Oleh: Endry Martius
Bukankah berharap terjadinya perubahan progresif oleh dosen-dosen alumni luar negeri adalah suatu yang mustahil?
Kebanyakan mereka malah tersesat dalam pusaran dan ilusi kapitalisme global. Mereka cenderung menjadi onderdil dan bahkan objek dari kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism) dalam keniscayaan pergeseran desa dan masyarakat yg sudah kian terbuka sbg kampung dunia (global village) yang pada gilirannya serta merta berubah ke bentuk penjarahan dunia (global pillage).
Disadari atau tidak, mereka hanya jadi tukang leges atau stempel bagi kapitalisme global tersebut. Lalu, kenapa bisa begitu?
Daoed Joesoef mengatakan ini ada hubungannya dengan proses transfer ilmu pengetahuan lewat lulusan-lulusan luar negeri berjalan tidak utuh atau sepotong-sepotong.
Ada tiga dimensi ilmu pengetahuan yang mesti tumbuh dan tertransfer—dari global ke lokal/internal, yaitu (1) dimensi produk, (2) dimensi proses, dan (3) dimensi komunitas epistemenya.
Ilmu pengetahun yang tertransfer ternyata hanya dari dimensi produknya saja. Ilmu pengetahuan dari luar dipakai bak barang atau produk, meskipun tidak relevan dengan kebutuhan dan tidak kontekstual. Jadilah ilmu pengetahuan itu mubazir dan sia-sia.
Dimensi proses ilmu pengetahuan adalah tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ataupun direproduksi serta dikelola. Ternyata dimensi ini diabaikan. Konsekuensinya, akhirnya, tidak terbangun kapasitas untuk melakukan kontekstualisasi ilmu pengetahuan— gagal indigenisasi dan gagal endogenisasi.
Lebih parah lagi, dimensi komunitas episteme yang menjadi aktor sekaligus media reproduksi ilmu pengetahuan juga tidak dipedulikan. Akibatnya, ilmu pengetahuan tidak dapat tumbuh berkembang dan terawat serta tidak pula terhilirisasi sesuai dengan kebutuhan.
Komunitas episteme ini sesungguhnya tidak pernah dibentuk dan ditumbuhkan. Kalaupun terbentuk, itu terkesan hanya semacam peguyuban atau kerumunan ilmuwan, baik dengan nama ataupun atas nama perhimpunan atau asosiasi orang-orang berijazah yang merasa pintar. Dalam perhimpunan atau asosiasi itu tidak dikenal apa yang disebut dialektika dan kontestasi ilmu, kecuali saling umbar pujian. dan karenanya itu bukanlah komunitas episteme.
Fungsi lain dari komunitas episteme adalah menumbuhkan kesadaran diskursif untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama (bonum commune). Dengan begitu, komunitas episteme otomatis melakukan kontrol sosial—tidak bisa berdiam diri terhadap pihak-pihak yang tidak peduli kepada kebenaran dan kebajikan.
Kampus merupakan habitat dari komunitas episteme. Dengan begitu, mereka semestinya peka terhadap masalah sosial, terutama yang terjadi secara internal di dalam kampus. Boleh jadi masalah tersebut terkait contohnya dengan dislokasi atau penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan mahasiswa, kurang atau salah urus dana zakat dosen, dan kebocoran uang sebelum intake sehingga tidak tercatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ketidakpedulian komunitas episteme memungkinkan semua kebusukan ini terbungkus rapi dan tidak tercium oleh hidung-hidung para pekerja auditor internal.
Halangan terberat untuk mengungkap masalah-masalah internal adalah banalitas—penerimaan sosial (persepsi dan apresiasi orang banyak) terhadap para pembuat masalah amatlah baik, dan mengkritisi adalah perbuatan yang tidak elok, siapapun pelakunya.
Dengan demikian, masalah malah dianggap bukan masalah oleh orang banyak, bisa jadi karena mereka tidak terinfokan secara lengkap atau karena hal demikian dianggap sebagai “kenormalan”.
Susahnya lagi, para pembuat masalah punya softskill untuk tampil bagai kucing manis. Duduk diam dan memberi pujian lebih diutamakan ketimbang berbicara sesungguhnya. Jadilah mereka seolah-olah malaikat tak berdosa.
Dalam atmosfir banalitas, public trust dan kontrol sosial terhadap tatakelola kampus sama-sama tidak akan terjadi. Oleh sebab itu, jangan terlalu berharap tatakelola universitas akan berjalan dengan baik, transparan, akuntabel dan berkeadilan. Universitas yang bereputasi dan bermartabat jadi utopi saja.(*)
Endry Martius, Dosen Faperta Unand