Oleh: Ria Febrina

 

KlangenanDi Pasar Seni Gabusan, Yogyakarta, selama satu minggu kemarin diadakan Festival Klangenan. Di daerah yang tumbuh bahasa Jawa ini, penggunaan kata klangenan tentu menunjukkan hal yang baik karena masyarakat masih mencintai bahasa dan budaya yang dimiliki. Namun, bagi orang-orang yang bukan masyarakat Jawa, kata klangenan tentu menjadi pertanyaan. Apa makna kata ini?

Siapa sangka bahwa ternyata ketika saya mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata klangenan yang berasal dari bahwa Jawa ini sudah menjadi kata dalam bahasa Indonesia. Klangenan didefinisikan sebagai ‘sesuatu yang menjadi kesenangan (kegemaran, kesukaan)’. Bahkan, ketika saya telusuri KBBI edisi lainnya, kata ini sudah lebih awal masuk dalam KBBI Edisi III atau sudah sejak 20 tahun lalu.

Meskipun sudah lama ada dalam kosakata bahasa Indonesia, kata klangenan termasuk ke dalam kata yang tidak produktif digunakan. Kata yang diserap ini tidak seperti kosakata bahasa daerah lainnya yang juga digunakan secara aktif oleh semua pengguna, seperti kata gadang ‘besar’ (Minangkabau) dalam kata digadang-gadangkan atau punten ‘permisi, maaf’ (Sunda).

Ketika ditelusuri pemakaian kata ini dalam masyarakat Jawa, ternyata ada hal menarik yang perlu kita ketahui. Salah satunya dapat dilihat dari contoh lema yang dicantumkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam KBBI. Kata klangenan dipakai untuk kalimat, “Kakek memiliki klangenan sepasang perkutut”. Penggunaan kata klangenan dan kata perkutut ini memuat sebuah kisah mengenai tradisi yang khas bagi masyarakat Jawa.

Perkutut bagi masyarakat Jawa merupakan simbol status sosial. Masyarakat Jawa tempo dulu yang mempunyai status sosial tinggi akan mewajibkan dirinya untuk memiliki burung perkutut. Sangkar perkutut pun harus berbeda dengan sangkar burung lain dan digantung pada tiang yang tinggi sebagai simbol derajat yang lebih.

Pandu Hidayat (2020) dalam “Burung Perkutut dan Ketenangan Batin Orang Jawa” menjelaskan bahwa seorang laki-laki Jawa dianggap sukses jika memiliki istri (wanita), rumah (wisma), keris (curiga), kendaraan (turangga), dan juga burung (kukila). Kelima hal tersebut merupakan lambang kesuksesan laki-laki Jawa. Memiliki perkutut menjadi simbol ketenangan diri bagi laki-laki Jawa karena mereka sudah sukses pada empat bagian lain, yakni sudah memiliki istri, rumah, keris, dan kendaraan. Perkutut ini menjadi lambang kesuksesan karena ketika seorang laki-laki Jawa memilikinya, mereka harus rela mengeluarkan banyak uang untuk menyediakan sangkar, makanan, dan juga merawatnya.

Waktu yang kian berlalu pun menyebabkan perkutut tidak lagi sebagai simbol kesuksesan semata, tetapi menjadi klangenan atau simbol keindahan. Ardyan M. Erlangga (2012) dalam “Mengembalikan Esensi Klangenan” menjelaskan bahwa klangenan berasal dari kata langen yang hulunya berasal dari Kawi Kuno lango yang bermakna ‘indah atau keindahan’. Klangenan pun dimaknai dengan keindahan yang sengaja diciptakan untuk memuaskan perasaan pada waktu tertentu.

Dulu sekali hanya lelaki priyayi Jawa yang boleh menikmati ini. Lalu, perkembangan zaman menunjukkan bahwa kini banyak laki-laki Jawa yang kemudian menjadikan burung sebagai klangenan atau kegemaran dan kesukaan. Barangkali karena itulah Mas Karyo dalam Film Si Doel Anak Sekolahan dihadirkan untuk merepresentasikan seorang laki-laki yang berlatar budaya Jawa yang masih memelihara burung sebagai simbol klangenan orang Jawa meskipun berada di ibu kota Jakarta.

Kata klangenan pada hari ini tentu tidak lagi terbatas pada memelihara burung untuk menciptakan keindahan dan ketenangan atau kemudian menjadi hobi atau kegemaran. Banyak benda atau kegiatan lain yang mampu menghadirkan keindahan atau kegemaran bagi seseorang. Dalam Festival Klangenan ini, keindahan dan kegemaran itu dihadirkan dengan membuka kembali kenangan dari masa lampau.

Di festival ini, disajikan makanan, mainan (enggrang, ketapel, gangsing), tari, musik, dan benda koleksi tradisional Jawa. Bagi masyarakat Jawa, menikmati kembali kenangan ini memberi ketenangan tersendiri. Juga memiliki kembali barang-barang yang populer pada masa lampau tentunya menjadi kegemaran tersendiri.

Di Pulau Jawa, khususnya di Yogyakarta, saya melihat bahwa upaya untuk mempertahankan tradisi dan budaya Jawa ini tak henti-henti dilakukan setiap waktu. Hampir setiap bulan ada kegiatan tematik yang menyajikan segala hal yang berhubungan dengan bahasa dan budaya Jawa. Di tengah hiruk-pikuk perkembangan teknologi, di tengah-tengah tumbuhnya virus gadget bagi generasi muda, memang upaya ini sepatutnya dilakukan agar masyarakat terus ingat bahasa dan budaya yang dimiliki. Saya pikir tidak hanya di Pulau Jawa, di daerah lain di Indonesia, gadget dan media sosial sudah digunakan untuk mempopulerkan kembali budaya yang ada.

Mengenal kata klangenan ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia terus berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut salah satunya berasal dari proses menyerap kata dari bahasa daerah. Adanya aktivitas yang dilakukan masyarakat kelompok tertentu—dalam hal ini masyarakat Jawa sebagai masyarakat dengan populasi terbesar di Indonesia, menyebabkan kata klangenan ini diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan ini dilakukan dengan harapan agar masyarakat juga menggunakan kata ini secara aktif. Jangan sampai kata ini diserap dan kemudian hanya menjadi dokumentasi dalam kamus atau hanya menambah kosakata bahasa Indonesia saja.

Penyerapan kata ini juga menjadi pengingat bahwa kita memiliki bahasa dan budaya yang patut dilestarikan dan diwariskan. Memilih satu benda atau satu kegiatan, lalu menjadikannya rutinitas akan menjadi klangenan atau kegemaran yang akan terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top