Oleh Dyan Arsya
Brook Hatlen akhirnya bunuh diri karena tidak sanggup menerima ‘kemerdekaannya’ kembali. Ia sudah 50 tahun berada di Penjara Shawshank. “Dinding-dinding penjara ini sudah menyatu dengannya.” Brook tahu itu. Ia tidak akan sanggup berada di luar dengan kebebasan yang ia bawa. Ia bahkan hampir membunuh temannya agar bisa lebih lama lagi di penjara. Dan kenyataannnya, setelah menjalani hidup bebas di luar penjara, ia akhirnya menggantung diri dan harapannya atas kemerdekaan yang ia dapatkan.
Apakah pendidikan kita dalam Kurikulum Merdeka juga akan ‘menggantung’ guru-guru layaknya Brook Hatlen dalam novel Steven King? Pada siang di tahun ini, di ruang pertemuan hotel, guru-guru diberi lokakarya tentang Kurikulum Merdeka. Mereka adalah guru-guru penggerak yang nantinya akan menggerakkan guru-guru lainnya. Semacam guru inti di kurikulum sebelumnya.
Kegaduhan mulai merambat setelah makan siang. Akan ada tagihan lokakarya. Guru-guru belumlah paham betul dengan kurikulum ini. Bagaimana menafsirkan CP, TP, ATP. Mengurai materi esensial dari materi yang sebelumnya terlalu banyak (menurut kurikulum merdeka kurikulum sebelumnya memuat materi yang terlalu membengkak dan menyulitkan). Memikirkan ide ‘projek’ (kata bakunya ‘proyek’, tetapi dalam buku panduannya sendiri, Kemendikbud menggunakan pilihan yang tidak baku; ‘projek’) pengembangan profil pelajar pancasila apa yang cocok untuk kebutuhan sekolah? “Memahami apa itu Profil Pelajar Pancasila saja kita belum duduk, apalagi memikirkan membuat projek-projek pula,” begitu ungkapan ketidakpahaman guru di lokakarya itu.
Menjadi merdeka memang tidak mudah, apalagi bagi guru-guru yang sudah biasa disiapkan pekerjaannya. Guru-guru sudah terbiasa terbakukan. Bahkan sampai format laporan program di sekolah pun juga enggan untuk berbeda. Mereka tidak biasa keluar jalur. Bayangkan, format rancangan pembelajaran saja akan sangat memalukan kalau berbeda dari kawan. Padahal yang utama adalah muatan indikatornya, tidak harus dalam format yang seragam. Atas ketidakbisasamaan itulah bagian kurikulum sekolah mengatur sampai ke format-format detail rancangan pembelajaran dan laporan-laporan lainnya harus diseragamkan. Dan tiba-tiba sekarang mereka dituntut untuk bebas dari keterikatan. Seperti yang ada dalam buku panduan kurikulum merdeka, “Guru diberi keleluasaan untuk memilih berbagai aspek pembelajaran sehingga bisa menyesuaikan kebutuhan belajar peserta didik,” (Kemdikbud).
Bicara tentang keseragaman, ketidakharussamaan itu bagi guru-guru agak menakutkan. Bahkan sampai seragam di hari kerja pun hampir tidak ada yang berbeda, paling tidak satu hari saja. Semua disepakati untuk sama. Bahkan untuk pakaian batik sekalipun juga dibuat seragam. “Kalau tidak akan beragam-ragam nantinya, kurang bagus.” Namun, di kurikulum sekarang, diberi kebebasan seluas-luasnya bahkan kurikulum pun juga bisa memilih dan mengembangkan sendiri-sendiri, disesuaikan dengan kebutuhan sekolah masing-masing.
Sebisa apa sekolah bersama guru-gurunya bisa mengelola dirinya sampai ke tahap kurikulum? Coba ukur dengan satu contoh ini saja. Selayaknya, soal ujian akhir sekolah—yang baru saja diujikan tahun ini—dibuat oleh sekolah masing-masing sehingga keterukuran dengan kemampuan siswanya juga bisa disesuaikan. Di Kota Padang, soal ujian untuk sekolah tetap disamakan. Dikelola oleh dinas pendidikan kota (hanya sebagian kecil sekolah swasta yang kuat yang membuat soal ujian sendiri). Apakah sekolah di Padang punya tingkat yang sama? Tentu saja berbeda. Jika seperti itu, apa bedanya dengan ujian nasional yang buru-buru dihapuskan itu? Paling tidak ini hanya dalam satu kota. Namun, tetap saja tidak menjawab persoalan kesamarataan. Sekolah-sekolah di satu kota tidak akan sama rata. Entah dua tahun lagi, ketika sekolah-sekolah favorit sudah diisi oleh siswa zonasi, bisa saja terbentuk kesamarataan tetapi itu juga belum tentu, mesti diuji dan diukur juga. Lalu, kenapa sekolah tidak membuat soal ujiannya sendiri yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didiknya sendiri? Jika dihubungkan, tentu salah satu jawabannya karena ketidakmampuan untuk ‘merdeka’.
Namun, apakah guru-guru akan bernasib sama dengan Brook Hatlen? Tentu saja tidak. Ada beberapa guru yang punya prinsip seperti ini, “Apapun kurikulumnya, style mengajar tetaplah sama!” Apalagi bagi guru yang juga tidak terlalu mengejar naik pangkat ataupun jabatan. Yang akan pensiun apalagi. Sudah berapa jenis kurikulum mereka lalui. “Kadang pengulangan saja itu! Namanya saja yang berbeda, isinya masih sama,” kata salah seorang guru ketika ditanyai. Guru semacam ini tidak akan lapuk oleh hujan perubahan karena ia sudah menemukan titik ‘kenyamanannya’ dalam mengajar. Keputusan yang dipilih Brook tidak berlaku untuk ini. “Kehendak di atas belum tentu sesuai diterapkan di bawah, jadi sesuaikan saja dengan gaya kita,” ungkap penganut ini. Maka, perubahan apapun yang melanda, cara dan gaya mengajar mereka akan tetap sama.
Apakah guru seperti ini buruk? Tentu saja tidak! Justru mereka sudah terlatih. Telah melalui berbagai perubahan iklim kurikulum dalam hidup. “Ledakan granat saja tidak akan membuat mereka terkejut lalu tiarap!” Cek ketika mereka disupervisi, meski tidak pakai proyektor, tetapi kestabilan mengajar mereka tetap memukau. Jangan bilang mereka tidak ada media pembelajaran. Mereka punya gulungan-gulungan ‘manuskrip’ besar yang bisa digunakan kapan saja supervisi. Pengelolaan kelas mereka juga jelas. Urutan pembelajaran pun juga tidak muluk-muluk dengan pakai video ini itu, gim-gim ini itu, ice breaking ini itu yang terkadang hanya untuk mengulur waktu.
Akan tetapi, untuk guru yang bersemangat atau paling tidak yang dituntut ataupun menuntut masa depan (naik pangkat, jabatan, termasuk yang takut tertinggal dari kawan) tentu akan berbeda ceritanya. Mereka harus jadi ‘agen perubahan’. Untuk kepala sekolah, harus dari guru penggerak (Permen Dikbud nomor 40 tahun 2021). Mereka, para guru penggerak, harus bisa meng’influen’ kawan-kawan sesama guru (kata ‘influen’ sangat buruk artinya di kamus Indonesia, tetapi yang dimaksud adalah ‘influence’ yang artinya ‘pengaruh’). Para influencer (pemengaruh) ini diharapkan akan bisa mengubah pendidikan dari ‘kapal besar bernama Indonesia ini’ (mengutip istilah yang digunakan dalam pidato Pak Menteri pada hari Pendidikan).
Tahun depan akan ada menteri pendidikan yang baru. Akankah ia mempertahankan kurikulum ini yang masih baru dikuliti? Ataukah akan diminta mengubak kulit yang baru lagi? Jika begitu, kapan kita akan sampai ke jantung? (*)
Dyan Arsya, Praktisi Pendidikan
Bagikan:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru)
1 komentar untuk “Brook Hatlen dan Guru Kita”
Seharusnya Brook Hatlen diikutkan pelatihan ice breaking.
Seperti itulah pendidikan, harus seragam.. Kadang sesuatu yang viral gk jelas dijadikan bahan pendidikan.
Untuk penggunaan huruf saja harus disepakati times new roman (kutipan si penulis)…
😀😄