Oleh: M. Aldy Agatha Pratama
Indonesia, sebagai negara agraris, menghadapi ironi besar: harga beras tertinggi di ASEAN, tetapi petani sebagai penghasil utama tetap terjebak dalam kemiskinan. Data dari Bank Dunia yang dikutip CNBC Indonesia (2024) menyebutkan bahwa harga beras eceran di Indonesia mencapai Rp12.840 per kilogram, menjadikannya yang tertinggi di kawasan ASEAN. Sebagai perbandingan, harga beras di Vietnam hanya sekitar Rp6.100 per kilogram, kurang dari setengah harga di Indonesia. Kondisi ini menjadi pukulan berat bagi petani, yang seharusnya menikmati keuntungan dari tingginya harga jual, tetapi kenyataannya justru tidak demikian.
Lebih jauh lagi, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Kompas (2024) menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2024, Indonesia mengimpor 3,48 juta ton beras dengan nilai mencapai USD 2,15 miliar atau setara Rp34,19 triliun. Lonjakan impor dalam jumlah besar ini menambah tekanan pada sektor pertanian domestik, terutama bagi petani kecil yang harus bersaing dengan harga beras impor yang lebih murah.
Mengapa Petani Tetap Miskin?
Seharusnya, kenaikan harga beras menjadi angin segar bagi petani. Logisnya, harga yang tinggi di tingkat konsumen mestinya berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan petani. Namun, faktanya, banyak petani di Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu penyebab utamanya adalah distribusi keuntungan yang tidak merata dalam rantai pasok beras. Petani hanya memperoleh sebagian kecil dari nilai jual akhir beras di pasar. Sebagai contoh, petani kecil di Jawa sering kali hanya mendapatkan sekitar Rp10.000 per kilogram gabah yang dijual, jauh di bawah harga yang diterima oleh pedagang atau distributor di pasar.
Ketimpangan ini semakin diperburuk oleh panjangnya rantai distribusi. Dari petani ke tengkulak, pengepul, hingga pedagang besar, setiap mata rantai mengambil bagian keuntungan yang signifikan. Petani, yang bekerja paling keras, justru menjadi pihak yang paling dirugikan. Selain itu, biaya produksi yang terus meningkat, seperti harga bibit, pupuk, dan alat pertanian, semakin menggerus margin keuntungan mereka. Ketika harga-harga kebutuhan produksi melonjak, petani terpaksa menjual hasil panen mereka dengan harga murah kepada tengkulak karena keterbatasan akses pasar langsung. Hal ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus.
Kebijakan yang Tidak Memihak Petani
Pemerintah Indonesia sering kali mengedepankan stabilitas harga pangan sebagai prioritas kebijakan. Namun, langkah ini kerap tidak berpihak kepada petani. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah penetapan harga dasar gabah. Meskipun harga dasar ini dimaksudkan untuk melindungi petani dari kerugian, kenyataannya nilai yang ditetapkan sering kali tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Misalnya, ketika biaya produksi rata-rata meningkat, harga dasar gabah yang tidak mengalami penyesuaian membuat petani tidak memperoleh keuntungan yang layak.
Isu impor beras juga menjadi faktor yang memperburuk situasi petani. Kebijakan impor sering dilakukan pemerintah untuk menstabilkan harga di pasar domestik. Namun, beras impor yang lebih murah dapat menekan harga beras lokal. Ketika impor dilakukan tanpa mempertimbangkan waktu panen domestik, petani lokal terpaksa bersaing dengan harga beras impor yang lebih rendah. Hal ini tidak hanya merugikan petani, tetapi juga menciptakan ketergantungan terhadap pasokan pangan dari luar negeri.
Berdasarkan data dari Kompas (2024), impor beras yang mencapai 3,48 juta ton pada tahun ini menunjukkan bahwa pemerintah masih mengandalkan beras impor dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini dapat menekan harga beras lokal dan mengurangi daya saing petani dalam pasar domestik. Situasi ini menggambarkan bahwa kebijakan impor yang kurang terencana dapat mengancam keberlangsungan sektor pertanian domestik, khususnya bagi petani kecil.
Melihat kondisi ini membuat kita sadar bahwa ada ketidakseimbangan yang serius dalam sistem pertanian di Indonesia. Harga beras yang tinggi di tingkat konsumen tidak menjamin kesejahteraan bagi petani. Sistem distribusi yang timpang dan kebijakan pemerintah yang tidak pro-petani adalah akar masalah yang membutuhkan perhatian lebih serius. Kita perlu terus mengkritisi kebijakan-kebijakan yang ada, agar keadilan bagi petani sebagai penggerak utama ketahanan pangan dapat terwujud.
Tantangan Perubahan Iklim: Ancaman Bagi Pertanian Nasional
Di tengah kompleksitas tantangan kebijakan, para petani Indonesia juga dihadapkan pada ancaman serius dari perubahan iklim. Pola cuaca yang semakin tidak menentu, seperti musim kemarau berkepanjangan atau intensitas hujan lebat yang sulit diprediksi, menjadi hambatan utama dalam produksi pertanian. Perubahan ini tidak hanya mengganggu musim tanam, tetapi juga sering kali merusak hasil panen secara signifikan. Bagi petani kecil, yang umumnya bergantung pada sistem irigasi tradisional, situasi ini menjadi lebih sulit. Sistem irigasi yang belum memadai membuat mereka tidak siap menghadapi fluktuasi cuaca yang semakin ekstrem, sehingga tingkat produktivitas mereka terus terancam.
Selain itu, degradasi lahan akibat eksploitasi berlebihan dan rendahnya akses terhadap teknologi modern semakin memperburuk kondisi. Tanah yang kehilangan kesuburannya akan lebih sulit untuk ditanami, terutama di tengah kondisi cuaca yang tidak mendukung. Dampak kumulatif dari tantangan ini bukan hanya pada penurunan hasil panen, tetapi juga pada ketahanan pangan nasional secara keseluruhan. Jika perubahan iklim tidak diantisipasi dengan baik, Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai negara agraris, bisa menghadapi krisis pangan serius di masa depan.
Kebijakan dan Teknologi Sebagai Solusi
Dalam menghadapi permasalahan kompleks ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Reformasi kebijakan menjadi langkah pertama yang tidak bisa diabaikan. Salah satu upaya yang paling mendesak adalah penyesuaian harga dasar gabah. Kebijakan harga yang lebih realistis, yang memperhitungkan biaya produksi petani di lapangan, akan memberikan insentif yang layak bagi mereka. Petani tidak hanya mampu menutup biaya produksi, tetapi juga memiliki margin keuntungan yang cukup untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Memperpendek rantai distribusi juga merupakan salah satu langkah strategis untuk memastikan petani mendapatkan harga yang adil. Koperasi tani bisa menjadi solusi efektif dalam hal ini. Melalui koperasi, petani dapat menjual hasil panen mereka langsung ke pasar tanpa melalui perantara yang mengambil keuntungan berlebih. Selain itu, kemitraan dengan sektor swasta, seperti supermarket atau perusahaan pengolahan pangan, juga dapat memberikan akses pasar yang lebih luas dan stabil bagi petani.
Teknologi pertanian menjadi elemen kunci dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menyediakan akses terhadap teknologi modern. Contohnya, irigasi tetes yang hemat air dapat membantu petani menghadapi tantangan kekeringan, sementara varietas padi unggul yang tahan terhadap perubahan iklim dapat meningkatkan hasil panen meskipun kondisi cuaca tidak ideal. Mesin pertanian modern juga mampu mengurangi beban kerja petani sekaligus meningkatkan efisiensi proses tanam dan panen.
Impor Beras yang Terukur
Kebijakan impor beras harus lebih terarah dan berlandaskan kebutuhan domestik. Impor tidak boleh dilakukan secara sembarangan tanpa mempertimbangkan kondisi pasar lokal, khususnya saat petani lokal sedang memasuki musim panen. Jika impor tetap dilakukan dalam situasi ini, harga beras lokal akan tertekan, dan petani lokal tidak dapat bersaing dengan harga beras impor yang cenderung lebih murah. Oleh karena itu, impor hanya boleh dilakukan ketika pasokan domestik benar-benar tidak mencukupi, dengan waktu yang disesuaikan agar tidak merugikan petani lokal.
Keterpaduan antara kebijakan yang pro-petani, peningkatan infrastruktur dan teknologi, serta pengelolaan impor yang hati-hati adalah kunci untuk menghadapi tantangan perubahan iklim sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagai mahasiswa, menyadari dan mengkritisi isu-isu ini adalah langkah awal untuk mendorong perubahan yang lebih baik bagi masa depan pertanian Indonesia.
Peran Masyarakat Sipil Global dalam Mendukung Petani Lokal
Masalah harga beras yang tinggi, namun tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan petani, adalah isu yang perlu perhatian segera. Tidak hanya pemerintah, masyarakat sipil, baik lokal maupun global, memiliki tanggung jawab besar dalam upaya mengatasi permasalahan ini. Meningkatkan kesadaran konsumen untuk membeli produk lokal, seperti beras atau produk pertanian lainnya, merupakan salah satu langkah konkret yang dapat langsung mendukung pendapatan petani. Setiap keputusan yang kita buat sebagai konsumen, meski tampak kecil, memiliki dampak besar bagi petani di seluruh dunia.
Selain itu, peran organisasi masyarakat sipil sangat penting dalam mengadvokasi kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi petani. Melalui edukasi tentang keberlanjutan rantai pasokan pangan dan keadilan distribusi, organisasi-organisasi non-pemerintah dapat membantu menciptakan sistem yang lebih adil bagi petani. Oleh karena itu, konsumen yang bijak dan kebijakan yang berpihak pada petani akan menciptakan ekosistem yang mendukung kehidupan petani secara lebih baik.
Kesimpulannya, untuk mewujudkan sistem pangan yang lebih adil, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil global sangat dibutuhkan. Petani harus memperoleh bagian yang layak dari hasil penjualan produk mereka serta mendapatkan akses terhadap teknologi yang dapat membantu mereka dalam menghadapi tantangan masa depan, termasuk dampak perubahan iklim. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik, di mana petani memainkan peran penting dalam menjaga ketahanan pangan global.
M. Aldy Agatha Pratama, Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP Universitas Andalas.
Bagikan:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru)