Ponten

Ponten

Oleh: Ria Febrina

Ponten

Mungkin karena sering menekan tombol sleep dan jarang menekan tombol off, pagi ini laptop saya hanya menampilkan layar pembuka. Tiba-tiba tidak bisa dioperasikan. Setelah berulang kali menekan tombol untuk menghidupkan dan mematikan layar, saya pun lelah, lalu teringat dengan cerita orang tua perempuan saya. Dia berkata bahwa dulu tahun 1967, dia juga menenteng sebuah benda seperti laptop. Benda ini tidak memiliki layar, tetapi bisa ditulisi. Benda ini juga bukan sebuah buku. Namanya batu tulis. Karena sebuah batu tulis, orang tua saya tentu tidak akan pernah mengalami kejadian melelahkan seperti yang saya alami sekarang.

Namun, kala mendengar nama batu tulis, saya menjadi tertarik mendengar lebih lanjut cerita beliau tentang benda ini karena saya tidak pernah menggunakannya. Benda ini ternyata terbuat dari batu yang kemudian diberi bingkai di semua sisi. Orang-orang zaman dulu bisa mendapatkannya di toko buku. Berapa harganya? Orang tua saya sudah lupa. Katanya, saat itu harga buku sangat mahal dibandingkan harga batu tulis. Barangkali karena produksi buku belum sebanyak sekarang.

Selama satu tahun, orang tua saya menenteng batu tulis ke sekolah. Setiap anak akan membawa batu tulis dan juga sebuah tangkai seperti pena. Tangkai ini juga terbuat dari batu dan fungsinya sama dengan pena. Ketika dituliskan ke batu tulis, akan keluar warna. Dia pun menuliskan abjad ABC, berhitung 1+3, serta menulis kalimat, “Ini ibu. Ini ayah”. Ya, kala itu orang tua saya masih kelas satu SD. Dia sedang belajar menulis. Namun, dia belum mengenal karangan yang berisikan “Ini Budi. Ini ibu Budi. Ini ayah Budi.” Mungkin karena karangan Siti Rahmani Rauf ini baru menjadi contoh tahun 1960-an, anak-anak yang berada jauh dari pusat kota Jakarta, terlambat mendapatkan materi tersebut.

Kembali kepada cerita orang tua saya, katanya guru meminta anak-anak menulis di sekolah. Setiap tulisan akan diponten. Setelah diponten, anak-anak membawa pulang hasil tulisan untuk ditunjukkan kepada orang tua. Setiap orang tua saya mendapatkan ponten dari guru, dia akan berlari girang menunjukkan kepada orang tuanya, kepada nenek saya. Tulisan di batu tulis pun dibiarkan sampai besok pagi hingga mendapatkan pelajaran baru lagi.

Kata orang tua saya, dia menyimpan tulisan tersebut hingga pagi karena setelah mendapatkan pelajaran baru, pelajaran lama di batu tulis akan dihapus. Beliau menghapusnya dengan tangkai pohon asam. Ketika beliau menghapus pelajaran lama di batu tulis, kala itu dia sudah menyimpan materinya dalam hati dan pikiran. Ketika ditanya saat ujian, dia bisa menjelaskan lagi kepada guru. Sungguh hebat. Saya kagum dengan cara mengingat orang-orang zaman dulu.

Setelah mendengar cerita ini, saya pun menemukan sebuah kata yang sudah lama tidak terpakai. Ponten. Saya pernah mendengar kata inikala SD. Guru dan teman-teman masa kecil saya juga paling rajin menggunakan kata ini.

1) Anak-anak yang sudah selesai, silakan bawa tugasnya ke depan, akan ibu ponten.

2) “Ayo cepat tulis biar dapat ponten bu guru,” kata teman saya.

Ponten merupakan kosakata bahasa Indonesia yang pelan-pelan memang sudah mulai menghilang penggunaannya. Bahkan, generasi sekarang mungkin tidak pernah menggunakan kata ini. Namun, generasi masa lalu pasti punya banyak kenangan dengan kata ini. Kata ini diwariskan oleh bangsa Belanda melalui tindakan menyetujui dokumen. Bentuknya seperti huruf R yang ditulis dalam bentuk tegak bersambung.

Sebagaimana dilansir dari Nrc.nl, ahli percetakan dari Universitas Amsterdam, Paul Dijstelberge menyatakan bahwa tanda ini sudah digunakan sejak abad ke-19 untuk keperluan birokrasi. Penggunaan tanda ini berkembang ke dunia pendidikan dan bertahan lebih lama. Dalam dunia birokrasi, tanda ini digantikan dengan paraf para pejabat yang berwenang. Karena setiap pejabat mempunyai paraf yang berbeda, lama-kelamaan ponten dengan bentuk R sebagai tanda persetujuan ini tidak ditemukan lagi dalam dokumen. Ponten terpakai sebagai sebuah tanda dalam dunia pendidikan.

Kala saya SD, guru sering memberi tugas sebanyak 10 soal. Jika jawaban kami benar, satu ponten akan diberikan guru di belakang jawaban. Jika sepuluh jawaban benar, saya pun akan mendapatkan sepuluh ponten kecil, ditambah satu ponten besar di bagian paling bawah buku yang disertai dengan angka 10.

Mendapatkan banyak ponten dan angka 10, tentu sangat menyenangkan. Namun, kadang-kadang saya juga pernah mendapatkan ponten 6, 7, atau 8. Meskipun begitu, jawaban kami yang salah tidah pernah diberi silang oleh para guru. Saya pernah bertanya kepada seorang guru ketika saya sudah tidak menjadi siswa SD. Guru saya menjelaskan bahwa tanda silang tidak dipakai agar kami tidak berkecil hati. Tanda silang cenderung memengaruhi psikologi anak. Mereka akan sedih atau malas belajar. Namun, ketika anak-anak melihat banyak ponten, pasti memicu mereka belajar lebih giat meskipun jumlahnya tidak sampai 10.

Hanya saja waktu terus berputar. Anak-anak sekarang tidak lagi mengenal ponten. Mereka hanya mengenal angka. Mereka diajar untuk berhitung sedari dini, berkompetisi mendapatkan nilai. Ada guru yang memberikan nilai 1—10, ada juga yang memberikan nilai A—E. Sebuah penilaian yang amat berbeda dengan kondisi ponten dipakai dalam dunia pendidikan.

Demi mengenang kata ponten, saya pun menelusuri kamus-kamus bahasa Indonesia. Kata ponten sudah ada dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia yang disusun Sutan Mohammad Zain (1951). Kata ponten dicantumkan berasal dari bahasa Belanda, punten. Kata ini bermakna ‘angka atau bidji kepandaian murid-murid dalam sekolah’. Turunan kata ini kemudian populer di dunia pendidikan, yaitu memonten yang artinya ‘memberi angka’.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta (1952), kata ponten juga ada. Kata ini memiliki dua makna, yaitu 1) bidji (angka kepandaian, angka jang didapat  dalam perlumbaan, pertandingan dsb) dan 2)  berupa pantjaran air. Sebagai kata yang bermakna angka, kata ponten juga memiliki kata turunan memonten yang memberi makna ‘memberi ponten’. Namun, dalam Kamoes Indonesia (1954) dan Kamus Indonesia Ketjik (1954) karangan E. St. Harahap, kata ini belum ada sama sekali. Sebuah kondisi yang menunjukkan bahwa kata ponten termasuk kata yang tidak begitu populer pada saat itu, tetapi sudah terpakai dalam beberapa kondisi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi I (1988), makna kata ponten diambil dari Kamus Umum Bahasa Indonesia. Kata ini memiliki dua makna, yaitu 1) angka (biji, nilai) kepandaian atau angka pertandingan (perlombaan) dan 2) pancaran air. Itulah mengapa kemudian suami saya menimpali cerita kami bahwa kata ponten katanya juga dipakai dalam pertandingan layang-layang.

Dalam lomba layang-layang, ada namanya tukang ponten. Mereka akan melihat layang-layang yang berhasil membuat tali berdiri dengan posisi tegak lurus di langit. Layang-layang ini akan menjadi juara. Biasanya dalam puluhan dan ratusan peserta, hanya satu atau dua orang yang berhasil. Itulah sang juara yang ditentukan oleh tukang ponten melalui kata turunan memonten, yakni ‘memberi nilai (angka) kepandaian atau memberi angka dalam pertandingan’. Makna ini bertahan hingga hari ini dalam KBBI daring (2023).

Penilaian ini barangkali sesuai dengan sejarah kata ponten. Kata yang dikenal sebagai persetujuan ini berasal dari kata goedkeuringskrul atau disingkat krul. Kata yang berasal dari bahasa Belanda ini pada awalnya merupakan representasi dari huruf G yang berarti goed ‘bagus’ atau gezien ‘terlihat’.

Mengapa tanda ini justru terlihat seperti huruf R? Katanya orang-orang dahulu terburu-buru menulis sehingga rupanya berubah menjadi yang kita kenal sekarang. Sayangnya, lama-kelamaan ponten ini menghilang dan digantikan dengan tanda ceklis. Prof. Hugo de Schepper dari Universitas Radbound Nijmegen menyatakan tanda ceklis merupakan representasi dari bahasa latin vivid yang bermakna ‘terlihat’.

Meskipun ponten sudah menghilang dari dunia pendidikan, kata ini pernah tercatat sebagai kosakata yang populer dalam dunia pendidikan Indonesia. Ketika anak-anak masa lampau menggunakan kata ponten, kala itu mereka berjuang begitu keras menyelesaikan tugas di kelas. Mereka tidak mengejar angka 10, tetapi menunjukkan kepada guru bahwa mereka sudah menyelesaikan tugas. Mendapatkan ponten seperti mendapatkan legalitas bahwa mereka sudah mendapatkan ilmu. Wah, sebuah kata ternyata menyimpan banyak cerita untuk kita ya!

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top