Oleh: Endry Martius
Mengapa akademisi sekarang ini tidak berbeda dengan tukang ojek?
Siapapun dia, sudah cukup lama insan akademik menjadi onderdil atau komponen saja dari suatu “industri pendidikan” (pabrik manusia berijazah) di bawah bendera korporasi yang disebut perguruan tinggi. Mereka bekerja bagaikan mesin yang memroses masukan atau input lulusan sekolah menengah untuk menghasilkan produk atau output atau luaran yang disebut sarjana.
Sebagai industri tentu ada standarisasi mutu di situ, baik pada input, proses, output, dan outcome atau hasil. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa standarisasi mutu itu hanya sekedar atributatif per definisi yang bermuara pada produksi lulusan yang akan terpakai di dunia pertukangan.
Misalnya, lulusan disiapkan untuk terampil (mempunyai hardskill dan softskill) dan akhirnya bisa masuk pasar kerja. Tidak lebih dari ini. Inipun tidak bisa dijamin. Perguruan tinggi nyatanya jadi penyumbang besar orang-orang tidak bekerja dan agaknya juga “tidak merdeka”.
Di dalam sebuah unit industri pendidikan bernama perguruan tinggi, Tidak ada penanaman nilai-nilai atau hal-hal yang maknawi yang berhubungan dengan penguatan karakter—menjadi manusia sejati yang merdeka.
Secara spesifik, sekarang profesor ataupun insan akademik lainnya malah sudah seperti tukang ojek saja. Beroperasi dengan mengisi berbagai aplikasi untuk mengukur kinerja. Kemudian mengklaim upah melalui aplikasi pula. Semua patuh pada aplikasi yang nyatanya beroperasi tidak sempurna dan menimbulkan banyak tanda tanya.
Banyak di antara para akademisi yang protes, termasuk para profesor, mengapa begini, begitu dan begana. Namun akhirnya, semuanya dipaksa patuh untuk memenuhi kehendak kerja mesin aplikasi, dengan menyisakan pertanyaan-pertanyaan dan protes-protes di awang-awang, dan lalu lenyap ditelan waktu.
Sekarang para akademisi sedang menunggu konsekuensi dari kerja aplikasi. Mereka adalah pekerja seperti tukang ojek yang menuntut upah, sekedar upah, tapi ternyata tidak bisa menuntut keadilan upah itu karena mesin tidak bekerja untuk menegakkan keadilan.
Tentu saja upah remunerasi itu tidak akan berkeadilan—ada yang overpaid atau dibayar lebih dan ada pula yang underpaid atau dibayar kurang. Struktur dan postur upah itu tidak menentu atau kacau balau, yang tidak bisa merepresentasikan keadilan sama sekali.
Akhirnya, kemudian, mesin aplikasi telah menjadi hukum besi upah (the iron law of wages). Aplikasi bersifat impersonal dan koersif, dan lalu menjajah para akademisi. Dan siapa yang patut disesalkan? Jawabannya tentu saja para profesor dan semua akademisi yang lupa menghumanisasi aplikasi tersebut. Para profesor dan para akademisi, khususnya para profesor itu ternyata hanya tukang ojek, bukan kapten peradaban.(*)
Endry Martius, Dosen Faperta Unand
Bagikan:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru)