Halalbihalal

Halalbihalal

Oleh: Ria Febrina

 

HalalbihalalMahfud MD minta Halal Bihalal ASN dan TNI/Polri Ditunda: Fokus Arus Balik

Kalimat tersebut merupakan judul berita yang ditayangkan oleh Tempo.co pada 24 April 2023 pukul 22.00 WIB. Tempo.co merupakan salah satu media massa nasional yang menayangkan informasi penundaan halalbihalal untuk kalangan ASN (Aparatur Sipil Negara). Dalam penjelasannya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi (MenpanRB) menyatakan bahwa guna meningkatkan kelancaran mobilitas masyarakat pascalibur nasional dan Idulfitri, pemerintah mengimbau agar kegiatan halalbihalal yang sifatnya pengumpulan pegawai secara serentak ditunda.

Ada yang patut kita kaji dari penuturan MenpanRB ini mengenai halalbihalal. Dari pernyataan tersebut, tampak bahwa kegiatan halalbihalal dalam lingkungan pemerintahan bermakna ‘pengumpulan pegawai serentak setelah Idulfitri’. Jika ditelusuri, makna ini muncul karena pada tahun-tahun yang berlalu, banyak ASN yang tidak masuk pada hari pertama setelah cuti Lebaran.

Untuk memaksa atau mendesak para ASN masuk pada hari pertama setelah cuti Lebaran, diadakan halalbihalal sebagai momentum untuk bersilaturahmi antarpegawai. Bahkan, beberapa instansi mewajibkan ASN datang pada jam yang ditetapkan, lalu disertai dengan sidak (inspeksi mendadak). Ada juga instansi yang memberikan sanksi bahwa ASN yang datang terlambat atau tidak datang sama sekali, akan dipotong uang makan pada bulan tersebut sebesar persentase tertentu.

Hal tersebut terjadi tentunya tak lepas dari tujuan untuk mendisiplinkan pegawai, serta memfasilitasi masyarakat yang harus mendapatkan pelayanan setelah Idulfitri. Kali ini informasi penundaan halalbihalal dari MenpanRB merupakan strategi baru untuk mengatasi masalah kemacetan yang dari tahun ke tahun selalu terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Para pemudik pulang ke kampung halaman pada waktu bersamaan dan balik juga pada waktu bersamaan karena jam kerja yang sudah ditetapkan dan cuti Lebaran yang sangat pendek, yakni selama satu minggu. Padahal, daerah yang dikunjungi sangat jauh dan transportasi yang disediakan kadang belum mencukupi.

Kehadiran berita di media massa, serta situasi yang terjadi pada masa kini perlahan-lahan dapat mengaburkan makna yang sesungguhnya melekat pada sebuah kata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI daring, 2023), halalbihalal merupakan ‘hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang’; silaturahmi’. Aktivitas halalbihalal ini memang secara rutin dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka memperkuat silaturahmi antarpegawai. Tak hanya instansi pemerintahan, perusahaan swasta, organisasi masyarakat (ormas), serta lembaga resmi yang memfasilitasi puluhan hingga ribuan orang pekerja, selalu melaksanakan halalbihalal.

Makna halalbihalal dalam hal ini barangkali berkaitan dengan kisah di balik kata halalbihalal yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan sudah dicatat di berbagai media online. Pada pertengahan Ramadan tahun 1948, Bung Karno mengundang KH Wahab Chasbullah, ulama Nahdatul Ulama (NU) ke istana negara dan meminta pendapat mengenai pertentangan pemikiran yang terjadi antara kaum elit bangsa. Pada saat itu, KH Wahab Chasbullah merupakan Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia. Beliau menyarankan agar diadaan acara silaturahmi dengan mengundang semua pihak yang bertikai pada Hari Raya Idulfitri. Apalagi, setiap umat muslim menyadari bahwa pada Hari Raya, semua orang harus saling memaafkan dan menjaga silaturahmi.

Namun, Bung Karno kurang setuju dengan istilah silaturahmi karena merupakan istilah yang sangat biasa. Beliau menginginkan istilah lain. Pada saat itulah, KH Wahab Chasbullan mengusulkan istilah halalbihalal untuk menghalalkan segala kecurigaan atau kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Mereka diminta duduk satu meja agar bisa saling memaafkan. Bung Karno pun menyetujui ide tersebut dan kemudian diadakan temu para tokoh melalui kegiatan halalbihalal.

Meskipun tidak dapat dijadikan dasar peristiwa, kegiatan halalbihalal yang merujuk pada kegiatan saling memaafkan ini kemudian tercantum dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Dalam Kamus Indonesia Ketjik (E. St. Harahap, 1954), halal-bi-halal merupakan ‘bermaaf-maafan, salam pada masa lebaran’. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1952), halal-bi’lhalal bermakna ‘Saling ampun-mengampuni (pada hari raja Lebaran)’. Akan tetapi, dalam Logat Ketjil Bahasa Indonesia (W. J. S. Poerwadarminta, 1951) dan Kamoes Indonesia (E. Soetan Harahap, 1942), kata halalbihalal ini belum tercantum sama sekali.

Di antara kamus-kamus tersebut, terdapat penjelasan yang berbeda dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (Sutan Mohammad Zain, 1951). Dalam kamus tersebut, dinyatakan bahwa kata halal bihalal dijelaskan dari bahasa Arab, yakni halal yang bermakna ‘diizinkan’. Halalbihalal pun didefinisikan dengan ‘bermaaf-maafan waktu lebaran (‘idulfitri)’. Namun, tradisi halalbihalal bukanlah tradisi yang berasal dari Arab. Halalbihalal merupakan kegiatan yang secara khusus ada di Indonesia. Itulah sebabnya dalam berbagai edisi Kamus Besar Bahasa Indonesia dicantumkan penggunaan kata halalbihalal dalam kalimat “Halalbihalal merupakan suatu kebiasaan yang khas Indonesia”.

Dari kata halalbihalal ini, terbentuk berhalalbihalal yang bermakna ‘bermaaf-maafan pada hari Lebaran’. Penggunaan kata berhalalbihalal pun tercantum dalam kamus dengan “Pada Lebaran kita berhalalbihalal dengan segenap sanak keluarga dan handai taulan (KBBI Edisi I, 1988). Oleh karena itu, sejumlah orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik secara rutin mengadakan halalbihalal di rumah dengan mengajak keluarga, kerabat, dan handai tolan ‘teman-teman’ untuk berkumpul. Mereka pun menyajikan makanan enak untuk dinikmati saat bersua. Dalam suasana ini, mereka saling memaafkan dan saling bercerita untuk kembali mengakrabkan diri karena terpisah oleh rutinitas pekerjaan selama satu tahun sebelumnya.

Meskipun kata halalbihalal ini sudah populer, asal-usul kata ini belum bisa dijelaskan dari mana. Namun, Muhammad Rizal Akbar Maulana, Santri Kalong Pondok As-Shireen dalam tulisannya yang berjudul “Halal Bihalal, Akar & Asal Muasal)” menyatakan bahwa terdapat dua dokumentasi sejarah yang sudah mencantumkan kata halalbihalal. Pertama, kata halalbihalal terdapat dalam manuskrip Jawa Kuno asal Demak-Cirebon. Manuskrip ini tersimpan di British Library di bagian pustaka digital berkategori Javanese dengan judul Sejarah Sagung ing Para Ratu. Di dalam naskah yang bertahun Jawa 1720 atau 1793—1794 Masehi ini, disebutkan ‘Halal Ba Halal’ dalam kisah salah seorang walisongo, yakni Pangeran Gunung Jati (Sunan Gunung Jati). Ia melakukan halal ba halal kepada gurunya, Syekh Nurjati di Cirebon.

Kedua, kata halalbihalal ditemukan dalam naskah beraksara Jawa pegon dengan judul Babad Cirebon dari Banten-Cirebon. Naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia ini merupakan riwayat Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Dalam naskah, terdapat kalimat “Wong Japara sami hormat sadaya umek Desa Japara kasuled polah ing masjid kaum sami ajawa tangan (berjabat tangan) sami anglampah Halal Bahalal sami rawuh amarek dateng Pangeran Karang Kamuning”. Sebuah teks yang menjelaskan bahwa warga Jepara berjabat tangan di masjid, melaksanakan halalbihalal.

Dengan dua bukti tertulis ini, dapat dinyatakan bahwa halalbihalal sudah menjadi tradisi di Indonesia sejak masa lampau. Halalbihalal merekatkan kembali hubungan kita sesama muslim dan juga menjadi momentum untuk saling memaafkan. Amat tepat jika kita tidak melewatkan kegiatan halalbihalal ini. Ketika cuti Lebaran sangat singkat, baru terbatas bersama keluarga, melalui halalbihalal kesempatan bermaaf-maafan dengan rekan kerja—yang pasti pernah terjadi konflik—bisa dilaksanakan. Selamat berhalalbihalal, teman-teman. Jadikan halalbihalal menjadi momentum meminta maaf dengan tulus.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top