Oleh: Ria Febrina

Suatu hari saat saya berkunjung ke Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta, seorang teman mengucapkan kata strongkeng. Kala itu kami sedang makan di sebuah warung tradisional sembari menikmati mi rebus, tempe, dan pisang goreng. Kami melihat dua orang laki-laki seusia orang tua saya dengan sigap memasak semua makanan tersebut. Karena dimasak oleh orang tua, kami merasakan bahwa makanan yang disajikan sangat nikmat dibandingkan sajian di warmindo atau warung makan Indomie.
Barangkali karena udara yang juga terasa dingin, makanan di warung yang sederhana ini terasa semakin nikmat. Ingatan kami pun menjelajah ke kenangan masa lampau. Salah satunya mengingat betapa dahulu orang-orang hidup dengan keterbatasan cahaya lampu. Kata strongkeng pun terlontar karena di kampung asal kami, warung-warung yang terletak di atas bukit, jauh dari pusat kota—seperti di depan Museum Ullen Sentalu ini—sangat minim pencahayaan. Pencahayaan yang dipakai pun, salah satunya berasal dari strongkeng.
Strongkeng adalah ‘lampu yang menggunakan kaus sebagai sumbu, dinyalakan dengan bantuan nyala spiritus, bahan bakar yang berupa minyak tanah disemburkan ke sumbu kaus oleh udara yang dipompakan’. Terlontarnya kosakata strongkeng tentu saja menarik perhatian saya karena hanya generasi yang lahir sebelum 1990-an yang mengenal kosakata ini dengan baik.
Hal pertama yang saya lakukan ketika mendengar kata ini adalah mengecek kembali definisi dalam KBBI. Namun, siapa sangka, kata strongkeng tidak ada dalam kamus bahasa Indonesia. Kosakata yang ditawarkan saat membuka KBBI Edisi VI adalah strongking dan stromking. Strongking dan stromking merupakan kata tidak baku dari stormking. Stormking itu sendiri adalah ‘petromaks’. Petromaks itulah yang didefinisikan sebagai lampu yang menggunakan kaus sebagai sumbu.
Sebagai generasi yang tumbuh saat strongkeng digunakan, saya tentu kaget. Mengapa namanya stormking? Saya pun menelusuri sumber-sumber terkait dan ternyata menemukan sebuah koran lawas yang diunggah ke sebuah web Amerika Serikat. Dalam salah satu rubrik koran tersebut yang bernama “National Stamping & Electric Works”, dijelaskan bahwa Storm King merupakan merek sebuah lentera yang ada di Amerika Serikat. Karena nama produk ini menggunakan bahasa Inggris, masyarakat Indonesia melafalkan Storm King menjadi strongking/strongkeng. Perubahan bunyi ini terjadi karena bunyi-bunyi dari bahasa Inggris tidak akrab di telinga masyarakat Indonesia. Masyarakat melafalkan bunyi tersebut dengan bunyi yang mirip dalam bahasa Indonesia sehingga terjadilah perubahan bunyi pada serapan kata tersebut.
Lentera ini disebut sebagai storm king karena mencerminkan sebuah lentera yang tahan badai, tahan hujan, dan tahan serangga. Lentera ini dipakai oleh penghuni rumah tangga, petani, pekebun, peternak, olahragawan, orang-orang yang kemping, kontraktor, hingga penjaga malam. Sebagai sebuah promosi, lentera ini dijelaskan dapat dioperasikan dalam posisi apa pun dan dapat dibawa ke mana-mana. Lentera ini dapat dipakai dalam 12 hingga 16 jam dalam satu kali pengisian dan harganya saat itu adalah $13,20. Jika dikonversi dengan mata uang rupiah pada hari ini, bernilai Rp213.378,00. Jika dibandingkan dengan harga sebuah bola lampu yang dipasang di sebuah ruangan saat ini, harga lentera ini tentu sangat mahal. Sebuah bola lampu yang dipakai saat ini bisa dibeli dengan harga paling murah Rp7.000,00. Namun, lampu dengan kualitas terbaik dari merek terkenal di Indonesia berjenis LED (light emitting diode), dapat dibeli dengan harga Rp77.000,00. Dengan konversi ini, bisa diperkirakan bahwa strongkeng termasuk barang mewah pada masa itu.
Produk Storm King ini kemudian disebarluaskan ke negara-negara lain, termasuk Indonesia sehingga masyarakat Indonesia juga menjadikan lentera ini sebagai penerangan canggih pada tahun 1970-an. Saat rumah-rumah di Indonesia sudah mendapat pencahayaan dari listrik, sampai tahun 1990-an, sejumlah masyarakat masih menggunakan lentera ini sebagai sumber cahaya. Saya termasuk salah seorang yang menggunakan lentera ini untuk cahaya penerangan.
Orang tua saya merupakan seorang pedagang. Kala itu beliau berjualan buah-buahan di trotoar Jalan Ujung Gurun, Kota Padang, pada tahun 1999—2004. Awalnya beliau berjualan di trotoar menggunakan meja kayu. Karena sudah mendapatkan banyak pelanggan, beliau kemudian beralih berjualan buah di atas mobil. Saat itu jalan-jalan di sana belum disinari lampu jalan secara maksimal. Ada beberapa titik pencahayaan, tetapi pencahayaan masih menggunakan lampu jalan berwarna kuning. Jaraknya juga cukup jauh. Di belakang area kami berjualan merupakan lahan kosong milik BTN sehingga orang tua saya tidak bisa memasok listrik dari area terdekat. Satu-satunya cara agar dapat berjualan hingga malam hari adalah menggunakan strongkeng. Saat itu strongkeng masih populer, masih diproduksi banyak, dan harganya juga masih terjangkau.
Menjelang pukul enam sore, saat-saat menjelang senja, orang tua saya akan menghidupkan lentera ini. Melihat beliau asyik memasang kaus, menuangkan spiritus ke dalam wadah kaca lentera, serta membakar kaus dengan spiritus, membuat saya tertarik. Saya pun minta diajari cara menghidupkan strongkeng. Tidak mudah ternyata. Kaus harus dipasang dengan rapi dan juga erat agar ketika memberi api ke spiritus, api dapat membakar kaus dengan sempurna sehingga kaus tidak pecah atau gagal menjadi cahaya.
Memompa lentera juga ada tekniknya. Tidak boleh terlalu kuat dan kencang karena dorongan angin dari pompa akan membuat api membakar kaus dengan tidak sempurna. Memompa juga tidak boleh lambat dan pelan karena dapat menyebabkan api tidak mencapai kaus sehingga pembakaran juga menjadi tidak sempurna. Entah mengapa, karena sangat gigih dan suka mencoba hal-hal baru, saya berhasil menghidupkan strongkeng seperti yang dilakukan orang tua laki-laki saya. Barangkali karena itulah, ketika orang tua saya harus berada di tempat lain, seperti kenduri atau prosesi kematian keluarga, saya dengan sigap menggantikan tugas beliau menyalakan strongkeng.
Ketika teman saya menyebut kata strongkeng, saya punya kenangan tersendiri dibandingkan teman-teman perempuan pada masa itu. Saya yakin tidak banyak yang pernah mencoba menghidupkan strongkeng karena cahaya lampu dari rumah-rumah sudah berasal dari listrik. Kala itu barang mewah yang populer dipakai masyarakat ada video player yang dipakai untuk memutar musik dan film yang tersimpan dalam VCD (Video Compact Disk). Tentu saja orang-orang yang memakai strongkeng sudah mulai dianggap jadul atau kuno saat itu. Sebagai seseorang yang fokus mengamati bagaimana sebuah kata dipakai oleh masyarakat, saya pun mencoba menelusuri kata strongkeng ini dalam korpus bahasa Indonesia karena dalam KBBI tidak dicantumkan bagaimana penggunaan kata tersebut.
Dalam korpus Indonesian Web 2020 (Sketch Engine), ditemukan 6 penggunaan kata stromking, 9 penggunaan kata stormking, 14 penggunaan kata strongking, dan 19 penggunaan kata strongkeng. Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat lebih banyak menggunakan kata strongkeng. Penggunaan masing-masing kosakata tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
(1) Rakyat dulu memakai lampu cempor, sekarang memakai lampu tempel, malahan kadang-kadang memakai lampu stormking, itupun mendatangkan persoalan dan kesulitan.
(2) Lampu yang digunakan dalam penangkapan cumi-cumi dengan alat tangkap jigger adalah lampu pijar, lampu karbit, dan petromaks atau stromking.
(3) Malam menjelang, tampak beberapa rumah warga disinari cahaya remang lampu strongkeng dan bahkan ada yang dalam kondisi gelap gulita.
(4) Penjual kacang di jalan penghibur Kota Makassar masih ada yang menggunakan lampu strongking sebagai penerang di malam-malam pandemi Covid-19 yang sepi.
Kalimat-kalimat tersebut menunjukkan bahwa masyarakat menggunakan lentera ini dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menggunakan untuk penerangan di dalam rumah, di atas kapal, dan juga di jalan-jalan raya ketika berjualan. Strongkeng pun bukan barang jadul karena masih dipakai oleh para pedagang pada tahun-tahun pandemi. Dengan demikian, masyarakat masih menggunakan kosakata ini meskipun intensitas penggunaan kata tersebut sangat terbatas dan tidak sebanyak penggunaan kata lampu.
Untuk mengetahui kehadiran kosakata ini dalam kamus, saya mengecek kamus-kamus bahasa Indonesia lainnya. Dari kamus-kamus yang ada, hanya KBBI Edisi I (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, 1994) yang memuat benda ini dengan kata petromaks. Kata petromaks kemudian dicantumkan sebagai kata yang bersinonim dengan stromking pada KBBI Edisi II (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991) dan berubah menjadi stormking pada KBBI Edisi VI.
Sementara itu, pada kamus-kamus bahasa Indonesia lainnya yang disusun sebelum tahun 1990, seperti Logat Ketjil Bahasa Indonesia (W. J.S. Poerwadarminta, 1951), Kamus Moderen Bahasa Indonesia (Sutan Mohammad Zain, 1951), Kamus Umum Bahasa Indonesia (W. J.S. Poerwadarminta, 1952), serta Kamoes Indonesia dan Kamus Indonesia Ketjik (E. St. Harahap, 1954), tidak ditemukan kata petromaks dan stormking. Perubahan kosakata tersebut dalam kamus menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kebijakan dalam memasukkan kata ini ke dalam kamus.
Meskipun demikan, kosakata ini telah dipakai oleh masyarakat Indonesia sebagaimana penggunaan benda tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja benda ini tidak lagi dengan mudah ditemukan saat ini. Di Yogyakarta, benda ini dapat ditemukan dalam pameran kesenian dan kebudayaan masa lampau, seperti pada kegiatan Pasar Kangen, serta museum-museum yang memuat barang-barang antik atau barang-barang masa lampau. Di daerah-daerah lain, mungkin beberapa orang masih menyimpan benda ini di rumah-rumah. Semisal lampu mati atau terjadi bencana-bencana tertentu yang menyebabkan listrik mati, masyarakat yang memiliki benda ini masih menggunakannya sebagai penerangan sementara.
Bagikan:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru)