Oleh: Ria Febrina

Keretek

“Dulu, di Kudus ada Pak Haji Jamari. Dia hidup tahun 1880-an …,” Dasiyah mendengarkan Soeraja mendongeng tentang kretek. Bagaimana lelaki yang bernama Jamari itu sesak nafas, dan mencari cara memasukkan wur (cengkeh) ke paru-parunya. Dia pun merajang cengkeh dan mencampurkannya dengan tembakau rajang yang lalu dilintingnya dengan klobot. Ketika api menyulut dan menghabiskan batang lintingan itu, terdengar suara keretek-keretek akibat terbakarnya cengkeh rajangan. Itulah asal mula kretek.

(Ratih Kumala dalam Gadis Kretek, 2023: 179)

Dalam paragraf ini, kita bisa menikmati betapa ciamik Ratih Kumala mendeskripsikan asal-mula kata keretek. Keretek merupakan onomatope dari suara api yang membakar batang lintingan klobot yang berisi cengkih dan tembakau rajang. Deskripsi ini dapat membawa imajinasi kita pada kejadian sebenarnya. Sebuah deskripsi yang memang menjadi kekuatan kata-kata dalam karya sastra jika dibandingkan dengan definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI Edisi VI (2023), kata keretek hanya tercatat sebagai ‘tiruan bunyi daun terbakar’.

Jika tidak membaca deskripsi Ratih Kumala, tentu kita tidak bisa memaknai keretek dengan cara yang berbeda. Itulah mengapa kata keretek menjadi topik menarik yang diulas kali ini seiring sedang berlangsungnya film Gadis Kretek dan juga populernya novel yang ditulis Ratih Kumala ini hingga tahun 2023 dicetak empat kali oleh Gramedia (Februari, Juni, Agustus, dan November). Bahkan, halaman sampul terbaru menampilkan wajah pemeran utama, Dasiyah yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo dengan tambahan sebuah lingkaran merah berinisial N yang bermakna serial Netflix. Netflix merupakan salah satu layanan streaming yang dapat dinikmati untuk menonton berbagai acara TV, film, anime, dan dokumenter melalui perangkat yang terhubung ke internet.

Bagi teman-teman yang aktif di media sosial, pasti sudah mulai hafal dengan potongan-potongan  film yang dipromosikan agar kita segera melancong ke sana. Bahkan, beberapa orang sampai rela berlangganan sementara untuk menikmati film ini. Namun, bagi saya, tidak akan nikmat rasanya langsung menonton filmnya. Saya memilih membaca novel yang ditulis oleh Ratih Kumala ini untuk menerima tawaran deskripsi yang ciamik tentang kisah seorang gadis yang mampu menunjukkan citra perempuan yang berhasil dalam dunia per-keretek-an.

Dalam novel, ditunjukkan bahwa mendapatkan anak laki-laki adalah impian laki-laki Jawa pada masa itu. Di halaman 104, dideskripsikan bahwa ia lebih berharap punya anak laki-laki. Seperti orang-orang pada zaman itu, Idroes Moeria makin percaya, bahwa anak laki-laki akan menjadi lebih kuat, bisa diandalkan, dan bakal jadi kepala keluarga yang lebih tangguh untuk jadi pemimpin (ketimbang anak perempuan). Jikateman-teman membaca kisah Gadis Kretek, pasti bisa merasakan betapa Ratih Kumala mencoba menentang paradigma tersebut dengan menunjukkan bahwa seorang perempuan juga bisa berperan dalam dunia yang hingga sekarang secara khusus dianggap milik laki-laki. Dunia keretek, dunia rokok.

Dalam ruang-ruang sosial, merokok dianggap identitas kemaskulinan. Namun, novel Gadis Kretek menunjukkan sisi lain bahwa perempuan juga mampu memiliki peran tersendiri dalam dunia ini. Setidaknya saya mencatatnya dalam dua frasa yang dipilih Ratih Kumala, yaitu gadis kretek dan kretek gadis. Gadis kretek menggambarkan seorang perempuan yang mampu melahirkan sebuah keretek istimewa. Dalam novel ini, Dasiyah dinilai mampu melahirkan keretek terbaik. Ia mengumpulkan sari keretek di tangannya, lalu menatanya dalam selembar kertas. Kertas berisi sari keretek itu diletakkan di bawah poci yang panas sembari ditekan-tekan. Setelahnya, sari keretek itu akan gepeng dan berbentuk lembaran. Lembaran tersebut digunting, lalu dicampurkan dengan keretek utuh, dan dilinting kembali dengan tangan. Untuk merekatkannya, digunakan air liur pada kertas tadi, hingga terbentuklah tingwe atau keretek linting dewe ‘keretek linting sendiri’.

Dengan kepiawaan Dasiyah inilah, nama gadis kretek dilekatkan kepadanya. Berkat kepiawaian menciptakan tingwe, ayahnya kemudian melahirkan keretek baru yang kemudian dinamakan dengan Keretek Gadis. Nama Keretek Gadis dipilih untuk menunjukkan bahwa ada sebuah filosofi ketika seseorang memilih rokok buatan mereka.

Sekali isap, gadis yang Toean impikan muntjul di hadepan Toean. (Ratih Kumala, 2023: 151)

Kosakata gadis keretek dan keretek gadis merupakan permainan bahasa yang membuat novel ini semakin istimewa. Ratih Kumala begitu teliti melakukan riset sehingga mampu menyuguhkan kosakata dengan perspektif yang unik. Tidak hanya kedua kosakata itu, kalau membaca novel ini, banyak kosakata lama yang juga muncul kembali. Sebuah upaya baik dalam mengenalkan kembali kosakata bahasa Indonesia kepada masyarakat. Meskipun demikian, novel ini tidak semata-mata ingin mengajak orang merokok, tetapi ingin menggambarkan sebuah perilaku dan budaya yang terjadi pada satu masa di Indonesia.

Hari ini kita sama-sama tahu bahwa seseorang amat dilarang merokok. Rokok sangat membahayakan tubuh karena adanya nikotin. Sudah banyak penelitian ilmiah yang membahas ini sehingga merokok tidak baik, khususnya untuk perempuan dan anak-anak. Berbahayanya rokok ini kemudian menjadi peringatan yang dengan mudah dihafal oleh siapa pun hari ini:

Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.

Ratih Kumala pun menampilkan larangan ini pada halaman kedua pembuka setelah ucapan terkasih untuk Eyang Kakungnya, alm. H. Affandi dan putrinya, Badriyah. Sebuah larangan yang sama persis terdapat pada kemasan rokok. Sebuah larangan yang juga disampaikan Lebas kepada ayahnya dalam film Gadis Kretek yang tidak mau berhenti merokok setelah divonis menderita kanker. Namun, kisah gadis kretek dalam novel maupun film ini tidak semata-mata tentang produk yang dilarang ini, tapi ada sejarah, tradisi, nilai moral, dan romantisme yang diusung. 

Itulah mengapa, bagi saya, kata keretek dan kosakata yang muncul dalam novel ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas dan dihubungkan dengan dunia sekarang. Ternyata ada sebuah proses yang dilalui oleh masyarakat Indonesia dalam menerima merokok sebagai sebuah perilaku dan juga sebagai budaya. Ada fase keretek, rokok, dankini vape ‘rokok elektronik’. Secara tradisional, perilaku merokok bermula dari keretek yang diproduksi secara rumahan dengan mencampurkan tembakau dan cengkeh. Namun, dengan adanya teknologi industri, keretek kemudian menyulap diri menjadi rokok. Salah satu perbedaan yang spesifik adalah nikotin yang terdapat di dalamnya. Kini teknologi canggih menawarkan hal baru bagi pencinta rokok. Mereka sudah bisa menikmati rokok isi ulang atau rokok elektronik yang bernama vape. Kata vape punsudah tercantum dalam KBBI Edisi VI sebagai ‘rokok elektronik yang berbentuk seperti pena, terdiri atas baterai cas ulang dan tabung isi ulang berisi cairan, kadang disertai pipa untuk mengisap, dapat dipakai berkali-kali, tersedia dalam berbagai rasa’.

Kosakata keretek, rokok, dan vape menunjukkan kepada kita bahwa perilaku dan budaya masyarakat berubah dari masa ke masa. Semasa keretek populer, para perempuan hanya boleh menyiapkan keretek dengan melintingnya. Para laki-laki menikmatinya di ruang publik untuk menunjukkan kemaskulinannya. Ada dialog, basa-basi, dan diskusi ketika mereka menikmati keretek. Orang-orang tak segan berbagi keretek. Bahkan, berbagi keretek bisa menjadi awal kesepakatan sebuah bisnis.

Barangkali ini berlanjut dalam perilaku merokok. Banyak orang berbagi rokok untuk mencairkan suasana ketika bertemu siapa saja, baik teman lama, orang baru, maupun rekan bisnis. Namun, harga rokok yang menjulang menyebabkan tidak semua orang serta-merta dengan mudah berbagi. Apalagi dengan kehadiran vape. Tidak ada lagi basa-basi antara rekan dan sesama karena tidak mungkin mengisap tabung yang sudah menjadi bekas bibir orang lain. Ternyata kosakata berubah, perilaku juga berubah.

Perubahan itu juga digambarkan Ratih Kumala dalam novelnya bahwa keretek pada awalnya untuk pengobatan. Namun, kini keretek, rokok, atau vape sudah menjadi hal yang berbahaya untuk kesehatan. Tak satu orang pun dianjurkan untuk merokok. Pemerintah dan pihak terkait berupaya meningkatkan kesadaran orang-orang terhadap bahaya rokok. Perokok aktif difasilitasi ruang sendiri agar tidak menularkan bahaya kepada perokok pasif.

Meskipun demikian, transformasi dari keretek, rokok, hingga vape juga memunculkan pemandangan baru yang dalam perspektif agama dan budaya tidak elok. Kini dengan mudah ditemukan perempuan yang secara terang-terangan mengisap vape di ruang publik. Padahal, pemerintah melalui peraturan nomor 19 tahun 2003 sudah menetapkan “Pengamanan Rokok bagi Kesehatan” dan undang-undang No. 32 Tahun 2010 tentang “Larangan Merokok”.

Perbincangan tentang keretek, rokok, dan vape ini memang tidak akan pernah usai. Namun, perbincangan tentang kata keretek ini perlu kita selesaikan. Dalam novel, kita ditawarkan dua pilihan kata yang bagi sebagian orang dapat menimbulkan kebingungan. Kretek dan keretek, mana yang benar?Dalam bahasa Indonesia, hanya satu kata yang baku, namun Ratih Kumala menggunakan kedua kata ini dengan maksud yang sama.

Halaman 35 Paragraf 1

Ragu, tapi akhirnya Tegar nyalakan juga rokok itu. Diisapnya sekali. Kretek-kretek… terdengar bunyi cengkih terbakar di dalam batang rokok itu.

Halaman 179 Paragraf 7

Ketika api menyulut dan menghabiskan batang lintingan itu, terdengar suara keretek-keretek akibat terbakarnya cengkeh rajangan.

Dalam KBBI Edisi VI (2023), dijelaskan bahwa kata kretek merupakan kata tidak baku dari keretek. Hal ini berkenaan dengan pola suku kata bahasa Indonesia yang tidak memiliki KKV (konsonan-konsonan-vokal). Pola suku kata bahasa Indonesia adalah V (vokal), VK (vokal-konsonan), KV (konsonan-vokal), VKV (vokal-konsonan-vokal), KVK (konsonan-vokal-konsonan), dan gabungan kelimanya. Misalnya, air, ma-ka-nan, ada, dan ru-mah. Kosakata bahasa Indonesia yang memiliki pola KKV merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa asing, seperti an-tre, pla-net, dan dra-ma.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W. J. S. Poerwadarminta (1952), kata keretek bahkan dijelaskan berasal dari bahasa Jawa yang bermakna ‘rokok’, yakni ‘sb rokok jg tembakaunja bertjampur dng tjengkih’. Dengan demikian, bentuk yang baku adalah keretek. Lalu, apakah Ratih Kumala salah menggunakan kata gadis kretek dan kretek gadis?

Diksi tersebut merupakan pilihan Ratih Kumala dalam melahirkan sebuah karya. Tidak ada larangan untuk memilih kata kretek dalam dunia sastra. Namun, satu hal yang perlu ditegaskan dalam menulis adalah konsistensi. Ratih Kumala akan sangat baik jika secara konsisten memakai salah satu saja. Kretek, misalnya. Konsistensi dalam memilih kata merupakan strategi terbaik dalam menulis. Satu bentuk konsisten akan memudahkan pembaca untuk meniru atau tidak meniru pilihan kata penulisnya. Menampilkan dua bentuk yang berbeda tentu akan menjadi sebuah perdebatan.

Meskipun demikian, munculnya kata kretek atau keretek merupakan satu hal yang patut diapresiasi. Kosakata ini sempat menghilang dari kosakata bahasa Indonesia. Jika tidak dipakai lagi, kata ini bisa menjadi kosakata arkais suatu saat nanti, seperti kata begandering yang bermakna ‘rapat; sidang’. Karena kata ini sudah tidak dipakai lagi oleh penggunanya, akhirnya tercatat dalam kamus sebagai kosakata arkais. Semoga lahirnya novel Gadis Kretek ini bisa mengenalkan kembali kosakata dan khazanah kebudayaan Indonesia, serta dapat meningkatkan promosi wisata Indonesia. Salah satunya dengan mengenal kembali Museum Kretek Kudus yang terdapat di Jawa Tengah, di Jalan Getas Pejaten No.155. Kita bisa kembali belajar mengenai sejarah Kota Kudus sebagai kota penghasil tembakau dan menyaksikan peninggalan budaya dalam museum ini.

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Ditulis Oleh:
Baca Juga:

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top