Oleh: Ria Febrina

Suatu hari saya berkunjung ke pameran temporal di Yogyakarta. Lokasinya di Museum Sonobudoyo. Kali ini tema yang diangkat adalah Jogja Museum Expo 2024. Saat masuk ke ruangan pertama pameran, tepat di sebelah kiri pintu masuk ruangan, ada yang menarik perhatian saya dan beberapa orang pengunjung. Sebuah kata bertuliskan ani-ani. Kami langsung saling bertatapan dan tersenyum.
Akhir-akhir ini kata ani-ani memang agak populer karena viralnya beberapa peristiwa. Ketika saya membuka mesin pencari Google, setidaknya ditemukan beberapa berita dengan judul berikut.
(1) Inilah Modus Artis Nyambi Jadi ‘Ani-Ani’ (Okezone.com)
(2) Profil Andrew Andika, Artis yang Ketahuan Selingkuh dengan Ani ani (Suara.com)
(3) Dituding Jadi Ani-ani Papa 500 Juta, Foto Cantik Celine Evangelista Digeruduk Netizen (Msn.com)
Kata ani-ani pada judul berita tersebut menjelaskan bahwa ani-ani adalah kosakata yang bermakna negatif. Kata tersebut merupakan istilah yang diberikan kepada (1) perempuan pelacur dan (2) perempuan yang menjadi simpanan pria beristri atau selingkuhan. Makna ini melekat pada kata ani-ani karena secara kontekstual berkenaan dengan peristiwa-peristiwa tersebut. Namun, jika melihat definisi kata ani-ani dalam KBBI, kita justru tidak menemukan makna-makna tersebut. Ani-ani dalam KBBI Edisi VI dijelaskan sebagai ‘pisau pemotong padi terbuat dari kayu dan bambu yang saling menyilang dengan pisau kecil yang ditancapkan pada bagian muka kayu; tuai’. Secara denotatif, makna yang melekat pada kata ani-ani sangat positif dan mencerminkan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Ani-ani merupakan sebuah pisau kecil. W. J. S. Poerwadarminta (1952) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia; Sutan Mohammad Zain (1951) dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia; serta J. S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain (1994) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa ani-ani merupakan kosakata yang berasal dari bahasa Jawa. Meskipun demikian, ani-ani merupakan salah satu alat pertanian yang digunakan oleh para petani di berbagai daerah di Indonesia. Ukurannya yang relatif kecil serta memiliki bilah tajam pada salah satu sisinya memungkinkan petani menggenggam sekaligus memotong batang padi.
Tidak hanya di Jawa, masyarakat Minangkabau juga memiliki alat ini untuk memotong padi. Saya ingat cerita kolega saya di Universitas Andalas yang mempunyai alat ini dan memamerkannya di museum miliknya di Kota Pariaman, Sumatera Barat. Beliau menceritakan bahwa alat ini dipakai untuk mengetam atau menuai padi. Untuk melihat bagaimana fungsi benda ini, dapat dilihat pada definisi kosakata tersebut dalam KBBI Edisi VI.
(4) mengetam v menuai (memotong) padi dengan ani-ani: pada waktu panen, ramailah orang di sawah mengetam padi
(5) menuai v memotong padi (dengan ani-ani); mengetam padi
Dari defenisi tersebut, tampak bahwa ani-ani merupakan alat untuk memotong padi. Kepada saya, beliau menjelaskan bahwa ani-ani memiliki nama lain atau bentuk yang bersinonim, yaitu tuai. Kalau kita mengecek KBBI Edisi VI, tampak bahwa tuai adalah ‘ani-ani’. Penjelasan ini memberikan saya pengetahuan bahwa (1) masyarakat Indonesia memiliki ani-ani sebagai alat tradisional untuk memotong padi; (2) alat tersebut memiliki nama lain, yakni tuai; dan (3) kata tuai merupakan kata benda yang berbeda fungsinya sebagaimana kalimat di bawah ini.
(6) Tuai apa yang kau kerjakan!
Kata tuai pada kalimat 6 menjelaskan bahwa seseorang akan menanggung akibat perbuatan sendiri. Makna ini merupakan salah satu makna yang dihasilkan dari turunan kata tuai. Kata turunan yang dimaksudkan adalah menuai, dituai, penuai, penuaian, dan tuaian.
Sebagai pribadi yang tidak tumbuh di daerah pedesaan—termasuk beberapa orang yang bertatapan dengan saya di museum ini—kami berpikir perlu mengenal benda yang dipajang dalam museum ini. Ani-ani terbuat dari bahan bambu buluh, kayu, dan besi. Alat ini terdiri dari dua bagian, yakni tangkai dan pisau. Masyarakat Sosok di Lombok misalnya, menciptakan tangkai ani-ani yang terbuat dari bambu buluh dengan motif binatang lipan dan pucuk rebung. Sementara itu, bagian pisau berasal dari kayu berbentuk setengah lingkaran dengan bentuk pipih yang diberi pisau dari bahan besi. Pisau ini yang digunakan untuk memotong padi.
Ani-ani akan memotong satu per satu tangkai bulir padi. Oleh karena itu, ani-ani memiliki kelebihan dibandingkan dengan clurit atau arit. Bulir padi yang belum masak tidak akan terpotong jika menggunakan ani-ani. Karena proses tersebut, ani-ani dinilai kurang efektif saat ini karena pemanenan dengan menggunakan ani-ani membutuhkan waktu yang lama dan juga memerlukan banyak tenaga.
Pada masa dahulu, ani-ani justru menjadi benda yang paling disakralkan ketika memanen padi. Dalam tradisi masyarakat Jawa, panen padi harus menggunakan ani-ani sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri. Masyarakat masa lampau dilarang menggunakan arit atau golok karena benda tersebut dinilai sebagai senjata tajam yang dapat menakuti Dewi Padi, Nyai Pohaci Sanghyang Sri. Masyarakat Jawa dan masyarakat Sunda percaya bahwa padi yang dipanen harus diperlakukan secara hormat dan lemah lembut alias tidak boleh dibabat secara kasar. Secara filosofis, perlakuan yang baik terhadap padi tentu akan memberikan manfaat lebih banyak. Padi tidak rusak, hasil panen akan menjadi maksimal.
Meskipun hanya menjadi kepercayaan kelompok masyarakat tertentu, hingga saat ini masih ada masyarakat yang melaksanakannya. Masyarakat Sunda misalnya, masih mengamalkan tradisi tersebut dalam upacara tradisional panen padi yang disebut dengan Seren Taun. Seren Taun menjadi sarana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hasil pertanian meningkat lagi pada tahun-tahun yang akan datang.
Seiring perkembangan waktu, selain ani-ani, masyarakat Indonesia menggunakan sabit dan celurit untuk memotong padi. Hal ini dapat dilihat pada Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun Badudu-Zain berikut (1994).
(7) Dahulu orang menuai dengan ani-ani, sekarang padi dipotong dengan sabit atau celurit.
Melihat tahun penyusunan kamus tersebut, penggunaan sabit dan celurit merupakan pilihan lain pada tahun 1990-an. Pada hari ini, teknologi yang dipakai dalam memanen padi salah satunya adalah traktor. Traktor memiliki ukuran yang besar yang dapat membantu merontokkan bulir-bulir padi dari batangnya. Penggunaan traktor dapat membuat pekerjaan memanen menjadi lebih cepat, mudah, dan hemat.
Dibalik perkembangan teknologi dalam panen padi, kehadiran ani-ani di Jogja Museum Expo 2024 ini dapat menjadi pengingat bahwa masyarakat Indonesia memiliki kearifan lokal dalam panen padi. Dengan menggunakan ani-ani sebagai alat pemotong padi, mereka menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun pada masa itu.*
*Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada
Bagikan:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru)