Oleh: Yusrizal KW

Banggi

Dalam Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia Balai Bahasa Padang terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2009, saya menemukan kata “banggi”. Di kamus ini, kata “banggi” diartikan sebagai tidak berharta; serba kekurangan, miskin, susah dan sengsara.

Kata “banggi”, sebagai arti dari hal terterangkan di atas, jarang, bahkan hampir tidak pernah kita dengar saat ini. Mendengarnya saja, mungkin sudah asing. Orang “banggi”, tentulah tak enak atau bertanya-tanya pula kita dibuatnya kalau kita menyebut seseorang demikian kepada anak Minangkabau hari ini. Apaan sih banggi? Begitulah, paling tidak, bakal kita dengar.

Ketika kita, orang Minang, sudah terbiasa dengan kata miskin, sengsara, melarat, makna atau arti sepadan dengan itu, seperti banggi, hampir tak disebut orang. Ada kata lain yang mungkin lebih akrab, familiar di telinga kita, yaitu bansaik. Urang bansaik, bolehlah sama dengan urang banggi.

Ketika saat ini kita bertemu kata banggi, jelaslah kita tak ingin memaksakan kehendak, pakai-pakai jualah kata itu dalam berbahasa Minang, pada obrolan atau komunikasi sehari-hari. Tidak. Kita hanya ingin mengemukakan, Minangkabau, punya kosa kata banggi, yang tertera dalam kamus, tapi tak tersua dalam percakapan sehari-hari. Mungkin pada daerah tertentu masih ada.

Ketika orang Minang dalam kehidupan sehari-harinya saat ini, kepada anak-anak mereka cenderung berbahasa Indonesia, satu dua, kata-kata Minang, bakal terlupakan. Jika tersebutkan misalnya banggi, atau bansaik, anak-anak kini, jarang penasaran atau punya keingintahuan, apa sih arti kata itu. Kita, para orangtua, tanpa sadar, justru memiskinkan, menjadikan banggi, kosa kata Minang dalam kehidupan sehari-hari. Lagi pula, tak ada rugi langsung terasa kalau anak-anak kita saat ini, tak kenal bahasa ibunya. Karena, bahasa Indonesia, juga Inggris dan Mandarin bahkan jepang, jauh lebih penting dipelajari. Hal ini, lebih anggapan, bahasa Ibu, bisa belajar sambil lalu, atau disembarikan saja.

Ketika kita mencoba merasa-rasai kata “banggi”, memaknai dengan bebas, boleh juga dengan “liar”, kita seakan mendapatkan orang Minang tengah mengalami pemiskinan bahasa atau kata Minangkabau. Makin ke perkotaan, orang makin tidak berbahasa Minang, kian kehilangan kata-kata yang cukup memberi ruh untuk penjelasan makna tertentu.

Ketika “banggi” kita bicarakan kali ini, sesungguhnya, kita seakan tengah kehilangan kata “banggi” tersebut. Kemana dia pergi. Kenapa tak ada terdengar lagi ucapan orang-orang mengatakan “inyo urang banggi mah (Dia orang miskin)”. Kita, bahkan mungkin saja pembaca, baru kali ini dengar kata “banggi”. Kata ini, sebagai milik orang Minang, tertera dalam kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia. Itu artinya, kamus, telah menjadikan dirinya, lemari besar, yang menyimpan ribuan kata, yang jika ada waktu, kita buka, maka akan ditemukan kata-kata lain, yang mengalami penjauhan dari ucapan kita, dari pemaknaan dan tafsir hidup kita.

Bertemu kata “banggi”, atau terbaca dan mendengar kata “banggi”, bagi yang pernah mengenal kata ini, ia akan berkata, sudah lama saya tidak mendengar orang menyebutnya. Bagi yang baru mengenal, ia bertanya, “Kok tak ada kata ini saya dengar diucapkan orang untuk menyebut miskin, sengsara, melarat atau ganti dari kata bansaik.

Kadang, kita tanpa disadari, mengalami pemiskinan yang disebabkan keabaian, atau ketakpedulian. Hal ini disebabkan, kita tidak merasa ada dampak buruk bagi kehidupan kita secara langsung jika tak memakai kata dari bahasa ibu kita, atau tak ada masalah jika tidak mengerti bahasa Minang. Pandangan atau asumsi demikian, sesungguhnya sudah mematrikan, inilah “banggi” yang kita alami, setidaknya secara kebudayaan atau kebahasaan dalam ranah Minangkabau.

Ditulis Oleh:
Bagikan Konten Ini:
Facebook
Twitter
LinkedIn
Reddit
Telegram
WhatsApp
Threads
Email
Print
Pocket
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top