Oleh: Ria Febrina

Sangu

Minggu kemarin ada bazar di depan Perpustakaan UGM. Saya melihat ada beberapa tenda di sana. Di antaranya menjual makanan, minuman, dan tanaman. Salah satu tenda menarik perhatian saya karena nama merek yang dipakai. Tenda tersebut menjual kopi kemasan dengan merek Sangu Kopi. Kopi dijual dalam kemasan botol yang bisa dibuka berkali-kali. Sangat praktis untuk menjadi sangu atau bekal minuman di perjalanan.

Membaca kata sangu pada kemasan kopi tersebut, kemudian mengingatkan saya kepada Bulek kami yang tinggal di Pengging, Boyolali. Waktu pertama kali ke sana tahun 2021, saya dibekali sekantong plastik putih yang isinya beras, nasi, ayam goreng, aneka keripik, biskuit, dan buah.

“Buat sangu di jalan, Mbak,” ujar beliau yang melihat kami akan menempuh perjalanan dari Pengging ke Yogyakarta selama 2—3 jam. Beliau bekali kami dengan beberapa makanan di jalan.

Bulan kemarin saya juga pernah mengobrol dengan seorang teman. Waktu itu kami sedang membahas pekerjaan yang memberikan sejumlah uang sebagai honorarium atau ‘imbalan jasa; upah di luar gaji’. Teman saya pun berkata, “Alhamdulillah, untuk sangu pulang ya, Mbak”. Akhir tahun ini, insyaallah saya akan kembali ke Padang. Kata sangu ditujukan sebagai bekal buat saya sekeluarga agar bisa dipakai untuk transportasi dan jajan anak-anak di jalan.

Berada di lingkungan masyarakat Jawa tentu membuat saya hampir setiap saat menerima kosakata bahasa Jawa. Namun, beberapa kosakata terdengar tidak asing alias pernah saya dengar sebelum datang ke sini. Salah satunya adalah kata sangu ini. Karena ada yang mengucapkan kata sangu yang maknanya merujuk pada bekal (makanan dan minuman), serta juga ada yang mengucapkan kata sangu yang maknanya merujuk pada uang, saya pun membuka kamus-kamus yang memuat kata ini. Bagaimana kamus-kamus merekam penggunaan kata ini dalam masyarakat Indonesia?

P.J. Zoetmulder dan S. O. Robson (2006) dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia menjelaskan bahwa kata sangu berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu sau ‘apa yang dibawa dalam perjalanan (uang, makanan, dan lain-lain), bekal’. Itulah sebabnya, selama berada di Yogyakarta, saya mendengarkan kata sangu yang kadang-kadang merujuk makanan, kadang-kadang merujuk uang, disesuaikan dengan konteks pembicaraan saat itu.

Sementara itu, pada masa lalu, E. Soetan Harahap (1942) dalam Kamoes Indonesia menjelaskan bahwa sangu adalah ‘bekal didjalan; ia membawa sangoe oentoek doea hari, ia membawa bekal didjalan oentoek doea hari’. Dahulu orang-orang bepergian dengan transportasi darat dan laut. Kondisi jalanan tidak sebagus hari ini dan juga belum ada jalan tol. Perjalanan antarprovinsi, apalagi antarpulau bisa ditempuh berhari-hari. Itulah sebabnya, para kerabat dan anggota keluarga sering memberi sangu berupa makanan yang dapat menjadi bekal di jalan. Oleh karena itu, pada 1954, E. St. Harahap dalam Kamus Indonesia Ketjik menjelaskan secara spesifik bahwa sangu adalah ‘bekal, makanan didjalan’.

Saya jadi ingat dengan kebiasaan keluarga ayah dan ibu saya kala kami berkunjung ke kampung atau ke rumah mereka di kota lain. Saat kami akan pulang, mereka sudah menyiapkan kardus atau kantong plastik yang berisi beraneka makanan dan buah-buahan yang dapat menjadi bekal di jalan. Di dalam bus, kami membuka satu atau dua bungkus makanan tersebut. Lumayan untuk mengganjal perut sampai tiba di rumah makan ketika bus berhenti untuk beristirahat. Saya mencicipi makanan dan buah yang dibekali sembari menikmati pemandangan alam. Saya yakin hampir setiap keluarga di Indonesia kala itu mengalaminya.

Namun, Sutan Muhammad Zain (1952) dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia danW. J. S. Poerwadarminta (1951) dalam Logat Ketjil Bahasa Indonesia menjelaskan lebih lengkap bahwa sangu yang merupakan kosakata bahasa Djawa ini tidak hanya berupakan makanan. Sangu dapat bermakna uang sebagaimana tercantum dalam kamus bahwa sangu adalah ‘bekal untuk perdjalanan (makanan, uang)’. Sangu berupa uang ini dianggap praktis bagi sebagian orang karena orang-orang yang diberi sangu dapat membeli apa pun sesuai kebutuhan. Mereka juga tidak perlu membawa beban berlebih dalam perjalanan.

Saya jadi ingat suatu hari melakukan perjalanan dari Padang—Pekanbaru seorang diri. Saat itu saya masih SMA. Saya tinggal di Padang, sedangkan orang tua tinggal di Pekanbaru. Kami berpisah karena saya harus melanjutkan pendidikan di Kota Padang, sedangkan beliau harus hijrah ke Pekanbaru karena tuntutan ekonomi. Setiap satu semester, saya akan tiba di Pekanbaru. Kala pulang, saya akan dibekali orang tua makanan. Sementara itu, keluarga yang saya kunjungi akan memberi uang sebagai bekal di jalan.

“Buat jajan di jalan, beli es teh atau gorengan,” ujar mereka yang jumlah uangnya bisa menjadi bekal saya selama 1—2 minggu di Padang. Sebagai anak SMA, diberi bekal berupa uang ini tentu sangat membahagiakan. Setidaknya dalam 1—2 minggu ke depan, saya bisa sejahtera tanpa harus menghemat uang jajan.

Kini dalam KBBI Edisi VI, kata sangu sudah merujuk secara khusus kepada ‘uang’. Dalam KBBI Edisi VI, tercantum bahwa sangu adalah ‘bekal, biasanya berupa uang; sangon’. Artinya, sangon merupakan sinonim dari sangu. Namun, jika menelusuri KBBI Edisi VI lagi, makna sangu sudah dibedakan dengan sangon. Pembicaraan kita tentang bekal berupa makanan dan juga uang ternyata dijelaskan dalam KBBI Edisi VI  sebagai sangon. Sangon adalah ‘bekal untuk di perjalanan (seperti makanan dan minuman)’.

Jika ditelusuri bagaimana sangu dimaknai oleh masyarakat Indonesia, tampak bahwa sangu memuat nilai-nilai budaya. Terdapat hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak, kakek-nenek dan cucu, paman-bibi dan keponakan, kakak dan adik, hingga karib-kerabat. Sebagaimana falsafah Jawa yang diungkapkan oleh Sutan Muhammad Zain, mereka disangoni atau ‘dibekali atau diberi selamat-djalan (wiludjeng-kromo)’. Ada doa yang terselip dalam setiap perjalanan sanak-saudara. Doa agar mereka selamat dalam perjalanan. Untuk mengiringi keselamatan itu, mereka saling berbagi rezeki berupa makanan, minuman, dan uang.

Ketika saya duduk dan mencicipi kopi bermerek Sangu Kopi ini, saya juga bersyukur. Anak-anak muda yang kreatif di Yogyakarta tidak melupakan kosakata bahasa Jawa yang dimiliki. Mereka berbisnis dengan tetap mengembangkan kearifan lokal. Mereka mengenalkan tradisi masyarakat melalui kata sangu. Ketika ada yang membeli Sangu Kopi, tentu akan terlintas kenangan bersama orang-orang terdekat; kenangan bersilaturahmi dengan keluarga. Sebuah kata yang sangat bermakna dibandingkan nama-nama lain dari bahasa asing atau bahasa gaul yang kadang tidak memuat kearifan lokal.

*Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top