Oleh Yusrizal KW
Jangan kalencong, nanti makin mangalencong
Kalencong artinya tidak tepat sasaran. Bisa juga disebut sebagai menyimpang. Orang Minang, tentu kenal kata ini. Kalencong sama dengan kencong, tidak pas. Lain gatal lain pula yang digaruk. Orang ngantuk diberi tongkat, orang buta diberi bantal, kalencong juga namanya. Artinya, tidak tepat pada titik sasaran.
Dalam mengartikan dan memaknai kata, kita kadang menemukan kata yang berarti atau bermakna sesungguhnya. Untuk kata “kalencong”, sesuai “kodrat” kata tersebut, arti dan maknanya bisa saja dikalencongkan oleh penggunanya. Baik untuk ungkapan positif, atau sebaliknya.
Seorang teman, baru terpilih jadi ketua organisasi. Ketika dia kesulitan dan berkendala menunaikan amanah yang diberikan kepadanya, ia mengeluh, “Sebenarnya saya tidak mau jadi ketua, tapi teman-teman meminta saya juga!” Ini ketua, ketua kalencong yang dipilih oleh orang kalencong. Jelas dia tidak mau, tapi dipaksa juga dipilih. Jelas kita mengaku tidak mau, tapi mau juga untuk dipilih. Ini, namanya, cari nama, tapi nama kalencong.
Managlencong, artinya menyimpang dari ketentuan. Ketika kita menemukan kata “menyimpang”, maka kita bisa bertemu dengan istilah seks menyimpang, yang juga boleh disebut seks mangalencong. Ketika kita bersua dengan seorang suami berselingkuh dengan istri orang atau anak gadis orang, untuk suami kita sebut laki kalencong untuk perempuan kita sebut perempuan atau bini kalencong. Ketika kita dimintai pendapat tentang suami dan istri kalencong tadi, lalu kita anggap itu sebagai hal wajar di zaman kini, itu nama jawabannya “kalencong”.
Dikalencongkan, mangalencongkan dan terkalencongkan itulah antara lain bagian dari hidup kita yang divariasikan oleh dinamika “kalencong-mencong”. Kesengajaan untuk menyimpang dari sasaran, membelot dari tujuan yang dituju, memberi kepada yang tidak berhak, memang telah menjadi penguatan kata “kalencong”: dikalencongkan dan mangalencongkan. Berbeda dengan terkalencong, ia terjadi dan terbukti menyimpang karena tidak sengaja, tanpa diniatkan. Terkalencong, jelas bisa diluruskan.
Kata kalencong, kalau dikembang-kembangkan arti atau maknanya, rasanya bisa ke sana kemari. Misalnya, kita bisa mengatakan rasa gulai yang mangalencong ke laut untuk gulai yang asin. Namun, kata, kata memiliki kesungguhan pesan, yang penguatannya pada makna kalimat yang dituturkan. Ketika kita mendengar, pidatonya mangalencong kemana-mana, itu artinya tidak terarah dan sulit dipahami. Begitu juga, ketika kita dengar nasehat, elok-elok menjalani hidup. Lurus-lurus niat. Jangan sampai mangalencong!
Satu kata, semisal “kalencong”, bisa saja, sebagaimana kata-kata yang lain, punya arti untuk yang positif dan negative. Punya nasib untuk hidup sebagaimana adanya arti dan maknanya itu. Juga punya peluang untuk diplesetkan, sesuai konteks persoalan atau gurau sindir yang akan dituturkan. Nalar kata, adalah media untuk memenuhi kebutuhan guna menjawab persoalan dalam hidup yang dijalani manusia, tertuturkan untuk menggerakkan hati dan pikiran, yang juga, bisa hasilnya positif atau negatif.(*)
Bagikan:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru)