Oleh: Ria Febrina

Langgar

Suatu hari di beranda Tiktok saya mampir sebuah video yang menyorot rumah kelahiran K.H. Ahmad Dahlan. Letaknya dekat dari rumah saya. Rumah K.H. Ahmad Dahlan terletak di Kampung Kauman, Yogyakarta.  Lokasinya berdekatan dengan Masjid Gedhe Kauman Karaton Ngayogyakarta yang terletak di dekat Alun-alun Utara. Rasanya sedih sekali jika tidak mampir. Oleh karena itu, pada suatu pagi, saat saya berolahraga, jalan kaki dari rumah ke Pura Pakualaman, saya pun mampir ke Kampung Kauman.

Saya tidak mengetahui lokasi rumah K.H. Ahmad Dahlan sehingga ketika masuk dari gerbang Kauman, yang terletak di seberang RS PKU Muhammadiyah di Jalan K.H. Ahmad Dahlan, saya memperhatikan satu per satu tulisan dan juga bentuk bangunan yang mirip dengan video yang saya tonton. Ketika berjalan di gang kecil di Kampung Kauman tersebut, saya malah gagal fokus pada sebuah tulisan di depan sebuah rumah. Ada sebuah rumah dengan plang merek langgar.

Kata langgar mengingatkan saya pada tahun 1990-an ketika saya masih kecil. Kata langgar merupakan salah satu kata yang menarik bagi saya saat itu. Nenek dan orang tua perempuan saya merupakan pedagang di Pasar Batusangkar. Kalau tiba masa salat, kami akan pergi ke langgar. Langgar terletak di Kampung Cina, tidak jauh dari pasar. Saya sangat suka ke sana karena bangunannya termasuk bangunan kuno khas Belanda. Di sana tidak ada toilet. Hanya ada sumur besar dengan halaman yang luas. Di sana para ibu ramai-ramai mengambil wudu. Air di sumur itu sangat jernih. Menimba air sumur tentu saja menjadi kesenangan bagi saya yang masih kecil kala itu.

Setelah berwudu, kami akan naik ke sebuah rumah batu yang tinggi.  Ada beberapa tangga yang harus dinaiki sebelum sampai ke ruang utama yang menjadi tempat salat. Bangunan yang mirip rumah itulah yang menjadi langgar, tempat salat bagi orang-orang yang tengah berada di Pasar Batusangkar. Hingga hari ini tempat tersebut masih menjadi tempat salat bagi masyarakat di sekitar pasar, namun saya sudah lama tidak mampir ke sana. Kata langgar sebenarnya juga tidak tercantum di tempat tersebut. Kata langgar justru dipakai oleh nenek saya ketika hendak salat ke sana. “Ke langgar dulu, sumbayang,” ujarnya setiap kali masuk waktu salat.

Kini ketika melewati sebuah tempat yang bernama langgar, saya berhenti sejenak mengingat kenangan masa kecil tersebut. Namun, ada yang berbeda yang menarik perhatian saya. Ketika melihat kata langgar, saya melihat ada nama orang lain setelah kata itu. Namun, saya sudah melangkah agak jauh sehingga agak enggan kembali ke belakang. Saya terus melangkah dan kembali fokus pada tujuan, mencari rumah K.H. Ahmad Dahlan. Tidak jauh jaraknya, hanya sekitar 20 rumah, saya menemukan sebuah gang yang diberi nama Gang Langgar Adzakirin. Kali ini saya tidak mau melewatkan begitu saja, saya pun mengambil handphone dan memotret nama gang tersebut.

Setelah mengambil gambar, saya pun terus melangkah dan kemudian menemukan makam Nyai Achmad Dahlan yang terletak di sebelah selatan Masjid Gedhe Kauman. Saya pun mengira-ngira rumah K.H. Ahmad Dahlan semakin dekat. Saya terus berjalan hingga akhirnya menemukan sebuah plang merek yang sudah berkarat dengan nama Langgar Kidoel (KH Ahmad Dahlan).

Sejak melihat video yang lewat di beranda media sosial, saya belum sempat mencari lebih lanjut tentang rumah kelahiran K.H. Ahmad Dahlan. Saya bertanya kepada diri sendiri. Apakah saya salah melihat video? Sepertinya bukan rumah kelahiran K.H. Ahmad Dahlan, melainkan Langgar K.H. Ahmad Dahlan. Namun, saya masih ingat bahwa potongan video menunjukkan bagian depan rumah dan di dalamnya terdapat koleksi foto K.H. Ahmad Dahlan. Karena ragu, saya pun tidak mampir. Saya terus lanjut melangkah menuju rumah.

Karena belum sempat mampir, saya menjadi penasaran. Setiba di rumah saya mencari informasi-informasi penting terkait hal tersebut. Ternyata Kampung Kauman memang merupakan tempat kelahiran K.H. Ahmad Dahlan. Di depan Langgar  K.H. Ahmad Dahlan itulah rumah K.H. Ahmad Dahlan berdiri. Sayangnya, saya tidak mengikuti kata hati untuk mampir ke langgar tersebut. Jika saya masuk, tentu saya bisa sekaligus mampir untuk menyaksikan rumah K.H. Ahmad Dahlan dan langgar miliknya.

Meskipun demikian, kini yang menarik perhatian saya adalah langgar yang berada di depan rumah K.H. Ahmad Dahlan. Di Pulau Jawa, kehadiran sebuah langgar ternyata berkenaan dengan pemuka agama atau kiai di daerah tersebut. Seorang pemuka agama akan mengorbankan lahan miliknya menjadi sebuah langgar. Langgar tersebut biasanya berada persis di depan rumah kiai tersebut. Di langgar itulah, aktivitas keagamaan dilaksanakan bersama dengan jemaah langgar. Jemaah langgar bukan hanya orang-orang yang mampir salat, seperti orang-orang yang mampir salat di musala/masjid saat ini. Jemaah langgar merupakan masyakarat yang secara kultural bersama-sama melaksanakan aktivitas sosial, religius, dan kebudayaan di sana.

Di Langgar Kidoel K.H. Ahmad Dahlan tersebut, masyarakat sekitar melaksanakan kegiatan keagamaan dan kebudayaan di langgar tersebut di bawah bimbingan K.H. Ahmad Dahlan. Sementara itu, di langgar-langgar terdekat lainnya, masyarakat juga melaksanakan kegiatan keagamaan mengikuti bimbingan dari kiai dan pemuka agama yang mendirikan langgar tersebut. Kholid Mawardi (2014) melalui penelitiannya yang berjudul “Langgar: Institusi Kultural Muslim Pedesaan Jawa” menjelaskan bahwa langgar di Pulau Jawa didirikan secara perorangan sehingga nama langgar merujuk pada kiai pemilik langgar. Di beberapa tempat, langgar bahkan menjadi cikal-bakal sebuah pesantren, seperti Langgar Kiai Hasyim yang kemudian menjadi pesantren Tebuireng Jombang, langgar Kiai Munawir yang menjadi pesantren Krapyak Yogyakarta, dan langgar Kiai Qadir menjadi pesantren Tanjung Sleman.

Di Kampung Kauman, memang banyak sekali langgar karena pada masa dahulu, Kauman merupakan salah satu wilayah syiar agama Islam yang cukup tua. Jejak kejayaan Islam tampak di kampung ini melalui banyaknya rumah ibadah, seperti langgar yang tersebar di gang-gang sempit Kampung Kauman. Selain itu, dulu di Kampung Kauman juga banyak pondok pesantren meskipun kini hanya beberapa yang tersisa. Itulah mengapa sejak masuk gerbang Kauman, saya menemukan banyak langgar di daerah ini.

Melihat plang merek yang masih menggunakan kata langgar, serta penelitian-penelitian terdahulu yang mengkaji sejarah langgar di Pulau Jawa, saya pun penasaran asal-usul kata ini. Dulu saya menerima kata langgar sebagai kosakata yang tumbuh dalam bahasa Minangkabau. Namun, ketika saya membuka kamus-kamus bahasa Indonesia sebelum KBBI, serta penelitian-penelitian terkait keberadaan langgar di Pulau Jawa, saya menemukan etimologi bahwa kata langgar merupakan kosakata yang berasal dari bahasa Jawa.

Soetan Mohammad Zain (1951) dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kata langgar merupakan kosakata bahasa Jawa yang bermakna ‘surau, madrasah; di langgar orang sembahjang, beladjar mengadji, mendengarkan tablig d.s.b., tetapi tidak boleh sembahjang djumat, itu harus dilakukan dimesdjid’. W. J. S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain (1994) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia juga mengungkapkan bahwa kata langgar berasal dari bahasa Jawa. Langgar merupakan ‘surau, mesjid kecil yang tidak dipakai untuk salat Jumat; di langgar orang salat, belajar mengaji, mendengarkan ceramah keagamaan’.

Bagaimana konsep sebuah langgar? Kholid Mawardi (2014) menjelaskan bahwa sebuah langgar memiliki bangunan, pemilik, kiai, dan jemaah. Sebagai sebuah bangunan, langgar merupakan bangunan kecil yang terdiri atas tiga bagian, yaitu pengimaman, induk ruangan, dan serambi. Di serambi biasanya terletak kentungan atau beduk yang dibunyikan ketika masuk waktu salat.

Dalam penelitian Kholid Mawardi (2014) tentang “Langgar: Institusi Kultural Muslim Pedesaan Jawa” dan juga Pradjarta Dirdjosanjoto (1999) tentang “Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai Langgar di  Jawa”, dijelaskan bahwa arsitektur langgar di Jawa sangat beragam. Ada empat jenis langgar, yaitu (1) langgar tropo atau langgar angkringan, (2) langgar gedong, (3) langgar cungkup atau langgar tajug, dan(4) langgar meru. Langgar tropo atau langgar angkringan berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu. Luas langgar sekitar 5×7 meter persegi dengan tinggi lantai sekitar satu meter dari tanah. Langgar gedong merupakan renovasi dari langgar tropo dengan bentuk bangunan tidak lagi rumah panggung dan juga sudah berpondasi batu. Langgar cungkup atau langgar tajug merupakan langgar dengan atap berbentuk cungkup lancip dan sudah menggunakan genting. Langgar cungkup sudah dilengkapi dengan padasan ‘tempat bersuci’ yang berupa sumur, blandong ‘pancuran’, dan blumbang ‘kolam’. Langgar cungkup juga dilengkapi dengan kentongan dan beduk. Sementara itu, langgar meru merupakan langgar dengan model atap langgar bersusun tiga sebagaimana model atap masjid agung Demak. Bangunan langgar sudah permanen dengan atap genting  dan ruangan langgar sudah dihiasi dengan banyak ornamen dan kaligrafi.

Membaca riwayat langgar di Pulau Jawa tersebut menjadi alasan mengapa saya mengingat dengan jelas sebuah tempat yang disebut langgar di kampung saya. Langgar yang dikenalkan nenek dan orang tua perempuan saya merupakan sebuah bangunan yang termasuk ke dalam langgar cungkup. Namun, bangunan tersebut bukanlah langgar sebagaimana langgar yang ada di Pulau Jawa. Bangunan tersebut merupakan rumah masyarakat yang sudah ada sejak zaman Belanda, yang kemudian dipakai sebagai tempat beribadah. Saya masih ingat bahwa setiap ke sana kami membawa uang sebagai infak yang diberikan kepada pengelola. Jumlahnya bebas karena nanti di pintu keluar sumur, kita akan menemukan kotak infak model lama yang terbuat dari plat besi dan memiliki gagang untuk dipegang.

Menemukan plang merek langgar dari tempat asalnya membuat saya ingin menelusuri langgar-langgar yang ada di Kampung Kauman ini, khususnya singgah ke Langgar K.H. Ahmad Dahlan dan rumah kediaman beliau pada masa lampau. Apalagi, Langgar Kidoel K.H. Ahmad Dahlan pernah dihancurkan karena K.H. Ahmad Dahlan membawa gagasan anyar pada saat itu yang belum bisa diterima secara kultur tradisional oleh masyarakat Islam yang ada di Yogyakarta.

K.H. Ahmad Dahlan melakukan pendekatan baru dalam menentukan arah kiblat. Kala itu arah kiblat berbanding lurus dengan lokasi Ka’Bah atau lurus ke barat segaris dengan Benua Afrika. K.H. Ahmad Dahlan yang pulang dari Makkah menjelaskan bahwa arah kiblat Masjid Gedhe Kauman kala itu tidak tepat. K.H. Ahmad Dahlan menganjurkan bahwa arah kiblat yang benar mengarah ke Masjidil Haram yang condong ke barat laut lebih 23 derajat. Karena saat itu masyarakat belum menerima modernisasi, para pemuka agama yang lebih senior dan para pejabat keagamaan di Keraton Yogyakarta menolak gagasan tersebut. Salah seorang yang menolak adalah Kepala Penghulu Keraton, Cholil Kamaludiningrat. K.H. Ahmad Dahlan dituduh melunturkan kewibawaan Kesultanan Yogyakarta dan kewibawaan Masjid Gedhe Kauman. Itulah mengapa kemudian Langgar Kidoel dirobohkan. Menurut Imron Mustofa dalam buku K.H. Ahmad Dahlan: Si Penyantun (2018), perobohan dilakukan pada hari ke-15 Ramadan 1316 Hijriah oleh serombongan pria tak dikenal yang membawa beraneka alat tani, seperti linggis, kapak, cangkul, hingga sabit.

Meskipun sampai saat ini saya belum sempat mampir ke Langgar K.H. Ahmad Dahlan, saya merasakan sudah berkeliling secara historis ke langgar-langgar yang ada di Pulau Jawa, khususnya Langgar Kidoel K.H. Ahmad Dahlan. Berkunjung setelah membaca sejarah membuat saya nanti dapat merasakan ruh sejarah yang ada di tiap sudut langgar, setiap sudut rumah, dan setiap sudut jalan-jalan yang ada di Kauman.

*Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Bagikan tulisan ini:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top