Oleh: Yusrizal KW
Anda tukang solang?
Walau ada yang tak tahu, banyak orang Minang mengenal kata “solang”. Solang, disolang, menyolang punya kekuatan arti yang intinya: bantah, dibantah atau membantah.
Dalam kehidupan, bantah membantah, sering kita lakoni. Pertanda kita hidup, segala sesuatu yang kita lakukan baik perbuatan maupun perkataan, solang merupakan “bumbu” penyedap yang kadang sekaligus obat untuk ego yang sakit. Tak jarang pula, racun untuk hati yang tak cerdas, karena melihat hal demikian sebagai pelecehan. Solang, sesungguh merupakan tanda, dimana kita hidup, ada hal yang tak terbantahkan, ada pula yang terbatalkan atau dipaksa disolangbatalkan.
Didengar dan dihormati perkataannya, tentu semua orang ingin begitu. Tetapi, untuk didengar dan dihormati apa yang kita katakan, jelas tidak mudah. Apalagi, punya jabatan. Tak punya jabatan pun, merasa lebih tua saja, kadang seseorang tidak siap untuk disolang. Karena, kadang kata “dibantah” atau disolang, sering dipahami sebagai tindakan perlawanan yang berasaskan “tak suka padamu”. Peruntuhan harga diri, martabat jabatan dan sebagainya.
Berbeda spiritnya dengan istilah si “tukang solang”. Pernah kita dengar, seorang teman digelari di belakang dia, sebagai “tukang solang”. Hal itu, tentu lantaran, apa yang dikatakan orang, selalu dibantahnya. Tidak penting, solangannya itu betul atau salah, yang disampaikan orang membutuhkan tanggapan atau tidak. Yang jelas baginya, menyolang orang, merupakan kepuasan tersendiri.
“Jangan menyolang petuah orangtua,” kata seorang teman, yang intinya: petuah suatu yang baik, martabatnya tidak termakan solang. Kalau antipetuah, menyolong apa yang dinasehatkan, durhaka namanya. Di suruh ke jalan yang benar, malah memilih jalan yang benar-benar menyolang.
Disolang orang, memang tidak enak. Tetapi, kata solang, sesungguhnya menuntut kejujuran, seadanya, bahkan memiliki “solangan” balik dengan argumen yang kuat dan akurat. Tentu beda ketika berhadapan dengan si “tukang solang”, yang kepuasan batinnya memang menyolang orang saja, inilah yang membuat kita merasa geram, kadang berpikir bagaimana “solang” kata dijawab dengan “solang” tinju.
Bersolang-solangan, bisa berarti berbantah-bantahan. Mencari posisi untuk menduduktegakkan: sayalah yang benar. Atau, kamulah yang kurang ajar. Ketika “solang” menjadi ajang menunjukkan taring, ketika itu sebenarnya kita membutuhkan penjernihan hakikat dari kata dan tuah “solang”. Bahwa “solang”, secara positif bisa digerakkan dalam perilaku “membantah” kita bukan untuk mewadahi naluri meniadakan martabat orang lain. Memang sih, ketika kita “disolang”, apalagi di depan orang ramai, terasa sebagai suatu yang menyakitkan. Reaksi terhadap “solangan”, dibutuhkan hati, pemahaman, bahwa hidup ini ternyata memang bukan berisi “oke” dan anggukan. Tapi juga ada “nggak”, gelengan atau “tidak begitu”.
Ada juga orang, yang hidupnya tidak bisa menyolang. Seakan, kata “solang”, bantah, berargumen untuk mengatakan tidak begitu, hilang dalam kehidupannya. Bisa saja karena status anak buah, menyolang bos yang jelas salah, keliru, menjadi tabu. Juga ada orang, memiliki cara yang cerdas. Solang yang akan disampaikan, mesti memiliki alasan yang kuat. Sehingga, ketika disolang balik, ia tidak perlu naik darah, karena ada kesadaran, solangan “lawan” akhirnya sangat emosional.
Solangan, juga berarti jawaban untuk tidak sepakat dari apa yang disamapaikan atau dituduhkan. Tidak sepakat, itulah yang harus kita sepakati, bahwa untuk menjadi sepakat perlu menyolang ketidaksepakatan dengan alasan kuat, bahwa sepakat itu penting. Ketika kita solang “sepakat penting”, alasannya juga bisa begini: “tidak sepakat juga penting”, karena dia “corak” atau “warna” lain yang sisi lainnya bukan tak mungkin menegaskan “solang” adalah kata penting perbaikan.(*)