Refleksi Pelaksanaan Desentralisasi dan Pilkada: Mengapa Pemerataan Pembangunan Daerah Belum Berhasil?

Refleksi Pelaksanaan Desentralisasi dan Pilkada: Mengapa Pemerataan Pembangunan Daerah Belum Berhasil?

 

Ramainya sorotan publik terhadap masalah infrastruktur jalan di Provinsi Lampung harusnya menjadi pemantik bagi pemerintah daerah lainnya untuk merefleksikan kembali sejauh mana tujuan otonomi daerah telah tercapai.

Otonomi daerah merupakan produk penting dari langkah penghapusan sentralisasi politik yang dijalankan selama masa Orde Baru.

Sejak awal penerapannya, otonomi daerah bertujuan mendorong hadirnya pemimpin daerah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah dan mampu menjawab tantangan pembangunan di tingkat lokal. Salah satu instrumen pentingnya adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.

Pilkada pertama kali diselenggarakan pada Juni 2005 dan diharapkan menjadi alat demokratisasi di tingkat lokal yang dapat mendorong pemerataan pembangunan dan pelayanan publik.

Faktanya, walaupun beberapa studi mengonfirmasi bahwa pilkada telah mendorong lahirnya berbagai kebijakan yang menyasar kepentingan masyarakat di daerah, namun beberapa riset lainnya mengungkap bahwa pemerataan pembangunan tetap belum berjalan dengan baik.

Evaluasi pelaksanaan pilkada

Sejumlah penelitian menemukan bahwa dengan adanya pilkada sebagai praktik demokrasi yang berjalan sebagai wujud desentralisasi politik, lahir berbagai kebijakan baru yang mampu mengakomodasi kepentingan kelompok marginal.

Namun, harus diakui bahwa banyak juga daerah yang tidak berkembang di tangan kepala daerah yang kurang mampu mendorong perubahan.

Riset Puskapol UI (2020) yang mengevaluasi pelaksanaan pilkada dari 2005 hingga 2020 menemukan ada tiga cara pandang yang berbeda dalam merefleksikan pelaksanaan pilkada.

Pertama, pilkada memberikan dampak positif karena telah mendorong akuntabilitas vertikal antara pemimpin daerah dengan masyarakatnya.

Di bidang kesehatan, contohnya, politikus kerap menawarkan skema pelayanan kesehatan yang lebih baik dan bermanfaat untuk masyarakat di daerah. Meskipun bersifat politis dan mereka melakukannya demi memperoleh dukungan pemilih, pada akhirnya kebijakan tersebut dapat diterapkan dan bermanfaat bagi peningkatan pelayanan publik.

Kedua, pilkada memberikan dampak negatif terhadap kinerja pemerintah daerah karena mendorong terjadinya politisasi birokrasi, seperti mobilisasi dukungan pada masa kampanye dan adanya promosi jabatan yang bersifat non-merit system (tidak berdasarkan prestasi dan kinerja) sebagai transaksi setelah terpilih. Ini membuka pintu terjadinya penyimpangan kekuasaan, politisasi anggaran, dan akhirnya berdampak pada terabaikannya kepentingan publik.

Beberapa riset menunjukkan ada persoalan serius dalam tata kelola pemerintah daerah setelah penerapan pilkada, seperti persoalan korupsi dan rendahnya transparansi, jual beli jabatan, hingga rendahnya orientasi pelayanan publik.

Ketiga, pilkada tidak memberikan dampak yang berarti bagi perbaikan kualitas pelayanan publik di tingkat lokal. Artinya, pilkada belum mampu menjadi suatu rekayasa sosial untuk menghasilkan pemimpin daerah yang mampu meningkatkan kinerja pemerintahan dan pelayanan publik di tingkat lokal.

Di beberapa daerah, pilkada dapat menjadi pintu untuk perbaikan pembangunan, contohnya seperti yang dilakukan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Selain itu, ada juga kepala daerah lainnya yang, menurut pengamatan dari media, dianggap menunjukkan keberpihakan pada masyarakat dalam melawan perusakan lingkungan, seperti Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin dan Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Helmud Hontong (kini sudah meninggal).

Namun sayangnya, banyak daerah lainnya yang belum merasakan dampak positif pilkada.

Penyempitan ruang kompetisi politik

Mengapa praktik demokrasi di tingkat lokal ini belum sepenuhnya memberikan dampak positif secara merata? Untuk menjawab ini, kita perlu menelusuri permasalahan di hulu dalam pelaksanaan pilkada itu sendiri.

Salah satu isu yang menentukan peluang terpilihnya pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas adalah keterbukaan ruang kompetisi politik yang disediakan oleh aturan main pilkada.

Namun, riset Puskapol UI menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pilkada tahun 2005 hingga 2020, ruang kompetisi politik semakin menyempit. Ini disebabkan oleh regulasi dan praktik dalam proses kandidasi.

Pencalonan kandidat kepala daerah masih tersentralisasi oleh partai politik di tingkat pusat. Ini membuat demokrasi internal parpol dalam menentukan kandidat menjadi kurang berjalan efektif sehingga membuat proses kaderisasi jadi buruk.

Penyempitan ruang kompetisi politik juga dapat dilihat pada beratnya persyaratan pencalonan, baik melalui jalur kepartaian maupun perorangan, hingga mahalnya biaya pencalonan.

Fenomena menyempitnya ruang kompetisi politik ini pada akhirnya membuat pilkada didominasi oleh calon-calon yang memiliki dana besar atau kedekatan personal dengan elit partai, khususnya di tingkat pusat, terlepas dari integritas dan kualitas kepemimpinan mereka. Situasi inilah yang membuat implementasi pilkada, walaupun tidak di semua daerah, belum dapat melahirkan karakter pemimpin yang berorientasi kepentingan publik.

Konsekuensi logis lainnya adalah munculnya fenomena calon tunggal yang didominasi oleh petahana, kekerabatan politik, hingga politik uang, serta berkembangnya oligarki di pemerintahan daerah. Semua konsekuensi tersebut jauh dari tujuan pilkada untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas.

Bukan berarti harus mundur

Lalu, apakah sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti pada masa sebelum tahun 2005?

Dengan tegas, jawabannya tidak.

Walaupun pilkada belum memberikan dampak sempurna, tidak lantas kita harus mundur ke belakang.

Pilkada telah menjadi sebuah mekanisme politik yang telah memberikan warna yang berbeda dari praktik pemilihan kepala daerah oleh DPRD pada masa Orde Baru. Jika mekanisme pemilihannya dikembalikan ke DPRD, ada kekhawatiran oligarki politik akan menguat dan partisipasi politik masyarakat makin melemah.

Sebelum menerapkan pilkada, pemilihan kepala daerah oleh DPRD cenderung berlangsung secara elitis, hanya melibatkan segelintir elit di daerah dengan kuatnya intervensi pemerintah pusat dalam menentukan kandidat terpilih yang dikehendakinya. Sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga tetap menyuburkan praktik suap dalam proses pencalonan di internal parpol.

Maka dari itu, peningkatan kualitas pembangunan di daerah hendaknya dimulai dari perbaikan proses pencalonan untuk dapat membuka ruang kompetisi yang lebih luas. Melalui perbaikan proses tersebut, penerapan pilkada tidak hanya membuka ruang kompetisi, tetapi juga memberikan sebuah arti baru dari bekerjanya kedaulatan rakyat.

Rakyat jadi memiliki kesempatan memberikan ganjaran atau hukuman dalam siklus pilkada. Berjalannya akuntabilitas vertikal ini akan “memaksa” kepala daerah untuk melahirkan inovasi-inovasi program yang berkaitan dengan kepentingan publik, walaupun motifnya tetap untuk mendulang popularitas demi terpilih kembali. (theconversation)

 

Fuadil ‘Ulum, Researcher at the Center for Political Studies, Universitas Indonesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top