THR (Tunjangan Hari Raya)

THR (Tunjangan Hari Raya)

Oleh: Ria Febrina

 

THR (Tunjangan Hari Raya)THR cair!

THR cair!

 THR atau Tunjangan Hari Raya merupakan tunjangan keagamaan yang diberikan kepada para PNS, TNI, Polri, serta pekerja dan buruh di Indonesia. Namun, tahukah kamu bahwa istilah THR ini merupakan istilah yang baru muncul pada tahun 1994. Pada tahun-tahun sebelumnya, masyarakat Indonesia mengenalnya dengan istilah uang persekot (1951) dan hadiah lebaran (1954). Itulah sebabnya, lema THR baru ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (2018). Dalam KBBI Edisi I sampai KBBI Edisi IV, serta kamus-kamus Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta, Sutan Mohammad Zain, dan E. St. Harahap, lema THR tidak ada sama sekali.

Perkembangan istilah itu kemudian menjadi sejarah dalam perjalanan pemberian tunjangan keagamaan di Indonesia. Kebijakan THR pada awalnya merupakan salah satu program kerja yang digagas oleh Perdana Menteri Soekiman pada tahun 1951. Program kerja ini diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur negara yang dulu dikenal dengan pamong pradja (tempo.com; detik.com). Tunjangan tersebut dikenal dengan nama uang persekot (lihat juga bit.ly/cagak-persekot). Namun, istilah uang persekot yang dimaksud adalah pinjaman awal. Uang persekot ini akan dikembalikan ke kas negara dalam pemotongan gaji pada bulan berikutnya (indonesiabaik.id).

Oleh karena pemberian diberikan secara khusus kepada aparatur negara, pada tahun 1952, para buruh dan pekerja lain di Indonesia merasa tidak adil sehingga mereka memprotes dan menuntut pemerintah juga memberikan tunjangan yang sama. Protes tersebut membuahkan hasil hingga pada tahun 1954, Menteri Perburuhan Indonesia mengeluarkan surat edaran tentang hadiah lebaran. Surat ini mengimbau seluruh perusahaan memberikan hadiah lebaran kepada para pekerja sebesar seperduabelas upah yang diterima.

Barulah pada tahun 1961, surat edaran ini kemudian berubah menjadi peraturan menteri. Setiap perusahaan diwajibkan memberikan hadiah lebaran kepada para pekerja yang sudah bekerja selama tiga bulan. Peraturan ini bertahan dengan baik hingga tahun 1994, hingga Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan peraturan menteri dan mengubah istilah hadiah lebaran menjadi Tunjangan Hari Raya (THR) sebagaimana yang kita kenal hari ini.

Karena peraturan terakhir menunjukkan bahwa pekerja yang boleh mendapat THR adalah pekerja dengan masa kerja minimal tiga bulan, mulai tahun 2016 dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa setiap pekerja yang sudah bekerja minimal satu bulan, mereka berhak mendapatkan THR dengan nilai yang dihitung secara proporsional. THR itulah yang diterima oleh hampir semua pekerja hari ini.

Untuk tahun 2023 ini, sejak awal April, pemerintah sudah memberikan THR kepada aparatur sipil negara. Sejumlah perusahaan juga sudah mendistribusikan THR kepada para pekerja dan selambat-lambatnya H-7 Lebaran. Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan 2023 bagi pekerja/buruh di perusahaan melalui surat edaran M//HK.0400/III/2023. Dalam aturan tersebut, THR harus dibayar penuh dan tidak boleh dicicil.

Meskipun sudah ada aturan, jangan kaget jika di beberapa tempat kerja, para pekerja hanya mendapatkan THR berupa parsel, hamper, atau bingkisan saja. Meskipun ada yang diselipkan dengan sejumlah uang, jumlahnya tidak sesuai dengan aturan kementerian. Mereka, seperti para pekerja di toko, gerai, atau unit kegiatan masyarakat dengan pendapatan rendah harus berlapang dada mendapatkan parsel dengan atau tanpa uang tersebut.

Kebijakan pemberian THR non-uang tunai dipengaruhi oleh kondisi keuangan di tempat mereka bekerja, serta tidak adanya aturan atau kontrak sejak awal yang menyatakan bahwa pekerja berhak mendapatkan tunjangan keagamaan atau THR menjelang Lebaran.

Di beberapa tempat, seperti lembaga-lembaga tertentu, seperti lembaga bimbingan belajar, masih ada yang tidak memberikan THR sama sekali kepada para pekerja lepas meskipun sudah bekerja lebih dari tiga bulan. Para pekerja yang merasa haknya tidak diberikan, dapat melaporkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan  melalui website resmi https://poskothr.kemnaker.go.id. Kehadiran web ini menjadi salah satu cara paling tepat bagi masyarakat dalam mendapatkan hak sebagai seorang pekerja.

Jika ditilik kembali, dapat dijelaskan bahwa THR merupakan tunjangan keagamaan yang diberikan kepada para pekerja. Tunjangan ini sebenarnya bagian dari gaji atau ‘balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu’ (KBBI daring, 2023). Dalam Tesaurus Tematis Indonesia (Tesaurus Kemdikbud.go.id), THR merupakan salah satu gaji yang diperoleh. Komponen gaji di Indonesia itu selain gaji pokok, ada tunjangan berupa tunjangan anak-istri, tunjangan beras, tunjangan fungsional, tunjangan fungsional umum, tunjangan hari raya (THR), tunjangan hari tua, tunjangan harian, tunjangan kemahalan, tunjangan pengangguran, tunjangan pensiunan, tunjangan perumahan, tunjangan sosial, tunjangan struktural, tunjangan tahunan; uang lelah, uang rapat, dan uang sidang. Setiap tunjangan yang diberikan memiliki ketentuan tertentu.

Salah satu ketentuan yang melekat pada THR adalah lama bekerja minimal satu bulan dan hanya diberikan menjelang hari raya keagamaan. Bagi pekerja yang beragama Islam atau bekerja di instansi, lembaga, atau perusahaan yang memiliki kebijakan untuk penganut agama Islam, THR diberikan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Begitu juga dengan pekerja yang beragama Kristen atau bekerja di instansi, lembaga, atau perusahaan yang memiliki kebijakan untuk penganut agama Kristen, mereka akan mendapatkan THR menjelang Hari Natal.

Namun sayangnya, perkembangan makna yang berkenaan dengan THR tersebut tidak tercantum dalam KBBI. Jika melihat lema THR dalam KBBI, tercantum bahwa THR merupakan singkatan dari tunjangan hari raya. Bagaimana THR bermakna dan menjadi sebuah tradisi dalam kehidupan masyarakat? Badan Pengembagan dan Pembinaan Bahasa tidak menggambarkan hal tersebut meskipun dalam satu buah kalimat.

Untuk melihat bagaimana masyarakat menggunakan istilah THR, kita bisa melihat dalam korpus-korpus bahasa Indonesia. Dalam korpus web Indonesia (IndonesianWaC) yang terdapat di Sketch Engine (https://www.sketchengine.eu/), istilah THR dipakai dalam kalimat-kalimat berikut.

(1) Dua pekan menjelang lebaran biasanya perusahaan sudah membagikan tunjangan hari raya (THR).

(2) Menjelang lebaran ini, ramai pekerja menuntut uang gaji tertunggak serta bonus atau disebut tunjangan hari raya (THR).

(3) Di Indonesia sendiri hal ini terkait erat dengan kebiasaan pemerintah dan perusahaan swasta untuk memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para pegawainya.

Sementara itu, dalam Korpus Leipzig (https://corpora.uni-leipzig.de/), penggunaan kata THR dapat dilihat dalam kalimat yang berikut.

(4) Dalam membayarkan THR, … besaran yang diberikan pada pekerja adalah satu bulan gaji.

(5) Kenapa Anda tidak menggunakan THR Anda untuk membayar sebagian dari utang-utang Anda?

(6) Ia mengatakan, apabila ada perusahaan terlambat membayar THR, akan disurati dan dilakukan pemanggilan kepada perusahaan tersebut.

Namun, jika kita membuka mesin pencari Google dengan mengetik singkatan THR, akan muncul berita-berita yang menginformasikan tentang pencairan dan masalah pencairan THR. Kita dapat melihat pemberitaan tersebut melalui judul-judul berikut.

(7) Jokowi Transfer THR PNS, Ini Besaran untuk ASN & Pensiunan!

(8) Bupati: Tidak Ada THR untuk Honorer Pemkab Pangandaran Tahun Ini

(9) THR ASN dan P3K Cair, Tenaga Kontrak Tabalong “Gigit Jari”

(10) 300 Karyawan PT Tri Jaya Tangguh Mengadu Belum Terima THR

Meskipun sudah ada kebijakan tentang pencairan THR, dalam penerapannya, masih ada ketimpangan. Masih ada masyarakat yang belum mendapatkan THR. Persoalan ini memang terus ada dari tahun ke tahun. Kehadiran posko THR merupakan salah satu cara untuk mengatasi persoalan tersebut.

Bagi masyarakat Indonesia, THR ini memang menjadi istilah yang paling disuka, ditunggu, dan menjadi topik paling hangat untuk menjalin silaturahmi ketika duduk bersama teman dan keluarga. Meskipun ada yang tidak mendapatkan THR dari perusahaan atau tempat bekerja, masyarakat yang menerima atau tidak menerima THR, berupaya menciptakan makna tersendiri pada istilah THR.

Setiap anggota keluarga yang bekerja akan menyediakan THR untuk orang tua, anak, kakak adik, keponakan, dan kakek nenek mereka. Mereka akan menukar sejumlah uang yang dimiliki dengan uang baru yang sudah disediakan dan didistribusikan oleh Bank Indonesia ke sejumlah bank di Indonesia. Uang-uang baru tersebut disiapkan kadangkala dalam amplop-amplop bermotifkan suasana Lebaran. Isi amplop tersebut sangat beragam, mulai dari dua ribu hingga ratusan ribu rupiah.

Kebiasaan berbagi rezeki atau berbagi THR ini menjadi tradisi yang menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya di kalangan masyarakat Indonesia. Baik anggota keluarga yang mendapatkan THR dari pemerintah atau tempat kerja, maupun anggota keluarga yang tidak mendapatkan THR, dengan sukarela menyediakan sejumlah uang baru yang akan dibagikan kepada anggota keluarga dan juga para kerabat. Bahkan, teman, sahabat, dan tetangga yang memiliki anak, juga mendapat sejumlah uang pada Hari Raya Idul Fitri ini. Berbagi rezeki melalui berbagi THR ini menjadi tradisi unik yang barangkali hanya ada di Indonesia.

THR ternyata tidak hanya sekadar tunjangan bagi masyarakat, tetapi lebih bermakna menjadi tradisi berbagi rezeki. Pada Hari Raya Idul Fitri, anak-anak akan bersegera menyalami orang tua, kakek nenek, paman bibi, om tante, dan kakak yang sudah bekerja. Selain menjalin silaturahmi dan saling menyampaikan permohonan maaf, mereka akan mendengar kata-kata yang paling ditunggu, “Siapa yang mau THR? Ayo ke sini”. Kalimat yang kemudian menjadi riuh terdengar di ruang tamu yang akan ditimpali dengan senyuman dan gelak tawa. Bahkan, juga ada yang pura-pura tidak mendengar sembari asyik mengobrol dan mencicipi kue lebaran. Mereka melakukan itu untuk menciptakan keriuhan hingga terdengar, “THR THR, siapa lagi yang mau?” (*)

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top