Gacoan

Gacoan

Oleh Ria Febrina

 

GacoanDi tengah maraknya produksi dan inovasi makanan hari ini, sebuah merek mampu mengenalkan sebuah kata yang tidak populer kepada masyarakat. Salah satu merek yang dimaksud adalah waralaba makanan Indonesia. Mie Gacoan.

Dengan nama Mie Gacoan, masyarakat di Jawa dan Bali mengekalkan kata yang berasal dari bahasa Jawa ini. Meskipun hanya berada di Jawa dan Bali, hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenal makanan ini karena di kota-kota, seperti Malang, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Solo, Bandung, Cirebon, Bogor, Depok, Jakarta, dan Bali, masyarakat Indonesia berdatangan untuk berbagai kepentingan, mulai dari kunjungan kerja hingga liburan keluarga.

Bagi yang pernah berkunjung ke kota-kota tersebut dan menikmati aneka produk dari Mie Gacoan, pasti tahu bahwa beberapa waktu lalu, waralaba ini diterpa isu sebagai makanan tidak halal. Namun, bukan itu penyebabnya. Merek ini sebenarnya belum mendapat sertifikasi halal karena bahasa yang dipakai. Mengapa bisa bahasa menjadi masalah dalam mengeluarkan sertifikasi halal?

LPPOM MUI merilis 11 Kriteria Sistem Jaminan Halal (SJH) dalam HAS 23000. HAS 23000 merupakan prasyarat untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Dari sebelas kriteria, Mie Gacoan belum memenuhi kriteria keenam karena persoalan nama. Nama merupakan kata yang digunakan untuk menyebut atau memanggil orang, tempat, barang, binatang, dan sebagainya. Dalam hal ini, nama waralaba dan nama makanan menjadi permasalahan karena nama yang ditawarkan bukanlah nama yang lazim untuk menyebut makanan yang akan dimakan.

Bagi penyuka Mie Gacoan pasti tahu bahwa nama-nama makanan di Restoran Mie Gacoan mengarah pada hal-hal yang bermuatan mistik. Restoran Mie Gacoan menyediakan mie angel, mie setan, dan mie iblis, serta minuman berupa es genderuwo, es tuyul, es pocong, dan es sundel bolong. Nama-nama makanan tersebut bersifat mistik yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa. Artinya, meskipun Pihak Mie Gacoan sudah mengkonfirmasi bahwa bahan dasar pembuatan mi dan menu lainnya terbuat dari bahan yang halal, mereka tidak akan mendapatkan sertifikasi halal selama belum mengubah nama yang dipakai.

Dari kata gacoan sebagai nama waralaba misalnya, kita dapat menelusuri makna kata tersebut dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Kata gacoan sebenarnya baru ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Edisi I) pada tahun 1988. Dalam Kamoes Indonesia (E. Soetan Harahap, 1942), Kamus Moderen Bahasa Indonesia (Sutan Mohammad Zain, 1951), Logat Ketjil Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1951), Kamus Indonesia Ketjik (E. St. Harahap, 1954), dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1954), kata gacoan tidak ada sama sekali.

Dalam KBBI Edisi I, kata gacoan ini merupakan kata berimbuhan yang berasal dari kata gaco. Gaco bermakna ‘jagoan’ yang kemudian diwujudkan dalam kalimat, “Beberapa mahasiswa yang mencoba menjadi gaco terpaksa dikeluarkan dari universitas”.  Meskipun kata gaco bermakna negatif dalam KBBI, kata ini juga tumbuh di tengah-tengah masyarakat menjadi kata yang bermakna positif. Kita bisa lihat dalam Korpus Leipzig (https://corpora.uni-leipzig.de/) pada kalimat “Sudah biasa, sebagai penggemar bola, dia punya tim gacoan di tiap liga”.

Makna jagoan merujuk pada sesuatu yang diunggulkan dalam permainan. Makna dalam kalimat ini sebenarnya merujuk pada definisi yang dikemukakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia, tetapi entah mengapa dalam KBBI, mahasiswa menjadi contoh yang berstigma negatif. Padahal, mahasiswa merupakan peran sosial yang diemban seseorang sebagai intelektual.

Dalam KBBI Edisi I, lema gaco juga menurunkan kata berimbuhan berupa gacoan yang merupakan ragam percakapan yang bermakna ‘1 taruhan; 2 pacar, kekasih’. Jika ditelusuri lebih lanjut, masyarakat memang menggunakan kata gacoan dengan makna taruhan, baik menggunakan uang, barang, atau hal tertentu untuk dijadikan keberuntungan. Hal ini bisa dilihat pada kalimat “Siapa yang berhasil memasuki wilayah lebih awal dan bisa memegang gacoan atau orang yang paling berkuasa di wilayah itu, akan sukses”. Sementara itu, makna kedua kata gacoan yang berupa ‘pacar; kekasih’ dapat dilihat dalam kalimat “Saya ingat, hari Jumat malam dan Senin sore, dia membawa gadis cantik itu ke sini. Saya pikir dia dapat gacoan baru”.

Dalam perkembangannya, kata gaco yang awalnya bermakna ‘jagoan’ kemudian mendapatkan makna baru dalam KBBI Edisi II berupa ‘‘sesuatu (orang dsb) yang diandalkan dapat menang dalam pertandingan atau permainan”. Kalimat itu yang tercantum dalam Korpus Leipzig sebagai tim jagoan sepakbola.

Meskipun makna dari kata gacoan berkembang sedemikian rupa di tengah-tengah masyarakat, hingga hari ini dalam KBBI, makna kata gacoan tidak mengalami perkembangan apa pun hingga lahirnya waralaba Mie Gacoan ini. Kata gacoan  yang dipakai dalam produk ini dinilai tidak etis oleh MUI karena ada makna ‘taruhan’. Bagi masyarakat Indonesia, taruhan merupakan perilaku menyimpang karena para pelaku akan mengorbankan barang, uang, atau hal tertentu untuk memenuhi rasa penasaran terhadap sesuatu. Hal tersebut menjadi perilaku buruk bagi masyarakat dan juga menjadi aktivitas yang dilarang agama. Oleh karena itu, waralaba Mie Gacoan mendapat hambatan dalam mendapatkan sertifikasi halal pada awalnya.

Namun, makna kata gacoan dalam KBBI tidak hanya taruhan, tetapi juga ada ‘jagoan’ dan ‘kekasih’ sehingga persoalan nama waralaba ini bisa lolos dari ketentuan LPPOM MUI. Namun, nama-nama makanan yang pada awalnya terdiri atas nama-nama yang bersifat mistik, pihak Mie Gacoan akhirnya berkreativitas lagi menghadirkan nama makanan yang baru untuk menggantikan nama makanan tersebut. Hingga akhirnya Restoran Mie Gacoan melahirkan nama-nama permainan tradisional Indonesia.

Nama-nama makanan yang awalnya mie angel berubah jadi mie suit, mie setan berubah jadi mie hompimpa, dan mie iblis berubah menjadi mie gacoan. Nama-nama minuman yang awalnya es genderuwo berubah menjadi es gobak sodor, es pocong berubah menjadi es petak umpet, es tuyul berubah menjadi es teklek, dan es sundel bolong berubah menjadi es sluku bathok. Nama-nama baru ini kemudian melahirkan kenangan masyarakat terhadap nama-nama permainan tradisional Indonesia.

Sejak nama-nama makanan tersebut diubah, sejak itulah waralaba ini mendapat sertifikat halal dari LPPOM-MUI (Lembaga Pengkajian, Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia). Tepatnya pada 16 November 2022, masyarakat bisa dengan tenang menikmati makanan ini.

Melihat perjalanan waralaba Mie Gacoan dalam mendapatkan persetujuan halal ini, kita bisa melihat bahwa nama tetap menjadi pertimbangan penting dalam lahirnya seseorang, serta lahirnya sebuah produk, barang, tempat, dan lainya. Kutipan dari William Shakespeare yang menyatakan bahwa “Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi” tidak berlaku dalam penamaan produk di Indonesia. Meskipun hanya sebuah mi, kreativitas pemberian nama tetap harus mempertimbangkan nilai-nilai yang dianut dalam budaya masyarakat Indonesia.

Jika kata gacoan ini tumbuh menjadi kata yang sangat populer di tengah-tengah masyarakat, suatu saat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia dapat memasukkan makna gacoan sebagai nama makanan Indonesia sebagaimana perkembangan makna dari kata garuda. Kata garuda yang awalnya bermakna ‘dadali’ atau burung berekor panjang yang dapat berdiri tegak, berwarna cokelat (Falco moluccensis), berkembang menjadi ‘lambang negara Indonesia’ dan nama perusahaan penerbangan negara Indonesia’.  Sebuah makna memang akan terus tumbuh di tengah pemakainya. Tidak tertutup kemungkinan untuk mie gacoan.(*)

Ria Febrina, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top