Oleh: Ria Febrina

Tustel

Beberapa hari lalu saya bercerita dengan seorang teman. Kali ini topik kami tentang kampung halaman. Kami pun membahas banyak kisah, mulai dari keluarga, hingga pesta pernikahan. Saat membahas pesta pernikahan, tiba-tiba teman saya celetuk, “Dulu Aban punya tustel,” katanya. Aban itu panggilan anaknya ke orang tua laki-lakinya, alias panggilan cucu kepada kakek. Sebelum teman saya membuka laptop dan menunjukkan foto pernikahan adik laki-lakinya, saya langsung menimpali, “Ah, tustel, sudah lama kita tidak memakai kata ini.”

Itulah mengapa kali ini saya akan membicarakan kata tustel. Saya punya banyak kenangan dengan kata ini. Tustel merupakan nama lain dari kamera. Meskipun bersinonim, makna tustel sangat berbeda dengan kamera. Bagi generasi 1990-an ke bawah, pasti mengingat dengan baik bahwa tustel menjadi perekat hubungan secara sosial.

Jika ingin pakai tustel, kita harus ke studio foto dulu untuk membeli rol film. Seperti orang-orang yang sekarang candu berfoto, dulu juga begitu. Selalu ramai orang-orang datang ke studio foto, baik untuk membeli rol film, mau mencetak foto, atau mengambil hasil cetak. Merek yang populer itu ada Fujifilm dengan tampilan warna hijau, putih, dan merah, serta Kodak dengan tampilan warna merah dan kuning. Studio foto ternama akan memajang nama studionya dengan latar dua merek tersebut. Kita tinggal pilih, mau foto yang di belakangnya ada merek Fujifilm atau Kodak. Hasilnya memang sedikit berbeda, tapi tetap menjadi idola pada masa itu.

Saat di studio inilah, kita tidak sengaja bertemu dengan teman satu sekolah, teman waktu kecil, teman dekat rumah, keluarga, tetangga, guru, atau siapa pun. Studio foto ternama dengan toko yang besar memang menjadi favorit saat itu. Kala itulah interaksi sosial terjadi. Sembari menunggu giliran atau sebelum pulang membawa hasil cetakan, akan ada cerita tentang foto apa yang dicetak atau cerita bepergian ke mana dalam hasil foto itu. Bagi yang hasilnya sudah ada, tentu sambil memperlihatkan hasilnya satu atau beberapa foto.

Situasi itu tentu berbeda kini. Kita masih tetap bisa menyaksikan foto teman, keluarga, kerabat, dan kenalan, tapi tidak harus di studio foto atau melalui album foto miliknya. Kita bisa menyaksikan di media  sosial, seperti Instagram atau Facebook. Hanya saja interaksi sosial tidak akan terbangun lagi seperti kala mencetak di studio foto atau bertamu dulu ke rumahnya. Sekarang kita bisa melihat, lalu berujar dalam hati, “Keren, hebat, bagus, dan salut”. Ada juga yang melihat foto sambil memberi tanda jempol atau tanda love. Ada yang menjalin silaturahmi dengan mengomentari foto itu dengan memberi pujian atau menanyakan kabar di kolom komentar. Interaksi yang tercipta memang sangat beragam.

Kembali ke kata tustel, yang pernah memakainya pasti ingat bahwa setiap memakai tustel, kita harus membeli rol film dulu. Sebuah gulungan yang akan menyimpan hasil foto karena tustel itu kamera analog, berbeda dengan kamera digital yang kita pakai sekarang. Kita tidak bisa langsung melihat hasil foto di layar kamera. Alhasil, kita akan selalu diberi kejutan setelah foto dicetak. Ada foto yang tidak berhasil dijepret alias hangus; ada foto yang dempet sehingga hasilnya berupa bayangan; dan ada foto isinya putih saja karena dijepret dengan posisi yang tidak sempurna. Meskipun demikian, akan lebih banyak foto yang berhasil.

Menanti foto dari hasil tustel ini menjadi kenangan yang tak akan terlupakan karena mendapatkan hasil foto tidak instant seperti sekarang. Butuh waktu seminggu agar rol film kita diolah oleh pihak studio foto menjadi lembar-lembar foto yang ukurannya bervariasi. Dulu paling populer itu ukuran 3R. Ukuran foto ini sangat ideal dimasukkan ke dalam album foto. Ukuran 3R itu sama dengan 8,9 x 12,7 cm. Kalau kita lihat ukuran dalam piksel, sama dengan 1051 x 1500 piksel. Teman-teman bisa memperkirakan saat membuka aplikasi pengedit foto di laptop.

Foto berukuran 3R ini harganya bervariasi. Saya pernah mencetak dengan harga enam ratus rupiah per lembar hingga sekarang harganya seribu rupiah per lembar. Inilah kelemahan berfoto dengan tustel. Selain butuh biaya untuk membeli rol film, kita butuh biaya untuk cetak. Satu rol film berisi 36 foto. Jika mau cetak dua, tiga, atau lebih, tentu harus dikalikan. Jika dihitung-hitung, tentu butuh biaya yang besar. Itulah mengapa kata tustel menghilang dari kosakata pengguna bahasa Indonesia dan kini digantikan dengan kata kamera. Pasalnya, peran tustel sudah digantikan oleh kamera. Kata kamera secara spesifik merujuk ke kamera digital, baik yang spesialis foto maupun kamera yang terdapat di handphone.

Jika kita lihat asal-usul kata tustel dalam bahasa Indonesia, kata ini berasal dari bahasa Belanda, yaitu toestel. Dalam sejarah, memang Bangsa Belanda yang mempopulerkan kata ini sembari memakai tustel untuk berfoto kala itu. Jika melihat arsip foto yang menceritakan sejarah bangsa, kita akan menemukan foto-foto tokoh pendahulu dengan hasil cetak yang berwarna hitam putih yang kini tampak berwarna kekuning-kuningan. Tustel telah mendokumentasikan banyak sejarah bangsa pada masanya.

Namun, jika kita melihat ke dalam kamus-kamus bahasa Indonesia, seperti kamus-kamus yang disusun oleh W. J. S Poerwadarminta, E. St. Harahap, dan Sutan Mohammad Zain, kata tustel belum terdokumentasi sama sekali. Kata tustel baru terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi I tahun 1988. Kata tustel bermakna ‘kamera; alat potret’. Makna ini direvisi menjadi ‘alat potret; kamera’ dalam KBBI Edisi II (1991) hingga KBBI Edisi V (2018). Perubahan ini berkaitan dengan makna yang melekat pada kata tustel. Tustel tidak fitur yang dipakai untuk memotret, tetapi tustel sesungguhnya berkenaan dengan perangkat. Sebuah benda berbentuk kotak yang kedap cahaya (badan kamera), memiliki lensa, pemantik potret (shutter), dan pemutar film. Benda inilah yang disebut dengan tustel. Benda ini yang wajib ada saat kita ingin mengabadikan moment bersama keluarga, sahabat, dan kerabat.

Kini kata tustel sudah digantikan oleh kamera. Kamera tidak lagi bermakna alat, tetapi bisa menjadi salah satu fitur dalam ponsel. Fitur kamera ini yang kita dipakai untuk mengabadikan peristiwa penting dan berkesan bersama keluarga, sahabat, dan kerabat. Lalu, apa kabar tustel? Kini tustel dengan beragam model hanya menjadi hiasan rumah. Menjadi salah satu koleksi jadul tentang kecanggihan pada masa lalu. Itulah mengapa, saya terkejut saat bertanya kepada adik perempuan saya yang berusia 19 tahun, apakah dia mengenal kata tustel? Dia menjawab tidak tahu sama sekali. Ah, dunia memang terus berubah. Kosakata memang terus berkembang. Setiap kehadiran kosakata baru juga menyebabkan hilangnya kosakata yang lain.

Meskipun benda ini sudah menghilang, ada satu hal yang tidak akan dilupakan, yaitu kebersamaan. Tustel benar-benar dipakai untuk mengabadikan kebersamaan. Karena daya tampung rol film yang sangat sedikit, setiap potret menjadi sangat berharga. Berbeda dengan kamera yang mempunyai kapasitas besar, kadang yang bukan peristiwa penting dijepret untuk koleksi pribadi. Akibatnya, tidak banyak foto yang menceritakan kenangan sehinga tidak banyak ingatan kita tentang kebersamaan. Foto yang kita miliki juga sudah terlalu banyak dan durasi kita berfoto juga sudah terlalu sering. Foto pelan-pelan berubah makna dari sebuah dokumentasi menjadi media untuk narsistik.

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Ditulis Oleh:
Bagikan Konten Ini:
Facebook
Twitter
LinkedIn
Reddit
Telegram
WhatsApp
Threads
Email
Print
Pocket
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top