Oleh: Ria Febrina

 LipitSelama ini kita mengenal kata lipat yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna ‘patah dua sehingga bidangnya menjadi seperdua (tentang kertas, kain, dan sebagainya)’. Namun, siapa sangka bahwa bahasa Indonesia memiliki kosakata yang menjelaskan lipatan yang lebih kecil, tidak hanya seperdua sebagaimana kata lipat.

Seperti permainan bunyi, namanya bukan lipat, tetapi lipit. Kita bisa membayangkan rok seragam yang mempunyai lipit di bagian depan atau baju sekolah yang kadang-kadang mempunyai satu lipit atau dua lipit di bagian belakang. Kebanyakan orang masih menyebutnya dengan lipat. Namun, bahasa Indonesia memiliki kosakata khusus, yaitu lipit.

 Dalam kamus-kamus bahasa Indonesia, kata ini sudah ada sejak tahun 1940-an. Dalam Kamoes Indonesia susunan E. Soetan Harahap (1942), kata lipit bermakna ‘lipatan ketjil’. Sutan Mohammad Zain dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1951) merinci bahwa lipit adalah ‘kerut atau lipat jang ketjil pada pakaian atau kertas’. Poerwadarminta (1951) dalam Logat Ketjil Bahasa Indonesia juga mendefinisikan bahwa lipit adalah ‘lipat pada tepi kain dsb’. Kata lipit ini dahulu sekali dipakai pada kalimat “badjoenja berlipit bagoes, badjoenja berkelim’.

Generasi hingga 1980-an pasti pernah mengalami fenomena per-lipit-an ini. Pada tahun 1990-an, setrika listrik belum marak. Setrika yang paling populer itu adalah setrika arang. Arang ditaruh di dalam badan setrika, lalu dipakai untuk melicinkan pakaian. Baju yang ada lipit, pasti disetrika dengan sangat hati-hati dan pelan sekali. Menyetrika lipit pada baju juga harus mengikuti lipit sebelumnya. Tidak boleh ada bayangan lipit kecil di atas lipit aslinya, yaitu lipit yang disediakan oleh para penjahit.

Jika menyetrika tidak pada lipit yang sama, anak-anak generasi 1980-an ini akan patah hati karena diomeli dan dimarahi orang tua. Bagi orang tua, lipit ini menjadi bagian paling penting dalam penampilan. Hampir semua orang ingin tampil cantik dan gagah dengan setrika baju yang rapi pada setiap bagian lipitnya. Oleh karena itulah, dalam kamus bahasa Indonesia sebelum KBBI ada contoh kalimat “Bajunya berlipit bagus, bajunya berkelim”.

Tidak hanya kata lipit, dari contoh kalimat, kita disuguhkan kata kelim. Sebuah kata yang bersinonim dengan lipit. Dalam Kamus Indonesia Ketjik, Poerwadarminta (1952), kelim bermakna ‘pelipit; lipatan djahitan ditepi kain (lajar dsb). Sementara itu, dalam Kamus Indonesia Ketjik, E. St. Harahap (1954) menjelaskan bahwa kelim adalah ‘lipatan pada pinggir, jang didjahit  supaja djangan mudah robek’. Kata lipit dan kelim barangkali termasuk kata yang mulai jarang dipakai pada hari ini, apalagi bagi generasi z atau generasi yang lahir tahun 1997 hingga tahun 2000-an.

Meskipun demikian, desain pakaian berlipit yang populer pada masa lampau sekarang kembali marak, baik pada celana maupun pada baju. Celana kulot misalnya, merupakan jenis pakaian yang mengandalkan lipit. Sekeliling celana memang didesain berdasarkan lipit. Ada yang lipitnya berjarak kecil, ada yang lipitnya berjarak besar. Beda jarak lipit pada pakaian kemudian menjadikannya beda motif. Kita bisa memilih sesuai keinginan. Lipit ini akan memberikan kesan nyaman bagi pengguna karena longgar dipakai dan bisa menjadikan bentuk tubuh seseorang menjadi berisi.

Baju berlipit juga banyak pada hari ini. Salah satunya adalah baju berlipit mati di bagian depan. Lipit jenis ini hanyalah motif. Lipit mati tidak akan memberikan ruang tambah bagi pemakainya. Hal ini tentu berbeda dengan lipit pada kulot. Siapa pun yang mengenakan kulot, lipitnya akan menyesuaikan bentuk tubuh pengguna. Ruang yang ada di antara lipit bisa membuat nyaman, baik pengguna yang bertubuh kurus maupun pengguna yang bertubuh gemuk.

Baju dengan lipit mati ini memang salah satu istilah yang dipakai untuk membedakan jenis lipit yang satu dengan yang lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (2008), ada banyak jenis lipit. Pertama, ada lipit akordeon yang bermakna ‘sederet lipit tegak lurus dengan lebar sepanjang kain’. Lipit ini yang kita lihat pada celana kulot.

Kedua, ada lipit balik yang bermakna ‘dua lipit yang dibuat berhadapan yang dipertemukan pada bagian depan bahan sedemikian rupa sehingga membentuk rongga di tengahnya’. Lipit ini yang tadi dijelaskan ada pada rok seragam abu-abu atau rok siswa SMA.

Ketiga, ada lipit pisau yang bermakna ‘lipit yang dibuat secara vertikal, menghadap ke satu arah dengan lebar yang sama’. Kita bisa membedakannya dengan celana kulot. Pada celana kulot, lipit berada di sekeliling tubuh. Untuk lipit pisau, lipit hanya berada pada satu sisi saja, seperti pada bagian depan saja.

Selanjutnya, ada lipit setik atas dan lipit tumpuk. Lipit setik atas merupakan ‘lipit yang merupakan perpanjangan setik hias pada bagian luar bahan’, sedangkan lipit tumpuk merupakan ‘lipit yang dibuat di sisi belakang rok yang dipotong lurus untuk memberikan keleluasaan bergerak’. Beberapa perempuan yang mengenakan seragam sering memakai lipit tumpuk ini agar bebas bergerak di kantor.

Tak hanya kelima jenis lipit tersebut, ada lagi tambahan jenis lipit yang masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (2018). Jenis lipit tersebut secara spesifik malah diberi label Tbs atau Tata Busana. Lipit yang dimaksud adalah lipit akordion yang bermakna ‘lipit-lipit yang dibuat membentuk kipas atau alat musik akordeon’; lipit hadap yang bermakna ‘lipit yang kedua lipitannya saling berhadapan atau bertemu’; lipit kotak yang bermakna ‘lipit yang terbentuk dari dua lipatan yang saling bertemu di dalam atau di bawah lipatan (kebalikan lipit hadap); lipit sungkup’; lipit kup yang bermakna ‘bagian dari baju berupa lipit yang dijahit, berfungsi membentuk dan memberi ruang pada bagian dan memperkecil bagian lain; kupnat’; lipit pipih yang bermakna ‘lipit lurus, pipih, tajam, berjajar menghadap ke arah yang sama’; lipit sungkup yang bermakna ‘lipit kotak’; dan lipit tindas yang bermakna ‘lipit kecil berjajar, berfungsi sebagai hiasan pada pakaian’.

Jika ditanya satu per satu, pasti tidak banyak yang mengetahui jenis lipit ini. Lalu, mengapa kosakata tersebut terangkum dalam kamus? Hal tersebut tak lepas dari peran para perempuan pada masa lampau yang menjadikan menjahit sebagai sebuah keterampilan yang wajib dikuasai di samping memasak. Bahkan, salah seorang tokoh perempuan Indonesia, Rohana Kudus menyuarakan agar kaum perempuan tekun menjahit.

“Sajang sadja kepandaian kita itoe tidak dimadjoekan teroes dan tidak dihematkan soepaja kian bertambah haloes, sebab bila ia dimadjoekan, tentoe akan dapat mendjadi mata pentjaharian bagi kaoem iboe”

Dalam catatan yang ditulis oleh Bandung Mawardi (2018) yang berjudul “Teringat Penjahit, Terceritakan Indonesia”, memang dikisahkan bahwa Rohana Kudus merupakan tokoh yang paling emansipatif menyuarakan hak kaum perempuan melalui ketekunan menjahit. Rohana Kudus sebagai perempuan asal  Minangkabau ini menyuarakan agar para perempuan pandai menjahit dan mewariskan keahlian ini secara turun-temurun. Hal itu demi kehormatan para perempuan, sekaligus untuk mencari nafkah. Itulah sebabnya pada tahun 1942, Rohana Kudus mendirikan sekolah tangan agar kaum perempuan semakin rajin menjahit.

Namun, keterampilan menjahit tak semata-mata hilang begitu saja. Justru keterampilan menjahit kini menjadi keahlian yang menarik perhatian anak muda. Ada yang menjadikannya bisnis lokal bertaraf internasional. Lihatlah Ria Miranda dan Dian Pelangi. Mereka merupakan dua orang tokoh penggerak dunia fashion Indonesia. Merekalah yang melanjutkan perjuangan Rohana Kudus di bidang ini. Meskipun tidak menjahit dalam artian konvensional, yakni ‘melekatkan (menyambung dan sebagainya) dengan jarum dan benang’, mereka memiliki desain pakaian yang paling disukai oleh para perempuan, baik yang muda maupun yang tua.

Lipit ternyata tak sekadar sebuah kata. Di balik kata lipit, ternyata ada perjuangan para perempuan dalam menciptakan desain pakaian yang paling bagus. Sebuah desain yang membuat seseorang bisa tampil gagah dan cantik di depan podium.

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

 

 

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top