Oleh : Ria Febrina

Tajin

Lagi-lagi saya menemukan sebuah kata yang kembali mengingatkan saya pada masa kecil. Kata tersebut dilontarkan oleh Joko Pinurbo atau dikenal dengan Jokpin, penyair legendaris Indonesia. Kala itu, saya sedang mengajak anak-anak mengunjungi Festival Kebudayaan Yogyakarta 2023 (FKY 2023). Saya dan suami mengajak anak-anak membeli buku. Meskipun generasi mereka sulit untuk menerima buku sebagai kegemaran, tapi terus mengenalkan mereka dengan buku dan pameran buku adalah pilihan agar mereka tidak jauh dari jendela dunia satu ini.

Setelah membeli buku, kami duduk lesehan sembari membuka buku yang sudah dibeli. Namun, siapa sangka bahwa saya mendapatkan kesempatan menyimak salah satu acara FKY 2023, yaitu Angkringan Jokpin. Di depan gerobak angkringan, Jokpin berdialog dengan para penulis antologi puisi yang berjudul “Loka”. Para penulis menulis kenangan dan pemikiran mereka dalam puisi yang bertajuk “Ketahanan Pangan”. Jokpin melontarkan satu pertanyaan kepada penulis puisi yang ternyata mampu menceritakan proses kreatifnya. Semua proses kreatif tersebut bermuara pada warisan kuliner Nusantara.

Saat itulah saya mendengarkan apresiasi dari Jokpin kepada para penulis yang mampu menuliskan ingatan mereka tentang makanan masa kecil. Sementara itu, Jokpin tidak mampu mengingat apa yang sudah dimakannya semasa kecil, kecuali hanya air tajin. Dengan senda gurau, Jokpin melontarkan alasan, “Mungkin karena hidup saya susah sehingga tidak mengenal banyak makanan.”

Air tajin. Mendengar kata ini, ingatan saya langsung melompat ke masa kecil, ke dapur kami yang berada persis di bawah tangga. Saat itu, rumah kami berlantai dua. Sebuah rumah yang berasal dari ruko gagal pakai. Saya ingat persis bagaimana ibu saya, di bawah tangga itu, tengah menanak nasi menggunakan kompor minyak tanah yang berwarna hijau. Di atas kompor terjerang nasi dalam periuk aluminium bertangkai. Ibu membuka periuk sembari memegang sanduak atau sendok yang terbuat dari batok kelapa. Di tangan kirinya ada piring kanso atau piring seng jadul. Saat makanan mendidih, beliau mengambil air beras yang sudah mengental, lalu memindahkannya ke piring kanso. Beliau bahkan dengan sengaja mengambil beberapa butir beras yang belum matang menjadi nasi, dicampurkan dengan air tajin.

Setelah mendapatkan air rebusan beras tersebut, beliau mengambil garam dan gula, lalu menaburkannya ke dalam piring. Setelah itu, beliau mengambil kelapa yang diparut sendiri. Ibu memanggil saya yang sebelum memasak nasi sudah mengatakan, “mau makan air tajin dan kelapa”. Setelah mendapatkan makanan itu, saya tentu dengan nikmatnya menyantap air tajin ini yang sangat pas perpaduan rasanya antara asin dan manisnya, serta gurihnya kelapa dan beras yang belum matang. Saya dan beberapa anak-anak pada masa itu, pada tahun 1990—2000-an, sepertinya sangat suka makanan ini.

Pada saat itu, air tajin bukan makanan utama, lebih seperti makanan tambahan, seperti kita menikmati bubur. Air tajin sangat nikmat dimakan pagi hari, tepat setelah nasi dimasak. Menikmati air tajin saat masih panas mampu menghangatkan perut yang dingin. Namun, jauh sebelum itu, ibu saya bercerita bahwa pada masa 1960-an, air tajin justru dijadikan makanan utama bagi banyak orang. Persis seperti cerita Jokpin, anak-anak seusia beliau, sering disuguhkan air tajin sebagai menu utama. Kala itu makanan sangat susah. Banyak orang yang makan nasi hanya dengan sebutir telur yang dipotong empat atau enam, yang dipotong sebanyak anggota keluarga. Bahkan, anak-anak balita—ada juga yang berusia di bawah enam bulan—diberikan air tajin sebagai pengganti air susu.

Kala itu harga susu sangat mahal. Banyak orang tua yang tidak mampu membelikan susu untuk anak-anaknya. Namun, demi mendapatkan gizi yang bagus, banyak yang mempercayai bahwa air tajin sangat berkhasiat sebagai pengganti susu sapi. Khasiat air tajin ini dipercayai oleh para ibu sehingga mereka berusaha memanfaatkan air tajin menjadi banyak olahan makanan.

Selain menjadi bubur, orang tua masa dulu juga pernah memasak air tajin menjadi sambalado, olahan makanan dari cabai, bawang merah, bawang putih, dan air tajin. Namanya sambalado uwok. Cabai dan bawang digiling, lalu dimasak dengan air tajin dalam sebuah belanga. Sebagian orang ada yang menambahkan ikan teri, sebagian lagi ada yang menambahkan kikisan tulang sapi yang dibakar. Kadang-kadang ibu saya menambahkan petai dan kentang ke dalam masakan tersebut. Olahan ini sangat nikmat dimakan pagi hari setelah nasi masak dan sambalado siap. Barangkali karena itulah orang-orang dulu memiliki energi dan semangat berlebih pada pagi hari. Mereka sudah mendapatkan asupan yang cukup sehingga tidak ada waktu untuk tidur lagi setelah bangun atau bermalas-malasan di pagi hari.

Di balik cerita orang tua, saya memahami bahwa air tajin adalah penyelamat hidup banyak orang pada masa lampau. Saat kehidupan sedang tidak baik-baik saja, banyak ibu memanfaatkan air tajin untuk memberikan makanan terbaik kepada anak-anak mereka. Bahkan, bagi saya, air tajin bukan sekadar air rebusan beras, tetapi ada kehidupan yang berkelindan di dalamnya. Anak-anak akan setia mendampingi ibu mereka di sebelah kompor minyak tanah. Mereka duduk sambil menanti air beras mengental. Mereka akan duduk sambil mendengar ibu bercerita. Tentang apa saja tentunya yang mampu merekatkan hati antara ibu dan anak.

Pada saat penantian tersebut, ibu harus selalu mengecek periuk agar air beras tersebut tidak segera mengering. Memang perlu keahlian untuk mendapatkan air tajin. Terlewat sekejap saja, air tersebut bisa menyatu dan membuat nasi mengembang. Alhasil tidak ada kenikmatan air tajin pada hari itu. Romantisme atau hubungan yang menarik ini yang tidak akan kita temukan hari ini. Di dapur Indonesia tidak akan ada lagi periuk aluminium bertangkai ini. Periuk ini sudah digantikan dengan rice cooker. Sebuah kecanggihan teknologi yang menghilangkan ikatan emosional antara ibu dan anak.

Setelah mencuci dan memasukkan beras ke dalam wadah rice cooker, kita cukup mengisi air, lalu meletakkan wadah sembari menekan tombol cook yang bermakna proses menanak nasi sedang berlangsung. Setelah itu, kita bisa melakukan aktivitas apa pun hingga terdengar bunyi ting atau tombol berubah menjadi warm yang bermakna nasi sudah masak dan akan dihangatkan. Dengan alat ini, kita tentu saja tidak akan mendapatkan air tajin karena kita tidak akan pernah tahu kapan air  mengental. Apalagi, fungsi rice cooker berbeda dengan periuk. Kita tidak bisa membuka tutupnya semau hati. Itulah mengapa rice cooker disebut sebagai benda yang setidaknya telah merenggut satu masa terbaik antara ibu dan anak dalam menjalin komunikasi di rumah.

Namun, kita tidak akan pernah bisa menolak kemajuan. Meskipun tidak ada lagi air tajin, setidaknya masih ada cerita atau rekaman yang bisa didengar atau dilihat anak-anak zaman sekarang atau anak-anak masa depan. Cerita itu harus tetap diwariskan karena dalam kamus susunan W. J. S. Poerwadarminta, E. St. Harahap, dan Sutan Mohammad Zain, kata tajin belum tercantum sebagai kosakata bahasa Indonesia. Kata ini baru muncul pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tetapi hanya didefinisikan secara sederhana tanpa menjelaskan peristiwa di baliknya. Dalam KBBI Edisi Edisi I (1988), kata tajin bermakna ‘air nasi (dalam periuk)’. Selanjutnya dalam KBBI Edisi II (1991) hingga KBBI Edisi V (2018) dan KBBI daring (2023), kata tajin bermakna ‘air rebusan beras yang agak kental’. Meskipun belum melukiskan peristiwa yang terjadi saat kata tersebut digunakan, kata ini bisa menjadi kenangan atau pengingat bahwa tajin pernah menjadi salah satu makanan tradisional Indonesia.

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top