Oleh: Ria Febrina
Suatu pagi saya dan suami olahraga pagi. Kami jalan kaki melewati kompleks perumahan yang terdapat di Kota Yogyakarta. Area yang kami lewati adalah Wirobrajan. Wirobrajan merupakan salah satu kampung yang namanya diambil dari prajurit abdi dalem Keraton Yogyakarta. Wirobrajan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu wiro ‘berani’ dan braja ‘tajam’. Secara filosofis, wirobrajan dimaknai sebagai sosok prajurit yang pemberani dalam menghadapi musuh. Prajurit ini dikenal dengan penampilannya yang ikonik, menggunakan topi berbentuk cabai merah sehingga kemudian dikenal dengan pasukan lombok abang atau pasukan cabai merah.
Kami melewati area parkir mobil sebuah sekolah yang ada di kawasan ini. Tiba-tiba suami saya berkata, “ada ruku-ruku”. Ruku-ruku merupakan perdu yang batangnya bulat berbulu halus, daunnya menjorong dengan tepi bergerigi, perbungaannya malai berwarna keunguan, dapat digunakan sebagai rempah. Nama latinnya Ocimum tenuiflorum. Ruku-ruku ini menjadi perhatian kami karena selama tiga tahun di Yogyakarta, tanaman ini paling sulit ditemukan. Kami biasanya meminta kepada salah seorang teman yang menanam ruku-ruku di pekarangan rumahnya.
Orang Yogyakarta tidak mengenal tanaman ini. Mereka amat jarang memanfaatkan ruku-ruku. Karena tanaman ini berkerabat dengan daun kemangi, masyarakat Yogyakarta justru lebih banyak memanfaatkan daun kemangi daripada ruku-ruku. Daun kemangi dan ruku-ruku memiliki bentuk dan aroma yang mirip. Oleh karena itu, W. J. S. Poerwadarminta (1951) dalam Logat Ketjil Bahasa Indonesia menjelaskan ruku-ruku itu sebagai ‘kemangi’.
Di Yogyakarta, daun kemangi sangat mudah ditemukan ketika membeli pecel lele. Daun kemangi disajikan sebagai lalapan. Selain itu, daun kemangi juga ada yang diolah dalam masakan yang bernama rawon. Rawon merupakan masakan khas yang berasal dari Jawa Timur berupa sup daging berkuah hitam dengan campuran bumbu khas yang menggunakan keluak ‘buah pohon kepayang, bijinya direbus hingga masak dan diperam dalam abu selama satu bulan, biasa dipakai untuk bumbu masak rawon’. Makanan ini tidak hanya terkenal di Jawa Timur. Di Yogyakarta, kita sangat mudah menemukan makanan ini.
Sementara itu, bagi masyarakat Minangkabau, daun kemangi hanya dikenal sebagai lalapan yang juga ditemukan pada makanan pecel lele. Di beberapa tempat makan pecel lele di Kota Padang misalnya, tidak semua menyediakan daun kemangi. Kebanyakan masyarakat hanya memberikan lobak dan ketimun sebagai lalapan. Daun kemangi merupakan salah satu jenis lalapan yang dikenal masyarakat Sumatera Barat melalui makanan pecel lele yang dipopulerkan orang Jawa.
Kearifan lokal masyarakat Minangkabau justru tampak pada ruku-ruku. Tanaman ini merupakan salah satu rempah-rempah khas dari Minangkabau. Ruku-ruku digunakan untuk menghilangkan bau khas ikan pada beberapa masakan, seperti gulai kakap, asam padeh, singang ikan, pangek ikan mas, balado ikan, dan ikan bakar. Masyarakat Minangkabau memanfaatkan bagian daun tanaman ini dengan memasukkannya ke dalam aneka jenis makanan tadi.
Ketika saya dan suami mencoba resep masakan Minangkabau di Yogyakarta, seperti membuat gulai ikan dan asam padeh, makanan kami terasa berbeda ketika tidak dimasukkan ruku-ruku. Selain ruku-ruku, juga ada yang perlu kami tambahkan, yakni asam tunjuk atau belimbing wuluh. Ruku-ruku, belimbing wuluh, dan asam kandis merupakan bahan masakan yang awal-awal sangat sulit ditemukan di Yogyakarta. Namun, setelah berkeliling ke beberapa pasar tradisional, seperti Pasar Legi, Pasar Serangan, Pasar Keranggan, dan Pasar Beringharjo, kami menemukan tempat membeli belimbing wuluh dan asam kandis di Pasar Beringharjo. Sementara itu, daun ruku-ruku memang tidak pernah dijual di pasar-pasar tersebut.
Setelah kami menemukan ruku-ruku di area parkir sekolah—yang merupakan area parkir anak sekolah kami—kami tertawa meringis. Sudah pusing tujuh keliling mencari bahan masakan ini, ternyata tanaman ini ada di sekitar kami. Selain area parkir ini, memang sangat sulit menemukan ruku-ruku di Yogyakarta. Ketika saya bertanya kepada salah seorang teman yang merupakan asli masyarakat Yogyakarta, ruku-ruku memang tidak ditanam di pekarangan rumah. Ketika kami menemukan tanaman itu, tanaman ruku-ruku tersebut merupakan tanaman liar yang tumbuh terbatas di Yogyakarta. Artinya, kami beruntung menemukan tanaman tersebut.
Karena penasaran dengan tanaman ini, saya pun menelusuri lebih lanjut. Ternyata ruku-ruku sudah menjadi kajian dalam etnobotani tumbuhan dan rempah-rempah asli Indonesia. Masyarakat tertentu di Indonesia menggunakan dan mengelola tanaman ini sebagai bumbu masakan, seperti olahan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Selain itu, sekelompok masyarakat lainnya juga ada yang menggunakan tanaman ini sebagai obat-obatan tradisional.
Daun ruku-ruku dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pengobatan tradisional dengan cara merebus dan meminum air rebusan. Daun tersebut diyakini masyarakat berkhasiat mengobati demam, masuk angin, obat mata, mencegah terjadinya radang mulut, sakit gigi, sariawan, mengobati batuk, menjaga kesehatan organ reproduksi wanita, menambah dan melancarkan produksi air susu ibu, mencegah datangnya menopouse, mencegah keputihan, menghilangkan jamur penyebab keputihan, mencegah komedo dan jerawat, mencegah kerontokan, mencegah stroke, dan menyehatkan jantung. Meskipun demikian, khasiat tersebut tidak dianjurkan untuk ibu hamil, orang-orang yang mengkonsumi obat antikoagulasi, dan orang-orang yang menjalani tindakan operasi.
Karena banyaknya khasiat yang dihasilkan dari ruku-ruku, saya pun melirik kamus-kamus bahasa Indonesia. Sutan Mohammad Zain (1951) dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia telah mencantumkan ruku-ruku dengan lema ruku yang bermakna ‘sedjenis tanam-tanaman jang harum bau daunnja dan bunganja; sebab itu dipakai djadi bumbu untuk mengharumkan gulai, lebih-lebih untuk menghilangkan anjir ikan’. Definisi ini hadir barangkali karena Sutan Muhammad Zain merupakan kelahiran Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ia merupakan orang Minangkabau yang tumbuh dengan menikmati oalahan masakan menggunakan ruku-ruku.
Sementara itu, hasil penelitian pakar etnobotani tadi ternyata sudah dirangkum oleh E. Soetan Harahap (1942) dalam kamus yang berjudul Kamoes Indonesia. Dalam kamus tersebut, roekoe-roekoe dijelaskan sebagai ‘sebangsa rempah-rempah, djenisnja: roekoe-roekoe atau selasih kemangi, daoennja dipakai mengharoemkan nasi, obat sakit kepala dan loeka’. Bahkan, E. Soetan Harahap sudah membedakan jenis ruku-ruku dengan roekoe-roekoe putih dan roekoe-roekoe merah; serta roekoe-roekoe hoetan atau koetjing-koetjing. Dengan demikian, sejumlah riset yang dilakukan oleh para peneliti pada hari ini menjadi bukti kuat bahwa ruku-ruku merupakan salah satu rempah-rempah asli Indonesia yang sejak dulu berkhasiat sebagai obat-obatan.
Ruku-ruku sebagai salah satu jenis rempah-rempah Indonesia perlu dilestarikan. Dalam kajian ekolinguistik, sejumlah pakar menjelaskan bahwa sejumlah leksikon tentang tanaman yang menjadi kearifan lokal masyarakat Indonesia mulai menghilang. Kehilangan leksikon tersebut terjadi karena masyarakat tidak lagi menggunakan dan membudidayakan tanaman-tanaman tersebut. Kisahnya mirip dengan yang saya alami, bermula dari betapa sulitnya menemukan tanaman ini.
*Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada