerikan, dengan agama sebagai fondasi bertindak.

Kedua, argumen-argumen filosofis dan teologis pada umumnya menganggap bahwa tubuh manusia digerakkan oleh jiwa, sementara hewan sekadar hidup. Suzman, dalam menjelaskan hal itu, mengutip Rene Descartes, filsuf Abad Pencerahan, yang mengandaikan hewan sebagai mesin otomatis yang menjadikan rumput dan sagu sebagai bensin. Tidak lebih dari sebuah patung yang hidup. Robot yang digerakkan aki ataupun baterai.

Tidak ada bensin, aki, maupun baterai di abad ke-17. Suzman tidak menulis bensin memang. Tetapi dia menyebut bahan dasar bagi kekuatan gerak itu sebagai energi.

Pandangan yang kedua ini, jika dilihat, telah dapat membantu manusia menyingkirkan perasaan empati dari rasa bersalah pada setiap penjagalan hewan. Hewan-hewan itu, dalam anggapan pandangan ini, “mereka sudah mati, bahkan saat mereka masih hidup”. Ini juga berarti bahwa petani dan tentara tidak perlu khawatir tentang moralitas mempekerjakan hewan sampai mati; menjagal hewan tanpa belas kasih, dst.

Pandangan ketiga, sebagai upaya yang lebih moderat, mengatakan bahwa hewan juga memiliki semacam jiwa. Meskipun tidak selalu persis sama dengan jiwa manusia. Pandangan ini memungkinkan untuk memasukkan unsur empati dan moralitas belas kasih ke dalam praktik penjagalan hewan atau pemanfaatan hewan lainnya. Dalam masyarakat modern, misalnya, pandangan ini memungkinkan kesejahteraan hewan diatur sedemikian rupa, nutrisi dan vitamin, vaksin dan penanganan penyakit, kebersihan dan kelayakan kandang, penanganan jiwa (stres) dalam pengangkutan dipertimbangkan, sekalipun tetap berujung pada penyembelihan. Hal yang sama yang diambil para pengikut agama Ibrahim, sebagaimana Islam, Yudaisme tradisional juga berpandangan bahwa untuk memotong anggota tubuh dari hewan hidup kemudian memakannya adalah pelanggaran terhadap Tuhan; penyembelihan harus selalu melibatkan pemotongan tenggorokan yang cepat dengan pisau yang terasah-tajam untuk menghindari penderitaan hewan …  pada intinya orang-orang harus selalu memastikan bahwa hewan diberi makan, diperlakukan, dan disembelih dengan layak lagi baik.

Sekalipun, yang terakhir ini, membersut juga ironi. Dielus-elus dan disayang-sayang untuk kemudian berakhir dengan dijagal?

 

Pandai Sikek, 2023.

 

*Deddy Arsya, sejarahwan, penulis, dan periset.

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top