Oleh: Ria Febrina

 

TakjilKalau kata takjil sudah sering terdengar di telinga kita, pertanda suasana sudah di bulan Ramadan.

Kata takjil merupakan kata yang pemakaiannya memang meningkat di bulan suci umat Islam ini. Sebagian masyarakat dengan bahagia menyiapkan aneka menu untuk berbuka dan sebagian lagi menanti sejumlah hidangan yang hanya ada secara khusus di bulan Ramadan. Mereka menikmati semua sajian tersebut yang kemudian disebut dengan takjil. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (2023), takjil merupakan ‘penganan dan minuman untuk berbuka puasa’. Kata takjil ini digolongkan pada kata benda.

 

Pada awalnya, takjil merupakan kata yang diserap dari bahasa Arab, yaitu ajjala, yu’ajjilu yang berarti menyegerakan, mempercepat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2020). Oleh karena itu, makna awal dari kata takjil dalam bahasa Indonesia adalah ‘mempercepat (dalam berbuka puasa)’, bukan penganan dan minuman untuk berbuka puasa. Namun, kata yang terdapat dalam KBBI Edisi I (1988) dan tergolong pada kata kerja ini tidak dijelaskan diserap dari bahasa Arab. Pada KBBI Edisi II, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) mencantumkan label Isl yang bermakna bahwa kata ini digunakan secara khusus oleh penganut agama Islam.

Dalam kamus-kamus bahasa Indonesia sebelum KBBI, seperti Kamoes Indonesia (E. Soetan Harahap, 1942), Kamus Moderen Bahasa Indonesia (Sutan Mohammad Zain, 1951), Logat Ketjil Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1951), dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1954), kata takjil tidak ada, kecuali pada Kamus Indonesia Ketjik (E. St. Harahap, 1954). Penulisan kata ini pun masih menggunakan ejaan lama berupa takdjil yang bermakna ‘mempertjepatkan, mendorong’. Bahkan, makna kata tidak secara khusus merujuk pada mempercepat atau mendorong berbuka puasa.

Lalu, kapankah kata takjil masuk sebagai kata yang bermakna makanan untuk berbuka puasa?

Kata takjil yang bermakna makanan untuk berbuka ini merupakan makna baru yang ditambahkan pada KBBI Edisi IV (2008). Dalam kamus ini, kata takjil bermakna ‘makanan untuk berbuka puasa’. Karena tidak hanya makanan yang dinikmati selama berbuka puasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia pun mendefinisikan secara spesifik menjadi penganan dan minuman pada KBBI daring.

Kehadiran makna ini dalam KBBI sesungguhnya diciptakan oleh masyarakat Indonesia. Hampir di seluruh wilayah di Indonesia ada pasar Ramadan yang khusus menjual makanan dan minuman. Pasar Ramadan ini kadangkala didukung instansi pemerintahan di kota-kota tersebut sehingga dihias dengan sangat semarak. Ada gerai-gerai yang didirikan di suatu lokasi, seperti di lapangan atau di taman kota. Dari pintu masuk atau gapura, terhias lampu-lampu dan juga aksesori yang menunjukkan suasana bulan Ramadan.

Semarak pasar itu tidak hanya terpusat di tempat-tempat yang menjadi keramaian; di sepanjang jalan raya, di persimpangan jalan kota, hingga di persimpangan kompleks perumahan, sudah berdiri meja-meja kecil yang menyajikan aneka takjil. Ada es buah, es cendol, aneka gorengan, aneka pecel, gado-gado, lotek, hingga lauk-pauk. Semua disajikan dalam baki-baki besar atau talam. Makanan dibentuk menggunung sehingga menggoda selera untuk setiap pembeli yang melihatnya.

Di antara meja-meja itu, biasanya terselip makanan yang menjadi khas kota tersebut. Misalnya, di berbagai tempat di Sumatera Barat akan ada lemang ‘penganan yang dibuat dari ketan diberi santan, dipanggang dalam buluh bambu’. Di bulan Ramadan, lemang ini pun hadir bervariasi, seperti lemang pulut dari beras ketan putih, lemang hitam dari beras ketan hitam, dan lemang pisang yang merupakan perpaduan beras ketan putih dan potongan pisang. Di hari-hari biasa, selain di bulan Ramadan, lemang ini dijual terbatas di pasar-pasar tradisional tertentu dan jumlah penjualnya pun hanya satu atau dua orang.

Di tempat-tempat lain, ada jongkong yang merupakan kue yang terbuat dari tepung beras dan tepung tapioka yang dicampur dengan santan dan kelapa gula. Kue ini dibungkus menggunakan daun pisang. Makanan ini merupakan makanan khas Provinsi Bangka Belitung, tetapi juga terkenal di Medan dan menjadi makanan khas masyarakat pesisir pantai Selat Malaka.

Di Gresik ada bongko kopyor yang merupakan irisan buah nangka, roti, pisang, kelapa muda, dan air santan kelapa. Bongko kopyor ini dibungkus daun pisang dan dimasukkan ke dalam tungku. Sementara itu, di Yogyakarta, ada kicak yang menjadi makanan khas bulan Ramadan, bukan gudeg. Gudeg sudah menjadi makanan yang mudah ditemukan di berbagai tempat wisata, sedangkan kicak khusus dibuat di bulan Ramadan. Kicak ini terbuat dari ketan yang ditumbuk halus. Rasa kicak itu gurih yang berasal dai kelapa parut dan kuah santan, serta manis legit yang berasal dari nangka, gula merah, dan beras ketan.

Tak hanya lemang, jongkong, bongko kopyor, dan kicak, banyak lagi makanan khas tradisional dari 38 provinsi di Indonesia saat ini. Makanan tersebut sebagian hadir di bulan Ramadan untuk mengobati kerinduan. Pada hari-hari biasa, makanan tersebut tidak dijual karena banyak faktor, seperti proses pembuatan yang sangat tradisional dan membutuhkan waktu, serta alat khusus; karena faktor budaya yang secara historis menjelaskan bahwa makanan tersebut memang hanya dibuat untuk menyambut Ramadan; hingga faktor pembeli yang mulai berkurang. Makanan-makanan ini bersaing dengan makanan modern yang juga dijual di pasar Ramadan, seperti dimsum, piza, burger, sushi, corndog, tteokbokki, odeng, dan aneka mi pedas. Makanan tersebut rata-rata berasal dari luar negeri, seperti Cina, Italia, Korea, dan Jepang.

Makanan-makanan itulah yang menjadi takjil atau ‘penganan dan minuman untuk berbuka puasa’. Oleh karena itu, beberapa jam menjelang berbuka puasa, anak muda, anak kecil, dan orang tua berburu takjil sembari merintang waktu. Sekelompok orang juga melakukan kebiasaan baik dengan membagi-bagikan takjil. Mereka menanti di depan masjid, di depan musala, di depan sekolah, di depan kantor pemerintahan, di jalan raya, hingga di lampu merah. Mereka menyapa orang-orang yang lewat sembari menyodorkan takjil yang sudah disiapkan. Suasana yang hanya hadir di bulan suci Ramadan.

Di hari-hari biasa, selain bulan Ramadan, suasana ini tidak akan ada. Jika ada yang membagikan makanan, biasanya setelah salat Jumat atau pada acara-acara tertentu. Pembagian itu pun dianggap sebagai perbuatan baik membagikan rezeki kepada orang banyak.

Kata takjil memang melekat secara khusus dengan situasi berbuka puasa. Kalaupun digunakan oleh masyarakat di luar Ramadan, biasanya dipakai oleh sekelompok orang di masjid atau musala tertentu untuk menikmati makanan dan minuman saat buka puasa sunah, seperti puasa Senin-Kamis. Itu pun tidak banyak yang menyebutnya sebagai takjil. Orang-orang cenderung menyebutnya dengan makanan untuk berbuka puasa. “Di meja tersedia makanan untuk berbuka puasa. Silakan diambil, Bapak/Ibu”; jarang yang menuturkan “Di meja tersedia takjil. Silakan diambil, Bapak/Ibu”, seperti itulah kira-kira kalimatnya.

Produktivitas sebuah kata memang bergantung pada masyarakat tuturnya. Sebuah kata akan berkembang maknanya dan kadangkala melebihi definisi awal yang disepakati. Begitulah awalnya mengapa bahasa disebut arbitrer atau kesepakatan. Kesepakatan yang bermula dari bentuk kata yang dipakai hingga pada makna yang dihasilkan.

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top