
Dalam sejarah, Abdullah Inyiak Basa Bandaro lebih terkenal sebagai saudagar ketimbang pendekar. “Salah seorang saudagar Padang yang paling aktif,” kata Audrey R. Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia (Jakarta, 2000). Dia adalah “businessman and trader,” kata Kahin lagi, tapi dalam artikel yang lain, “Repression and Regroupment: Religious and Nationalist Organizations in West Sumatra in the 1930s”, Indonesia, No. 38 (Oct., 1984). Taufik Abdullah dalam Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933) juga menulis kalau dia, “The leader of the Minangkabau trading community in Padang.”
Dengan kemampuan keuangan yang baik sebagai saudagar, Abdullah juga dapat menyokong pergerakan kebangsaan yang sedang marak pada paruh pertama abad ke-20. Hal ini membuatnya kemudian tidak saja dikenal sebagai pedagang, tetapi juga bagian dari kaum pergerakan yang memberi andil bagi perjuangan kemerdekaan. Abdullah, misalnya, membawa dan memperkenalkan Sarikat Islam ke Sumatra; dia penyandang dana utama Djago-djago, Pemandangan Islam, dan koran-koran lain yang diterbitkan Sarikat Rakyat di Padangpanjang; dia juga bendahara Permi yang juga memiliki hubungan khusus dengan partai Sukarno (PNI) di Jawa.
Tetapi, jalan menuju saudagar dan keterlibatannya dalam politik pergerakan itu, dirintisnya mula-mula melalui jalan pendekar.
Berasal dari negeri kecil di pinggir danau Maninjau, keikutsertaan Dulah (begitu nama kecilnya) dalam dunia persilatan dimulai ketika Lebai Kuning menunjukkan kepadanya sebuah adegan: Sang Lebai menusuk-nusuk matanya dengan ujung belati, menggorok-gorok lehernya sendiri dengan mata belati itu, tapi tak menyisakan luka satu gores pun. Abdul Shamad bergelar Lebai Kuning sendiri adalah seorang ulama tarekat di Maninjau. Pemandangan itu amat menakjubkan bagi Abdullah muda, hal yang kemudian mendorongnya untuk mempelajari silat dan ilmu-ilmu ghaib (ilmu kebal) kepada sang guru.
Di samping mempelajari silat dan ilmu-ilmu ghaib bersama sang guru tarekat, dia juga merapatkan dirinya pada ulama-ulama modernis sekitar danau seperti Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Rasyid yang terkenal. Kepada mereka, dia mempelajari ilmu syarak dan tauhid. Dengan begitu, lengkap sudah, pada diri Abdullah, berkelindan tiga anasir sekaligus: ilmu ke-parewa-an Minangkabau; kebatinan mistik-sufistik kaum tarekat; ilmu syariah dan tauhid kaum modernis.
Setelah selesai berguru di kampungnya, Abdullah memulai perantauannya sebagai “bujang berguna belum” yang mesti meninggalkan kampung. Perantauan yang ditujunya adalah rantau pesisir barat. Pengembaraannya di rantau membawanya belajar kepada guru yang lain bergelar Tuanku Tunang, seorang guru gadang silat lintau, yang terkenal masa itu. Dia mengembangkan aliran silat tersendiri dan menjadi guru gadang-nya pula. Silat gulo tare, satu versi dari silat lintau yang terkenal, sering dihubungkan dengan Abdullah sebagai pengembangnya yang mula-mula.
Dengan kemampuan yang dimilikinya sebagai pesilat, dia kemudian memutuskan membuka sasaran silat di Kampung Jawa di Pasa Gadang. Abdullah dalam biografinya menuturkan bahwa di Padang “di masa itu sudah banyak sasaran silat”. Padang menjadi kota tempat di mana berkumpul “pendekar-pendekar dari segala daerah”. Mereka merupakan, seperti dalam gambaran roman Tulis St. Sati Sengsara Membawa Nikmat, para pendekar yang “kebal dan tidak luput oleh senjata … kepandaiannya bersilat sebagai terbang di udara”. Di tengah ramainya dunia persilatan itulah pandeka kita ini menghambur ke tengah gelanggang dengan memutuskan membuka sasaran sendiri.
Utamanya dia berkeingin untuk berdagang, tapi karena tidak cukup modal, dia mengajar silat dan ilmu batin. “Dengan mengajarkan silat dan ilmu batin, ia bisa mengumpulkan modal dan mendapat nama (popularitas) untuk mulai berdagang membuka toko barang-barang kain,” begitu dicatat dalam biografinya yang ditulis M. Thaher Samad Abdullah Injiek Baso Bandaro (Jakarta: 1987).
Tapi sebelum dapat membuka sasaran, Abdullah terlebih dahulu ditantang oleh para pandeka dari berbagai sasaran sebagai ‘izin’—sekaligus pembuktian baginya. Dia berhasil membuat bulus banyak pendekar yang menentangnya. Tidak saja dalam pertarungan jurus-jurus, tetapi juga dalam pertarungan ilmu batin. Dalam satu pertarungan, misalnya, para penantangnya dibuatnya tak bisa berdiri dari duduk mereka semalam suntuk, seolah-olah pantat mereka dipaku dengan lem cap kambing ke lantai sasaran. Hal-hal ini membuat harum nama Abdullah di tataran pesilat dan menjadikan sasarannya ramai oleh murid.
Eksplorasi konten lain dari Cagak.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.